http://wanskawani.blogspot.com/ | KAWANI MEDIA |
BAB
KEEMPAT.
KEPERCAYAAN
DAN TRADISI, MU’AMALAH, HIBURAN, KEMASYARAKATAN, ANTAR-UMAT
4.1
Masalah Kepercayaan dan Tradisi
KEPERCAYAAN
yang baik, landasan pokok bagi masyarakat Islam. Tauhid inti daripada
kepercayaan tersebut dan jiwa daripada Islam secara keseluruhannya. Oleh karena
itu melindungi kepercayaan dan tauhid, adalah pertama-tama yang dilakukan oleh
Islam dalam perundang-undangan maupun da’wahnya.
Begitu
juga memberantas kepercayaan jahiliah yang dikumandangkan oleh polytheisme yang
sesat itu, suatu perintah yang harus dikerjakan demi membersihkan masyarakat
Islam dari noda-noda
syirik dan sisa-sisa kesesatan.
4.1.1
Nilai Sunnatullah dalam Alam Semesta
Pertama
kali aqidah yang ditanamkan Islam dalam jiwa pemeluknya, yaitu: bahwa alam
semesta yang didiami manusia di permukaan bumi dan di bawah kolong langit tidak
berjalan tanpa aturan dan tanpa bimbingan, dan tidak juga berjalan mengikuti
kehendak hawa nafsu seseorang. Sebab hawa nafsu manusia, karena kebutaan dan
kesesatannya, selalu bertentangan.
Firman
Allah:
“Andaikata
kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya akan rusaklah langit dan
bumi serta seluruh makhluk yang ada di dalamnya.” (al-Mu’minun: 71)
Namun
perlu dimaklumi, bahwa alam ini dikendalikan dengan undang-undang dan hukum
yang tetap, tidak pernah berubah dan berganti, sebagaimana telah dinyatakan
oleh al-Quran dalam beberapa ayat, antara lain sebagai berikut:
“Kamu
tidak akan menjumpai sunnatullah itu berganti.” (Fathir: 43)
Kaum
muslimin telah belajar dari kitabullah dan sunnah Rasul supaya menjunjung
tinggi sunnatullah yang berbentuk alam semesta ini dan mencari musabab yang
diperoleh dari sebab-sebab yang telah diikatnya oleh Allah, serta supaya mereka
menolak apa yang dikatakan sebab yang sekedar dugaan semata yang biasa
dilakukan oleh para biksu, ahli-ahli khurafat dan pedagang agama.
4.1.2
Memberantas Ramalan dan Khurafat
Nabi
Muhammad s.a.w. datang dan dijumpainya di tengah-tengah masyarakat ada
sekelompok manusia tukang dusta yang disebut kuhhan (dukun) dan arraf (tukang
ramal). Mereka mengaku dapat mengetahui perkara-perkara ghaib baik untuk masa
yang telah lalu maupun yang akan datang, dengan jalan mengadakan hubungan
dengan jin dan sebagainya. Justru itu Rasulullah s.a.w. kemudian
memproklamirkan perang dengan kedustaan yang tidak berlandaskan ilmu, petunjuk
maupun dalil syara’.
Rasulullah
membacakan kepada mereka wahyu Allah yang berbunyi:
“Katakanlah!
Tidak ada yang dapat mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi melainkan
Allah semesta.” (an-Naml: 65)
Bukan
Malaikat, bukan jin dan bukan manusia yang mengetahui perkara-perkara ghaib.
Rasulullah
juga menegaskan tentang dirinya dengan perintah Allah s.w.t. sebagai berikut:
“Kalau
saya dapat mengetahui perkara ghaib, niscaya saya dapat memperoleh kekayaan
yang banyak dan saya tidak akan ditimpa suatu musibah; tidak lain saya hanyalah
seorang (Nabi) yang membawa khabar duka dan membawa khabar gembira untuk kaum
yang mau beriman.” (al-A’raf: 188)
Allah
memberitakan tentang jinnya Nabi Sulaiman sebagai berikut:
“Sungguh
andaikata mereka (jin) itu dapat mengetahui perkara ghaib, niscaya mereka tidak
kekal dalam siksaan yang hina.” (Saba': 14)
Oleh
karena itu, barangsiapa mengaku dapat mengetahui perkara ghaib yang sebenarnya,
berarti dia mendustakan Allah, mendustakan kenyataan dan mendustakan manusia
banyak.
Sebagian
utusan pernah datang ke tempat Nabi, mereka menganggap bahwa Nabi adalah salah
seorang yang mengaku dapat mengetahui perkara ghaib. Kemudian mereka
menyembunyikan sesuatu di tangannya dan berkata kepada Nabi: Tahukah tuan
apakah ini? Maka Nabi menjawab dengan tegas:
4.1.3
Percaya Kepada Tukang Tenung, Kufur
Islam
tidak membatasi dosa hanya kepada tukang tenung dan pendusta saja, tetapi
seluruh orang yang datang dan bertanya serta membenarkan ramalan dan kesesatan
mereka itu akan bersekutu dalam dosa. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w.:
“Barangsiapa
datang ke tempat juru ramal, kemudian bertanya tentang sesuatu dan membenarkan
apa yang dikatakan, maka sembahyangnya tidak akan diterima selama 40 hari.”
(Riwayat Muslim)
Dan
sabdanya pula:
“Barangsiapa
datang ke tempat tukang tenung, kemudian mempercayai apa yang dikatakan, maka
sungguh dia telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w.”
(Riwayat Bazzar dengan sanad yang baik dan kuat)
Wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu mengatakan, bahwa hanya Allahlah yang
mengetahui perkara ghaib, sedang Muhammad sendiri tidak mengetahuinya, apalagi
orang lain.
Firman
Allah:
“Katakanlah!
Saya tidak berkata kepadamu, bahwa saya mempunyai perbendaharaan Allah, dan
saya tidak dapat mengetahui perkara ghaib, dan saya tidak berkata kepadamu
bahwa saya adalah malaikat, tetapi saya hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan
kepadaku.” (al-An’am: 50)
Kalau
seorang muslim telah mengetahui persoalan ini dari al-Quran yang telah
menyatakan begitu jelas, kemudian dia percaya, bahwa sementara manusia ada yang
dapat menyingkap tabir qadar, dan mengetahui seluruh rahasia yang tersembunyi,
maka berarti telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
s.a.w.
4.1.4
Mengadu Nasib dengan Azlam
Justru
hikmah yang telah kami sebutkan di atas, maka Islam mengharamkan mengadu nasib
dengan azlam. Azlam disebut juga qadah, yaitu semacam anak panah yang biasa
dipakai oleh orang-orang Arab jahiliah, sebanyak tiga buah:
Pertama,
tertulis: aku diperintah Tuhan.
