http://wanskawani.blogspot.com/ | KAWANI MEDIA |
Keutamaan Surat Al-Fatihah
Pertama: Membaca Al-Fatihah
Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau
mengatakan yang artinya:
“Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
“Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”.
Berdasarkan hadits ini
dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat
Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla
radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku.Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku.Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan
Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar
dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan
selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian.Oleh sebab itu maka
jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya.Syaitan bersumpah di hadapan Allah
untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam
Al Quran,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ
لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُ
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku
akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yang
diberi anugerah keikhlasan).” (QS.
Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa
selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta
perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada
selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan.
Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya
terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik
sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن
نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak
keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS.
Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid
yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa
merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya.
Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin
dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang
artinya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ
عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ
الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan demikianlah Kami jadikan
musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan manusia
dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain ucapan-ucapan
yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS.
Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil
Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya.Barokah adalah milik Allah.Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan
yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap.Segala bentuk
ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian
banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah
Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung.Rahmat Allah meliputi
segala sesuatu.Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna
kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul.
Mereka inilah orang-orang yang akanmendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat
yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak
bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan
rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan,
hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena
sifat-sifat kesempurnaan-Nya.Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak
pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan.Perbuatan
Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh
seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa
cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang
tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang
mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara).Allahlah Zat yang memelihara seluruh
alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka,
memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat
lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk,
yang baik maupun yang jahat.Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah
kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka.Di samping tarbiyah yang umum itu
Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan
membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga
menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang
akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah
memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal
yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa
besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah
yang menguasai itu semua.Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah
lah Yang Maha kaya.Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi
ini meminta kepada-Nya.Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan
lisannya maupun dengan ekspresi dirinya.Kepada-Nya lah mereka mengadu dan
meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah
nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah
memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman:
“Milik Allah nama-nama yang
terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat.
Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan
sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal
Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang
menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu
mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian
keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah
adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu
mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil
(penolakan).Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil
yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan
keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh
sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka
menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah
akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini.
Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya:
“Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha
Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan
pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi
hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan
makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan.Sebagaimana sifat makhluk itu
terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang
diliputi sifat kekurangan.Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna karena
disandarkan kepada sosok yang sempurna.Sehingga orang yang tidak mau mengimani
kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani
melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah.Mereka tidak mengagungkan Allah
dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela
daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun
menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim.Di
dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih
sayang).Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang
makhluk.
Makna Ayat Ketiga
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki
kekuasaan atau penguasa.Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang
orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya.Dia juga yang berhak untuk
mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka.Dialah yang berkuasa
untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut
kehendaknya sendiri.Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan
memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau
pemilik.Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan
karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik
maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak
dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh
makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan
hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang
dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya.Hanya tinggal Allah
sajalah yang berkuasa.Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun
rajanya, budak maupun orang merdeka.Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan
kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya.
Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat
khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena
itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus.Allah adalah
penguasa hari pembalasan.Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas
seluruh hari yang ada.Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari
pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman,
hal. 39).
Makna Ayat Keempat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami
meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong)
kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya
adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu.Dengan
mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya
pembatasan dan pengkhususan.Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada
Allah.Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya.Sehingga makna dari ayat
ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu.Kami meminta
tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang
dicintai dan diridhai oleh Allah.Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan.Ibadah
itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi.Kecintaan dan ridha Allah
terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya.Apabila Allah
memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya.Dan sebaliknya,
apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak
ridha kepadanya.Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya.Di antara bentuk
ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau
perlindungan, dan lain sebagainya.Dari pengertian ini maka isti’anah atau
meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah.Lalu apakah
alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya
kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah
sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum
sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak
Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah
dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan
mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi.Dia adalah sarana menuju keselamatan
dari segala bentuk kejelekan.Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan
kecuali dengan perantara kedua hal ini.Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas).Dengan dua perkara
inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah.Sedangkan penyebutan kata isti’anah
setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya
adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam
melaksanakan seluruh ibadahnya.Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan
dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang diperintahkan
dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk
meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus
itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang yang berjalan
di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya.Hakikat
jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan
mengamalkannya.
Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya.Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya.Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam.Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba.Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya.Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya.Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam.Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba.Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas
mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi
nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah
para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan
benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di
dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah
setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya
dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang
dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal
yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan
inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah
jalan Islam.Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi
perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan.Sehingga dengan ayat ini kita kembali
tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari
Allah ta’ala.Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat
membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ
الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan
orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang
yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya
adalah kaum Yahudi dan semacamnya.Sedangkan orang yang tersesat adalah orang
yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan
mereka.Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya.Sehingga di dalam
ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum
yang shalih.Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang
ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini
sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara
terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung
intisari ketiga macam tauhid.Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid
rububiyah.Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal
perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya.Di
dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid
uluhiyah.Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya
kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah
mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan
sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita
adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan
itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah
sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat
makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup
intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus
tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang
dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu
pasti ada balasannya.Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin.
Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa
ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip
keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil.Bahkan di balik
untaian ayat ini terkandung penetapan takdir.Hamba berbuat di bawah naungan
takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana
yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir).Dan menetapkan bahwasanya
hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya.Hamba tidaklah
dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah.Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari
bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat.Karena pada
hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti
menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan
mengamalkannya.Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan
ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata.Ibadah maupun isti’anah,
semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini
tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka
nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman,
hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya
sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada
kami ilmu yang bermanfaat.Jauhkanlah kami dari jalan orang yang
dimurkai dan sesat.Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan
do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.
Diposting Oleh : Unknown
Anda sedang membaca artikel tentang Tafsir Surah Al Fatihah. Anda diperbolehkan mengcopy paste isi blog ini, namun jangan lupa untuk mencantumkan link ini sebagai sumbernya. Beritahukan kepada saya jika ada Link yang rusak atau tidak berfungsi. Apabila suka dengan postingan ini silahkan di Like dan Share dengan tidak lupa Komentar dan Masukannya.
0 komentar:
Post a Comment