Kedua,
tertulis: aku dilarang Tuhan.
Ketiga,
kosong.
Kalau
mereka bermaksud akan bepergian atau kawin dan sebagainya mereka pergi ke
tempat berhala yang di situ ada azlam, kemudian mereka mencari untuk mengetahui
apa yang akan diberikan kepada mereka itu dalam hal bepergian, peperangan dan
sebagainya dengan jalan mengundi tiga batang anak panah tersebut. Kalau yang
keluar itu anak panah yang tertulis aku diperintah Tuhan, maka dia laksanakan
kehendaknya itu. Dan jika yang keluar itu anak panah yang tertulis aku dilarang
Tuhan, maka mereka bekukan rencananya itu. Tetapi kalau yang keluar anak panah
yang kosong, maka mereka ulangi beberapa kali, sehingga keluarlah anak panah
yang memerintah atau yang melarang.
Yang
sama dengan ini, yaitu apa yang kini berlaku di masyarakat kita, seperti
bertenung dengan menggaris-garis di tanah, pergi ke kubur, membuka Quran,
membaca piring dan sebagainya. Semua ini perbuatan mungkar yang oleh Islam
diharamkan.
Setelah
menyebutkan beberapa macam makanan yang diharamkan, kemudian Allah berfirman
sebagai berikut:
“(Dan
diharamkan juga) kamu mengetahui nasib dengan mengundi, bahwa yang demikian itu
perbuatan fasik.” (al-Maidah: 3)
Dan
sabda Nabi:
“Tidak
akan mencapai derajat yang tinggi orang yang menenung, atau mengetahui nasib
dengan mengundi, atau menggagalkan bepergiannya karena percaya kepada alamat
(tathayyur).” (Riwayat Nasa’i)
4.1.5
Sihir
Justru
itu pula Islam menentang keras perbuatan sihir dan tukang sihir.
Tentang
orang yang belajar ilmu sihir, al-Quran mengatakan:
“Mereka
belajar suatu ilmu yang membahayakan diri mereka sendiri dan tidak bermanfaat
buat mereka.” (al-Baqarah: 102)
Rasulullah
s.a.w. menilai sihir sebagai salah satu daripada dosa besar yang bisa merusak
dan menghancurkan sesuatu bangsa sebelum terkena kepada pribadi seseorang, dan
dapat menurunkan derajat pelakunya di dunia ini sebelum pindah ke akhirat.
Justru itu Nabi bersabda:
“Jauhilah
tujuh perkara besar yang merusak. Para sahabat bertanya: Apakah tujuh perkara
itu, ya Rasulullah? Jawab Nabi, yaitu: 1) menyekutukan Allah; 2) sihir; 3)
membunuh jiwa yang oleh Allah diharamkan kecuali karena hak; 4) makan harta
riba; 5) makan harta anak yatim, 6) lari dari peperangan; 7) menuduh
perempuan-perempuan baik, terjaga dan beriman.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Sebagian
ahli fiqih menganggap, bahwa sihir itu berarti kufur, atau membawa kepada
kufur.
Sementara
ada juga yang berpendapat: ahli sihir itu wajib dibunuh demi melindungi
masyarakat dari bahaya sihir. Al-Quran juga telah mengajar kita supaya kita
suka berlindung diri kepada Allah dari kejahatan tukang sihir, yaitu firmanNya:
“(Dan
aku berlindung diri) dari kejahatan tukang meniup simpul.” (al-Falaq: 4)
Peniup
simpul salah satu cara dan ciri yang dilakukan ahli-ahli sihir. Dalam salah
satu hadis dikatakan:
“Barangsiapa
meniup simpul, maka sungguh ia telah menyihir, dan barangsiapa menyihir maka
sungguh dia telah berbuat syirik.” (Riwayat Thabarani dengan dua sanad; salah
satu rawi-rawinya kepercayaan)
Sebagaimana
halnya Islam telah mengharamkan pergi ke tempat dukun untuk menanyakan
perkara-perkara ghaib, maka begitu juga Islam mengharamkan perbuatan sihir atau
pergi ke tukang sihir untuk mengobati suatu penyakit yang telah dicobakan
kepadanya, atau untuk mengatasi suatu problema yang dideritanya. Cara-cara
semacam ini tidak diakuinya oleh Nabi sebagai golongannya. Sebagaimana
sabdanya:
“Tidak
termasuk golongan kami, barangsiapa yang menganggap sial karena alamat
(tathayyur) atau minta ditebak kesialannya dan menenung atau minta ditenungkan,
atau menyihir atau minta disihirkan.” (Riwayat Bazzar dengan sanad yang baik)
Ibnu
Mas’ud juga pernah berkata:
“Barangsiapa
pergi ke tukang ramal, atau ke tukang sihir atau ke tukang tenung, kemudian ia
bertanya dan percaya terhadap apa yang dikatakannya, maka sungguh dia telah
kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.” (Riwayat Bazzar
dan Abu Ya’la dengan sanad yang baik)
Dan
bersabda pula Rasulullah s.a.w.:
“Tidak
akan masuk sorga pencandu arak, dan tidak pula orang yang percaya kepada sihir
dan tidak pula orang yang memutuskan silaturrahmi.” (Riwayat Ibnu Hibban)
Haramnya
sihir di sini tidak hanya terbatas kepada si tukang sihirnya saja, bahkan
meliputi setiap yang percaya kepada sihir dan percaya kepada apa yang dikatakan
oleh si tukang sihir itu.
Lebih hebat lagi
haram dan kejahatannya apabila sihir itu dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang
haram, seperti menceraikan antara suami-isteri, mengganggu seseorang dan
sebagainya yang biasa dikenal di kalangan ahli-ahli sihir.
4.1.6
Bertangkal
Termasuk
dalam bab ini ialah masalah bertangkal dan menggantungkan diri pada kubur dan
sebagainya, dengan suatu anggapan, bahwa tangkal dan kubur ini akan dapat
menyembuhkan penyakit atau dapat melindungi diri dari mara-bahaya.
Pada
abad ke 20 ini masih banyak orang yang menggantungkan tapal kuda di atas pintu
rumahnya. Dan sampai hari ini di berbagai negara masih banyak orang-orang
hendak memperbodoh orang bodoh. Mereka menulis tangkal-tangkal, membuat
beberapa garis azimat dan membacakan azimat-azimatnya itu dengan suatu
anggapan, bahwa azimatnya itu dapat melindungi si pembawanya dari gangguan jin,
sengatan kalajengking, kejahatan mata, kedengkian orang dan sebagainya.
Untuk
menjaga keselamatan diri dan mengobati penyakit, ada cara-caranya sendiri yang
sudah dikenal menurut ketetapan syariat Islam. Islam sangat menentang siapa
yang mengabaikan cara-cara itu, dan siapa yang menggunakan cara-cara yang
dilakukan pendusta-pendusta yang menyesatkan itu.
Rasulullah
s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
“Berobatlah
kamu, karena sesungguhnya Dzat yang membuat penyakit, Dia pula yang membuat
obatnya.” (Riwayat Ahmad)
Dan
sabdanya pula:
“Kalau
ada sesuatu yang lebih baik daripada obat-obatanmu, maka ketiga hal inilah yang
lebih baik, yaitu: minum madu, atau berbekam, atau kei dengan api.” (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
Ketiga
cara berobat ini jiwanya dan analoginya dapat meliputi macam-macam cara
pengobatan yang berlaku di zaman kita sekarang, misalnya pengobatan dengan
melalui mulut, operasi, kei dan elektronik.
Adapun
menggantungkan tangkal dan membaca mentera untuk berobat dan menjaga diri,
adalah suatu kebodohan dan kesesatan yang bertentangan dengan sunnatullah dan
dapat menghilangkan tauhid.
Uqbah
bin ‘Amir meriwayatkan, bahwa ada sepuluh orang berkendaraan datang ke tempat
Rasulullah s.a.w. Yang sembilan dibai’at, tetapi yang satu ditahan. Kemudian
mereka yang sembilan itu bertanya: mengapa dia ditahan? Rasulullah menjawab:
karena di lengannya ada tangkal. Kemudian si laki-laki tersebut memotong
tangkalnya, maka dibai’atlah dia oleh Rasulullah s.a.w. dan ia bersabda:
“Barangsiapa
menggantungkan (tangkal), maka sungguh dia telah menyekutukan Allah.” (Riwayat
Ahmad dan Hakim; dan lafaz hadis ini adalah lafaz Hakim, dan rawi-rawi Ahmad
adalah kepercayaan)
Dalam
hadisnya yang lain ia bersabda:
“Barangsiapa
menggantungkan tangkal, maka Allah tidak akan menyempurnakan (imannya), dan
barangsiapa menggantungkan azimat, maka Allah tidak akan mempercayakan
kepadanya.” (Riwayat Ahmad, Abu Ya’la dan Hakim dan ia mensahkan)
“Dari
lmran bin Hushain; sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melihat di lengan
seorang laki-laki ada gelang –yang saya lihat sari kuningan– kemudian
Rasulullah bertanya: “Celaka kamu, apa ini?!” Ia menjawab: “Ini adalah
‘wahinah'” (sesuatu yang dapat melemahkan orang lain, sebangsa azimat). Maka
jawab Rasulullah: Dia tidak akan menambah kamu, kecuali kelemahan; karena itu
buanglah dia, sebab kalau kamu mati sedang wahinah itu masih ada pada kamu,
maka kamu tidak akan bahagia selamanya.” (Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban; dan Ibnu
Majah tapi tanpa kata: buanglah )
Pendidikan
ini sangat berpengaruh pada pribadi-pribadi sahabat Rasulullah s.a.w., sehingga
mereka dapat mengangkat diri mereka tanpa menerima kesesatan dan mempercayai
kebatilan ini.
Isa
bin Hamzah berkata: suatu ketika saya pernah masuk rumah Abdullah bin Hakam
sedang waktu itu pada diri Abdullah ada tanda merah. Kemudian saya bertanya
kepadanya: apakah kamu memakai tangkal? Jawab Abdullah: A’udzu billahi min
dzalik (aku berlindung diri kepada Allah dari yang demikian itu). Dalam satu
riwayat Abdullah mengatakan: Lebih baik aku mati daripada bertangkal, sebab
Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
“Barangsiapa
menggantungkan sesuatu (tangkal), maka dia akan dibebaninya.” (Riwayat Tarmizi)
Diriwayatkan,
bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas’ud masuk rumah, sedang di leher isterinya
ada kalung (bertangkal), maka ditariknya oleh Ibnu Mas’ud dan
dipotong-potongnya, kemudian ia berkata: Keluarga Abdullah harus jauh daripada
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan keterangan
padanya. Kemudian ia berkata:
“Saya
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: sesungguhnya tangkal, azimat dan tambul
adalah syirik. Para sahabat kemudian bertanya: Ya aba Abdirrahman! Tangkal dan
azimat ini kami sudah tahu, tetapi apakah tambul itu? Ia menjawab: tambul ialah
sesuatu yang diperbuat oleh orang-orang perempuan supaya selalu dapat bercinta
dengan suami-suami mereka.” (Riwayat Ibnu Hibban dan Hakim)
Tambul
adalah salahsatu semacam sihir.
Para
ulama berkata: tangkal yang dilarang; yaitu yang bukan bahasa Arab yang tidak
dimengerti maksudnya, dan barangkali juga di situ terdapat sihir dan kata-kata
kufur. Adapun kalimat yang dapat dimengerti dan didalamnya terdapat penyebutan
Allah, maka kalimat semacam itu justru disunnatkan. Jadi tangkal waktu itu
berarti doa dan harapan kepada Allah untuk kesembuhan dan berobat.
Tangkal
yang biasa dilakukan orang-orang jahiliah tercampur dengan sihir, syirik dan
azimat yang samasekali tidak mempunyai makna yang dapat dimengerti.
Diriwayatkan,
bahwa Ibnu Mas’ud pernah melarang isterinya berbuat semacam tangkal jahiliah
ini, lantas isterinya berkata kepadanya: pada suatu hari saya keluar, kemudian
si anu melihat saya maka melelehlah airmataku; tetapi apabila saya memakai
tangkal ini airmataku tidak meleleh, tetapi kalau kubuang meleleh lagi. Maka
berkatalah Ibnu Mas’ud kepadanya: dia itu adalah syaitan yang apabila kamu taat
kepadanya, kamu akan ditinggalkannya, tetapi jika kamu durhaka kepadanya, maka
ia akan cocok matamu dengan jarinya. Kalau kamu mau berbuat seperti apa yang
dilakukan Nabi, adalah lebih baik dan lebih dapat diharapkan akan kesembuhanmu,
yaitu: kamu percikkan air pada kedua matamu, sambil berdoa:
“Hilangkanlah
penyakit ini hai Tuhan, sembuhkanlah aku, karena Engkaulah Dzat yang dapat
menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dariMu, suatu kesembuhan
yang tidak akan meninggalkan sakit.” (Riwayat Ibnu Majah, Abu Daud dan Hakim)
4.1.7
Tathayyur (Merasa Sial)
Merasa
sial karena sesuatu, tempat, waktu, seseorang dan sebagainya adalah termasuk
ramalan yang sangat laku di pasaran, secara berkelompok atau perorangan.
Di
zaman dahulu pernah juga terjadi demikian, misalnya tentang kaum Nabi Saleh,
mereka ini berkata kepadanya:
“Kami
merasa sial sebab kamu dan orang-orang yang bersamamu.” (an-Naml: 47)
Fir’aun
dan kaumnya apabila ditimpa suatu musibah, mereka menganggap kesialannya itu
karena Musa dan orang-orang yang bersamanya.1
Dan banyak pula orang-orang kafir yang sesat itu kalau mendapat bala’ dari
Allah, mereka kemudian berkata kepada para juru da’wah dan Rasul:
“Kami
merasa sial sebab kamu semua.” (Yasin:18)
Tetapi
para Rasul itu kemudian menjawab:
“Kesialanmu
itu sebab kamu sendiri.” (Yasin: 19)
Yakni
sebab-sebab kesialanmu itu ada pada kamu sendiri, yaitu lantaran kamu kufur,
ingkar dan memusuhi Allah dan RasulNya.
Orang-orang
Arab jahiliah dalam segi ini mempunyai doa yang panjang dan bermacam-macam
kepercayaan. Sehingga datanglah Islam kemudian dihapusnya dan mereka
dikembalikan untuk mengikuti jalan fikiran yang lurus.
Rasulullah
merangkaikan ramalan dan sihir dalam satu susunan, seperti sabdanya:
“Bukan
dari golongan kami siapa yang merasa sial, atau minta diramalkan kesialannya,
atau menenung, atau minta ditenungkan, atau mensihir, atau minta disihirkan.”
(Riwayat Thabarani)
Dan
sabdanya pula:
“Membuat
garis di tanah, menganggap sial karena alamat dan melempar kerikil karena ada
suatu kepercayaan, adalah termasuk menyembah selain Allah.” (Riwayat Abu Daud,
Nasa’i dan Ibnu Hibban)
Tathayyur,
satu hal yang berdiri tanpa landasan ilmu pengetahuan atau suatu kenyataan yang
benar. Tathayyur, hanya berjalan mengikuti kelemahan dan membenarkan dugaan
yang salah (waham). Kalau tidak demikian, apa artinya seorang yang berakal
percaya mendapat sial karena seseorang, atau karena tempat, karena dengkurnya
suara burung, geraknya mata atau terdengarnya suatu perkataan?!
Apabila
nalurinya manusia itu ada kelemahan, maka akan mengalir pada dirinya suatu
anggapan sial karena sesuatu. Seharusnya dia tidak mau menerima kelemahan ini.
Lebih-lebih apabila dia sudah sampai pada fase bekerja dan pelaksanaan. Rasulullah
s.a.w. pernah bersabda:
“Ada
tiga perkara yang tidak akan bisa selamat satupun, yaitu: menuduh, tathayyur
dan hasud. Oleh karena itu kalau kamu menuduh jangan kamu nyatakan, dan kalau
merasa sial jangan surut (jangan kamu gagalkan pekerjaanmu), dan kalau kamu
hasud, jangan lanjutkan.” (Riwayat Thabarani)
Oleh
karena ketiga perkara ini hanya semata-mata perasaan yang tidak berpengaruh pada
suatu sikap dan perbuatan, maka dimaafkannya oleh Allah. Dan diriwayatkan pula
dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tathayyur
(merasa sial) adalah syirik.” 3 kali.
Dan
Ibnu Mas’ud sendiri berkata: ” …tetapi Allah akan menghilangkannya dengan tawakkal.”
(Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
4.1.8
Memerangi Tradisi Jahiliah
Sebagaimana
Islam memberantas pengikut-pengikutnya yang mengikuti kepercayaan-kepercayaan
jahiliah dan ramalannya, karena akan berbahaya pada rasio, pekerti dan
tingkahlaku, maka begitu juga Islam akan memerangi tradisi-tradisi jahiliah
yang selalu menghidup-hidupkan ashabiyah, kecongkakan, kesombongan dan
membangga-banggakan golongan.
4.1.9
Tidak Ada Ashabiyah dalam Islam
Pertama
kali yang diperbuat oleh Islam dalam persoalan ini, yaitu: Islam tidak mengakui
ashabiyah dengan segala macamnya, dan mengharamkan kaum muslimin
menghidup-hidupkan setiap perasaan atau apa saja yang mengajak kepada
ashabiyah.
Rasulullah
sendiri telah mengumandangkan pernyataan, bahwa orang yang berbuat demikian
tidak akan diakui sebagai ummatnya. Sabda Nabi:
“Bukan
dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari
golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk
golongan kami orang yang mati karena ashabiyah.” (Riwayat Abu Daud)
Tidak
ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air.
Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta’asshub) karena warna kulitnya
melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena
daerahnya melebihi daerah orang lain.
Dan
tidak halal pula seorang muslim membela golongannya karena ta’asshub baik dalam
kebenaran, kebatilan, keadilan dan kecongkakan.
Wailah
bin al-Asqa’ pernah bertanya kepada Rasulullah: “Apakah yang disebut ashabiyah
itu?” Maka jawab Nabi: “Yaitu kamu membela golonganmu pada kezaliman.” (Riwayat
Abu Daud)
Dan
Allah telah juga berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan sebagai saksi karena
Allah sekalipun terhadap diri-dirimu sendiri, atau terhadap kedua orang tua dan
kerabatmu.” (an-Nisa': 135)
“Dan
jangan sampai karena kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu tidak
berlaku adil.” (al-Maidah: 8)
Rasulullah
menterjemahkan mafhum kalimat ini yang sudah sangat popular di kalangan orang
jahiliah dan diartikan menurut lahiriahnya. Maka sabda beliau:
“Tolonglah
saudaramu yang menganiaya ataupun yang dianiaya.”
Setelah
Rasulullah menyampaikan terjemahan ini kepada para sahabatnya yang sesudah
lebih dahulu meresapkan iman ke dalam hati mereka, karena apa yang diucapkan
oleh Rasulullah itu ada maksud lain, maka para sahabatnya merasa heran dan
tercengang. Justru itu mereka kemudian bertanya:
“Ya
Rasulullah! Kami bisa saja menolong saudara kami yang dizalimi, tetapi bagaimana
kami harus menolong saudara kami yang berbuat zalim?” Maka jawab Nabi: “Yaitu
kamu tahan dia dari berbuat zalim. Yang demikian itu berarti suatu pertolongan
buat dia.” (Riwayat Bukhari)
Dari
sini kita dapat mengetahui, bahwa setiap anjuran di kalangan kaum muslimin
kepada fanatik daerah seperti ajakan untuk fanatik chauvinisme, atau ajakan
untuk fanatik kepada golongan sentris seperti nasionalisme, adalah propaganda
jahiliah yang samasekali tidak diakui oleh Islam, oleh Rasulullah dan oleh
al-Quran. Islam samasekali tidak mau mengakui setiap loyalitas yang di luar
kepercayaan Islam. Tidak juga mengakui setiap perserikatan yang bukan ukhuwah
Islamiah. Dan tidak pula mengakui setiap ciri yang membedakan manusia, selain
ciri iman dan kafir. Oleh karena itu setiap orang kafir yang menentang Islam
adalah musuh orang Islam kendati dia bertetangga dan salah seorang dari anggota
keluarga, bahkan kendati dia itu saudara kandung sendiri. Sebab Allah telah
berfirman:
“Kamu
tidak dapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu menaruh cinta
kepada orang yang ingkar kepada Allah dan Rasulnya sekalipun mereka yang ingkar
itu ayah-ayah mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau
keluarga mereka.” (al-Mujadalah: 22)
Dan
firmanNya pula:
“Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan ayah-ayah kamu dan
saudara-saudara kamu sebagai kekasih (ketua), jika mereka itu lebih suka kufur
daripada beriman.” (at-Taubah: 23)
4.1.10
Tidak Boleh Ada Pertentangan Lantaran Nasab dan Warna Kulit
Imam
Bukhari meriwayatkan, bahwa Abu Dzar dan Bilal al-Habasyi saling bercaci-maki
sampai memuncak kemarahannya. Kemudian Abu Dzar berkata kepada Bilal: Hai
anaknya perempuan hitam! Mendengar ucapan itu, Bilal mengadu kepada Nabi. Maka
kata Nabi kepada Abu Dzar:
“Hai
Abu Dzar, apakah kau caci dia sebab ibunya? Kalau begitu sungguh kamu seorang
yang masih diliputi perasaan jahiliah.” (Riwayat Bukhari)
Dari
Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepadanya: ‘Lihatlah,
sesungguhnya engkau tidak lebih baik daripada orang yang berkulit merah dan
tidak pula lebih dari orang yang berkulit hitam, melainkan kamu lebihkan dirimu
dengan taqwalah.’ (Riwayat Ahmad)
Dan
sabdanya pula:
”Semua
kamu keturunan Adam, sedang Adam dicipta dari tanah.” (Riwayat Bazzar)
Dengan
demikian, Islam mengharamkan setiap muslim berjalan mengikuti perasaan
jahiliah, dalam persoalan menyombongkan diri karena nasab dan keturunan, karena
ayah dan datuk. Seperti apa yang biasa dikatakan oleh satu sama lain: saya anak
si anu, saya keturunan anu, sedang engkau asal dari keturunan anu. Saya
berkulit putih sedang engkau hitam. Saya orang Arab sedang engkau bukan orang
Arab. Apa nilai keturunan ini kalau mereka itu semua juga berasal dari satu
keturunan? Misalkan nasab itu mempunyai nilai, tetapi apa kelebihan seseorang
atau apa pula dosanya kalau dia berasal dari keturunan ayah ini dan ayah itu? Rasulullah
pernah bersabda:
“Sesungguhnya
nasab-nasabmu ini bukan menjadi sebab kamu boleh mencaci kepada seseorang; kamu
semua adalah anak-cucu Adam … Tidak ada seorangpun yang melebihi orang lain,
melainkan karena agama dan taqwanya …” (Riwayat Ahmad)
Dan
sabdanya pula:
“Manusia
seluruhnya berasal dari Adam dan Hawa. Sedang Allah tidak menanyaimu tentang
keturunanmu dan nasabmu nanti pada hari kiamat; sesungguhnya semulia-mulia kamu
di hadapan Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (Riwayat Ibnu
Jarir)
Rasulullah
s.a.w. telah menumpahkan kemarahannya kepada orang-orang yang menyombongkan
diri lantaran ayah dan datuk-datuknya, dengan ungkapan yang tajam dan
menggetarkan hati. Beliau mengatakan:
“Hendaklah
orang-orang yang menyombongkan ayah-ayahnya yang sudah mati itu mau berhenti.
Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka. Atau mereka itu lebih rendah di
hadapan Allah daripada kumbang yang mengguling-gulingkan tahi dengan hidungnya;
Allah telah menghapuskan kesombongan jahiliah dan kecongkakannya lantaran ayah.
Seseorang ada yang beriman dan bertaqwa, dan ada juga yang durhaka dan celaka;
manusia seluruhnya anak-cucu Adam, sedang Adam dibuat dari tanah.” (Riwayat Abu
Daud, Tarmizi dan Baihaqi dengan sanad hasan)
Hadis
ini merupakan satu peringatan kepada orang-orang yang menganggap besar lantaran
nenek-moyangnya dulu adalah keturunan raja-raja dan kaisar. Mereka yang demikian
itu hanyalah bara neraka jahanam, seperti penegasan Rasulullah s.a.w. di atas.
Dalam
Haji Wada’ yang dihadiri oleh beribu-ribu manusia yang ingin mendengarkan
tentang Islam di bulan haram dan di tanah haram, Rasulullah s.a.w. pernah
menyampaikan pidatonya yang dikenal dengan Khuthbatul Wada’ (khutbah
perpisahan). Dalam khutbah itu Rasulullah menegaskan beberapa prinsip, yang
bunyinya sebagai berikut:
4.1.11
Meratapi Orang yang Sudah Mati
Di
antara tradisi yang diberantas oleh Islam, yaitu tradisi jahiliah yang
berkenaan dengan masalah kematian, misalnya: meratap, teriak-teriak dan
berlebih-lebihan dalam melahirkan kesusahan dan kedukaan. Islam mengajar
ummatnya, bahwa mati hanyalah sekedar pindah dari satu tempat ke tempat lain,
bukan musnah samasekali, tidak pula hilang begitu saja. Sedang duka tidak dapat
menghidupkan orang yang sudah mati dan tidak dapat menolak takdir Allah. Oleh
karena itu setiap mu’min harus menerima kematian ini sebagaimana halnya
menerima musibah, yaitu harus sabar dengan mencari keridhaan Allah serta
mengambil suatu pelajaran dengan mengharapkan pertemuan abadi di akhirat,
sambil mengulang-ulang kalimat inna lillahi wainna ilaihi raji’un (sesungguhnya
kami adalah milik Allah, dan kepadaNyalah kami akan kembali).
Adapun
apa yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah, adalah mungkar dan haram yang
tidak diakui oleh Rasulullah s.a.w, sebagaimana sabdanya:
“Tidak
termasuk golongan kami orang yang menampar pipi dan merobek-robek pakaian dan
menyeru dengan seruan jahiliah.” (Riwayat Bukhari)
Tidak
halal seorang muslim memakai tanda khusus untuk berkabung atau tidak berhias
atau mengganti pakaian dan gerak yang sudah biasa, demi menampakkan perasaan
duka dan sedih. Kecuali isteri karena ditinggal mati oleh suaminya, dia harus
melakukan berkabung selama empat bulan sepuluh hari, guna memenuhi hak suami
dan demi ikatan suci yang telah menghubungkan antara keduanya. Sehingga dia
tidak menampakkan perhiasan dan tidak menjadi sasaran mata orang-orang yang
hendak meminangnya selama dalam iddah itu. Yang oleh Islam dianggap sebagai
melanjutkan beberapa hak suami dalam perkawinannya yang telah terdahulu dan
sebagai anyaman atas perkawinan yang lalu.
Tetapi
kalau yang mati itu kebetulan bukan suami, misalnya ayah, anak atau saudara,
maka tidak halal seorang perempuan berkabung lebih dari tiga hari.
Zainab
binti Abu Salamah meriwayatkan dari Ummu Habibah isteri Nabi s.a.w. ketika
ayahnya, Abu Sufyan meninggal dunia. Dia juga meriwayatkan dari Zainab binti
Jahsy ketika saudaranya yang laki-laki meninggal dunia. Kedua isteri Nabi ini
tidak memakai uangi-uangian, kemudian ia berkata: “Demi Allah, saya tidak lagi
memerlukan uangi-uangian, namun saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tidak
halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung
karena kematian, lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suami, maka harus
berkabung empat bulan sepuluh hari.” (Riwayat Bukhari)
Berkabungnya
isteri karena meninggalnya suami adalah wajib yang samasekali tidak boleh
diabaikannya, sebab ada satu riwayat sebagai berikut:
“Telah
datang seorang perempuan kepada Nabi s.a.w. kemudian ia berkata: sesungguhnya
anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya dan matanya menjadi bengkak
(karena menangis), apakah boleh saya suruh dia memakai celak? Maka jawab
Rasulullah: Tidak! Dua kali atau tiga kali, tiap kali ditanya selalu menjawab
tidak.” (Riwayat Bukhari dari Ummu Habibah)
Ini
menunjukkan, haramnya berhias dalam waktu yang telah ditentukan.
Adapun
susah tanpa melewati batas dan menangis tanpa teriak-teriak, termasuk masalah
fitrah (pembawaan). Oleh karena itu tidaklah berdosa.
Diriwayatkan,
bahwa Umar Ibnul-khattab pernah mendengar sementara perempuan menangis karena
kematian Khalid bin al-Walid, kemudian ada sementara orang laki-laki yang
hendak melarangnya, maka kepada si laki-laki tersebut, Umar berkata:
“Biarkanlah dia menangis karena kematian Abu Sulaiman ini (Khalid bin Walid),
selama tangisnya itu tidak menabur-naburkan debu di atas kepalanya dan tidak
teriak-teriak.”
4.2
Bagian Mu’amalah (Hubungan Pekerjaan)
ALLAH
menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara satu dengan
lainnya. Tidak ada seorangpun yang dapat menguasai seluruh apa yang diinginkan.
Tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang dihajatkan itu. Dia mesti
memerlukan apa yang menjadi kebutuhan orang lain.
Untuk
itu Allah memberikan inspirasi (ilham) kepada mereka untuk mengadakan
pertukaran perdagangan dan semua yang kiranya bermanfaat dengan cara jual-beli
dan semua cara perhubungan. Sehingga hidup manusia dapat berdiri dengan lurus
dan irama hidup ini berjalan dengan baik dan produktif.
Nabi
Muhammad s.a.w. diutus, sedang waktu itu bangsa Arab memiliki aneka macam
perdagangan dan pertukaran. Oleh karena itu sebagian yang mereka lakukan
dibenarkan oleh Nabi, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat yang
dibawanya. Sedang sebagiannya dilarang yang kiranya tidak sesuai dengan tujuan
dan jiwa syariat. Larangan ini berkisar dalam beberapa sebab, di antaranya:
Karena
ada usaha untuk membantu perbuatan maksiat.
Karena
ada unsur-unsur penipuan.
Karena
ada unsur-unsur pemaksaan.
Karena
adanya perbuatan zalim oleh salah satu pihak yang sedang mengadakan perjanjian,
dan sebagainya.
4.2.1
Menjual Sesuatu yang Haram, Hukumnya Haram
Apapun
kebiasaan yang berlaku, jika membawa kepada perbuatan maksiat adalah dilarang
oleh Islam. Atau kalau ada sesuatu yang bermanfaat bagi ummat manusia, tetapi
dia itu satu macam daripada kemaksiatan, maka membeli ataupun memperdagangkan
hukumnya haram misalnya: babi, arak, makanan dan minuman yang diharamkan secara
umum, patung, salib, lukisan dan sebagainya. Karena memperdagangkan
barang-barang tersebut dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan maksiat, dapat
membawa orang berbuat maksiat atau mempermudah dan mendekatkan manusia untuk
menjalankan maksiat. Sedang dengan diharamkannya memperdagangkan hal-hal
tersebut dapat melambankan perbuatan maksiat dan dapat mematikan orang untuk
ingat kepada kemaksiatan serta menjauhkan manusia dari perbuatan maksiat. Untuk
itu, maka Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
“Sesungguhnya
Allah dan RasulNya telah mengharamkan memperdagangkan arak, bangkai, babi dan
patung.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya
Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Ia haramkan juga harganya.” (Riwayat
Ahmad dan Abu Daud)
4.2.2
Menjual Barang yang Masih Samar, Terlarang
Setiap
aqad perdagangan ada lubang yang membawa pertentangan, apabila barang yang
dijual itu tidak diketahui atau karena ada unsur penipuan yang dapat
menimbulkan pertentangan antara si penjual dan pembeli atau karena salah satu ada
yang menipu. Justru itu cara ini dilarang oleh Rasulullah s.a.w, sebagai usaha
menutup pintu perbuatan maksiat (saddud dzara’ik).
Justru
itu pula, dilaranglah menjual bibit binatang yang masih ada di dalam tulang
rusuk binatang jantan, atau menjual anak yang masih dalam kandungan, atau
menjual burung yang terbang di udara, atau menjual ikan yang masih dalam air
dan semua macam jual-beli yang terdapat unsur-unsur penipuan.2
Ini
semua justru karena tidak diketahuinya secara pasti benda yang dijualnya itu.
Di
zaman Nabi pernah terjadi beberapa orang menjual buah-buahan yang masih di
pohon dan belum nampak tua. Sesudah aqad, terjadilah suatu musibah yang tidak
diduga-duga, maka rusaklah buah-buahan tersebut. Akhirnya terjadilah
pertentangan antara si penjual dan si pembeli, Si penjual mengatakan: saya
sudah menjualnya dan sudah ada persetujuan. Sedang si pembeli mengatakan: kamu
menjual kepadaku buah-buahan tetapi nyatanya kini buah itu tidak ada, Waktu
itulah Nabi kemudian melarang menjual buah-buahan sehingga jelas sudah
masak/tua,3 kecuali
dengan syarat buah-buahan tersebut dipetik seketika itu juga.
Beliau
melarang juga menjual biji-bijian yang masih dalam tangkai, kecuali apabila
sudah nampak memutih dan selamat dari musibah. Kemudian beliau bersabda:
“Apakah
kamu beranggapan kalau Allah sudah melarang buah-buahan, kemudian salah seorang
di antara kamu menganggap halal untuk makan harta saudaranya?” (Riwayat
Bukhari)
Tidak
semua yang masih samar itu terlarang. Sebab sebagian barang ada yang tidak
dapat dilepaskan dari kesamaran. Misalnya orang yang akan membeli sebuah rumah,
tidak mungkin dia dapat mengetahui fondasi dan apa yang ada di dalam temboknya
itu. Tetapi yang dilarang ialah kesamaran yang ada unsur-unsur kejahatan yang
memungkinkan dapat membawa kepada permusuhan dan pertentangan atau memakan
harta orang lain dengan cara batil.
Kalau
kesamaran itu tidak seberapa, dan dasarnya ialah urfiyah, maka tidaklah haram,
misalnya menjual barang-barang yang berada di dalam tanah, seperti wortel,
lobak, brambang dan sebagainya; dan seperti menjual buah-buahan, misalnya
mentimun, semangka dan sebagainya.
Begitulah
menurut madzhab Malik, yang membolehkan menjual semua yang sangat dibutuhkan
yang kiranya kesamarannya itu tidak banyak dan memberatkan di waktu terjadinya
aqad
4.2.3
Mempermainkan Harga
Islam
memberikan kebebasan pasar, dan menyerahkannya kepada hukum naluri yang kiranya
dapat melaksanakan fungsinya selaras dengan penawaran dan permintaan. Justru
itu kita lihat Rasulullah s.a.w. ketika sedang naiknya harga, beliau diminta
oleh orang banyak supaya menentukan harga, maka jawab Rasulullah s.a.w.:
“Allahlah
yang menentukan harga, yang mencabut, yang meluaskan dan yang memberi rezeki.
Saya mengharap ingin bertemu Allah sedang tidak ada seorang pun di antara kamu
yang meminta saya supaya berbuat zalim baik terhadap darah maupun harta benda.”
(Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, ad-Darimi dan Abu Ya’la)
Rasulullah
s.a.w. menegaskan dalam hadis tersebut, bahwa ikut campur dalam masalah pribadi
orang lain tanpa suatu kepentingan yang mengharuskan, berarti suatu perbuatan
zalim, di mana beliau ingin bertemu Allah dalam keadaan bersih samasekali dari
pengaruh-pengaruh zalim itu.
Akan
tetapi jika keadaan pasar itu tidak normal, misalnya ada penimbunan oleh
sementara pedagang, dan adanya permainan harga oleh para pedagang, maka waktu
itu kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan perorangan. Dalam
situasi demikian kita dibolehkan menetapkan harga demi memenuhi kepentingan
masyarakat dan demi menjaga dari perbuatan kesewenang-wenangan dan demi
mengurangi keserakahan mereka itu. Begitulah menurut ketetapan prinsip hukum.
Dengan
demikian, apa yang dimaksud oleh hadis di atas, bukan berarti mutlak dilarang
menetapkan harga, sekalipun dengan maksud demi menghilangkan bahaya dan
menghalang setiap perbuatan zalim. Bahkan menurut pendapat para ahli, bahwa
menetapkan harga itu ada yang bersifat zalim dan terlarang, dan ada pula yang
bijaksana dan halal.
Oleh
karenanya, jika penetapan harga itu mengandung unsur-unsur kezaliman dan
pemaksaan yang tidak betul; yaitu dengan menetapkan suatu harga yang tidak dapat
diterima, atau melarang sesuatu yang oleh Allah dibenarkan, maka jelas
penetapan harga semacam itu hukumnya haram.
Tetapi
jika penetapan harga itu penuh dengan keadilan, misalnya dipaksanya mereka
untuk menunaikan kewajiban membayar harga mitsil dan melarang mereka menambah
dari harga mitsil, maka hal ini dipandang halal, bahkan hukumnya waiib.
Dalam
bagian pertama, masuk apa yang disebut oleh hadis di atas. Jadi kalau
orang-orang menjual barang dagangannya menurut cara yang lazim tanpa ada
sikap-sikap zalim dari mereka, kemudian harga naik, mungkin karena sedikitnya
barang atau karena banyaknya orang yang membutuhkan, sesuai dengan hukum
penawaran dan permintaan, maka naiknya harga semacam itu kita serahkan kepada
Allah. Tetapi kalau orang-orang dipaksa menjual barangnya dengan harga
tertentu, ini namanya suatu pemaksaan yang tidak dapat dibenarkan.
Adapun
dalam bagian kedua, yaitu misalnya si penjual tidak mau menjual barangnya,
padahal sangat dibutuhkan orang banyak, melainkan dengan tambahan harga yang
ditentukan, maka di sinilah timbulnya suatu keharusan memaksa mereka untuk
menjual barangnya itu dengan harga mitsil.6
Pengertian menetapkan
harga dalam hal ini hanyalah suatu pemaksaan untuk menjualnya dengan harga
mitsil, dan suatu penetapan dengan cara yang adil sebagai memenuhi perintah
Allah.7
4.2.4
Penimbun Dilaknat
Sekalipun
Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang dalam menjual, membeli dan yang
menjadi keinginan hatinya, tetapi Islam menentang dengan keras sifat ananiyah
(egois) yang mendorong sementara orang dan ketamakan pribadi untuk menumpuk
kekayaan atas biaya orang lain dan memperkaya pribadi, kendati dari bahan baku
yang menjadi kebutuhan rakyat.
Untuk
itu Rasulullah s.a.w. melarang menimbun dengan ungkapan yang sangat keras.
Sabda
Rasul:
“Barangsiapa
menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi
perlu kepadanya.” (Riwayat Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah dan Bazzar)
Dan
sabdanya pula:
“Tidak
akan menimbun kecuali orang berbuat dosa.” (Riwayat Muslim)
Perkataan
khathiun (orang yang berbuat dosa) bukan kata yang ringan. Perkataan ini yang
dibawakan oleh al-Quran untuk mensifati orang-orang yang sombong dan angkuh,
seperti Fir’aun, Haaman dan konco-konconya. Al-Quran itu mengatakan:
“Sesungguhnya
Fir’aun dan Haaman dan bala tenteranya, adalah orang-orang yang berbuat
salah/dosa.” (al-Qashash: 8)
Rasulullah
s.a.w. menegaskan tentang kepribadian dan ananiyah orang yang suka menimbun itu
sebagai berikut:
“Sejelek-jelek
manusia ialah orang yang suka menimbun; jika dia mendengar harga murah, merasa
kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa gembira.” (hadis ini dibawakan
oleh Razin dalam Jami’nya)
Dan
sabdanya pula:
“Saudagar
itu diberi rezeki, sedang yang menimbun dilaknat.” (Riwayat Ibnu Majah dan
Hakim)
Ini
semua bisa terjadi, karena seorang pedagang bisa mengambil keuntungan dengan
dua macam jalan:
Dengan
jalan menimbun barang untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi, di saat
orang-orang sedang mencari dan tidak mendapatkannya, kemudian datanglah orang
yang sangat membutuhkan dan dia sanggup membayar berapa saja yang diminta,
kendati sangat tinggi dan melewati batas.
Dengan
jalan memperdagangkan sesuatu barang, kemudian dijualnya dengan keuntungan yang
sedikit. Kemudian ia membawa dagangan lain dalam waktu dekat dan dia beroleh
keuntungan pula. Kemudian dia berdagang lainnya pula dan beroleh untung lagi.
Begitulah seterusnya.
Mencari
keuntungan dengan jalan kedua ini lebih dapat membawa kemaslahatan dan lebih
banyak mendapatkan barakah serta si pemiliknya sendiri –insya Allah– akan
beroleh rezeki, sebagaimana spirit yang diberikan oleh Nabi s.a.w.
Di
antara hadis-hadis penting yang berkenaan dengan masalah penimbunan dan
permainan harga ini, ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ma’qil bin Yasar salah
seorang sahabat Nabi. Ketika dia sedang menderita sakit keras, didatangi oleh
Abdullah bin Ziad –salah seorang gubernur dinasti Umaiyah– untuk menjenguknya.
Waktu itu Abdullah bertanya kepada Ma’qil: Hai Ma’qil: Apakah kamu menduga,
bahwa aku ini seorang yang memeras darah haram? Ia menjawab: Tidak. Ia bertanya
lagi: Apakah kamu pernah melihat aku ikut campur dalam masalah harga
orang-orang Islam? Ia menjawab: Saya tidak pernah melihat. Kemudian Ma’qil
berkata: Dudukkan aku! Mereka pun kemudian mendudukkannya, lantas ia berkata:
Dengarkanlah, hai Abdullah! Saya akan menceriterakan kepadamu tentang sesuatu
yang pernah saya dengar dari Rasulullah s.a.w., bukan sekali dua kali.
Saya
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda demikian:
“Barangsiapa
ikut campur tentang harga-harga orang-orang Islam supaya menaikkannya sehingga
mereka keberatan, maka adalah menjadi ketentuan Allah untuk mendudukkan dia itu
pada api yang sangat besar nanti di hari kiamat.” Kemudian Abdullah bertanya:
“Engkau benar-benar mendengar hal itu dari Rasulullah s.a.w.?!” Ma’qil
menjawab: “Bukan sekali dua kali.” (Riwayat Ahmad dan Thabarani)
Dari
nas-nas hadis tersebut dan mafhumnya, para ulama beristimbat (menetapkan suatu
hukum), bahwa diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat:
Dilakukan
di suatu negara di mana penduduk negara itu akan menderita sebab adanya
penimbunan.
Dengan
maksud untuk menatkkan harga sehingga orang-orang merasa payah, supaya dia
beroleh keuntungan yang berlipat-ganda.
4.2.5
Mencampuri Kebebasan Pasar dengan Memalsu
Dapat
dipersamakan dengan menimbun yang dilarang oleh Rasulullah s.a.w., yaitu:
seorang kota menjualkan barang milik orang dusun. Bentuknya –sebagai yang
dikatakan oleh para ulama– adalah sebagai berikut: Ada seorang yang masih asing
di tempat itu membawa barang dagangan yang sangat dibutuhkan orang banyak untuk
dijual menurut harga yang lazim pada waktu itu. Kemudian datanglah seorang kota
(penduduk kota tersebut) dan ia berkata: Serahkanlah barangmu itu kepada saya,
biarkan sementara di sini untuk saya jualkan dengan harga yang tinggi. Padahal
seandainya si orang dusun itu sendiri yang menjualnya, sudah barang tentu lebih
murah dan dapat memberi manfaat pada kedua daerah dan dia sendiri akan mendapat
untung juga.
Bentuk
semacam ini, waktu itu sudah biasa terjadi di masyarakat, sebagaimana yang
dikatakan oleh sahabat Anas r.a.:
“Kami
dilarang orang kota menjualkan barang orang dusun, sekalipun dia itu saudara
kandungnya sendiri.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dengan
demikian, mereka bisa belajar: bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan
dari kepentingan pribadi.
Sabda
Nabi:
“Tidak
boleh orang kota menjualkan untuk orang dusun; biarkanlah manusia, Allah akan
memberikan rezeki kepada mereka itu masing-masing.” (Riwayat Muslim)
Dari
kata-kata Nabi yang singkat biarkanlah manusia, Allah akan memberikan rezeki
kepada mereka itu masing-masing kita dapat membuat satu rumusan sebagai prinsip
yang sangat penting dalam dunia perdagangan, yaitu: kiranya masalah pasar,
harga dan pertukarannya dibiarkan mengikuti selera fitrah dan faktor-faktor
tabi’i, tanpa dicampuri oleh suatu pemalsuan dari sementara orang.
Ibnu
Abbas pernah ditanya tentang maksud orang kota tidak boleh menjualkan untuk
orang dusun, kemudian ia berkata: yaitu orang kota tidak menjadi makelar untuk
orang dusun,
Pengertiannya,
kalau orang kota itu menunjukkan harga dan memberi nasehat serta memberitahukan
tentang keadaan pasar, tanpa ada maksud mencari keuntungan seperti yang biasa
dilakukan oleh makelar-makelar itu, maka hal semacam ini tidaklah berdosa.
Karena dia memberi nasehat demi mencari keridhaan Allah. Sedang nasehat adalah
salah satu bagian dari agama, bahkan agama itu sendiri seluruhnya adalah
nasehat. Seperti kata Nabi:
“Agama
itu adalah nasehat” (Riwayat Muslim)
Dan
dalam hadis yang lain beliau bersabda:
“Apabila
salah seorang di antara kamu minta nasehat kepada saudaranya, maka nasehatilah
dia.” (Riwayat Ahmad)
Makelar
secara umum bermaksud mencari keuntungan, yang kadang-kadang dia lupa terhadap
kepentingan umum.
4.2.6
Makelar Itu Sendiri Hukumnya Halal
Makelar
untuk orang luar daerah tidak berdosa. Sebab makelar semacam ini salah satu
bentuk penunjuk jalan dan perantara antara penjual dengan pembeli, dan banyak
memperlancar keluarnya barang dan mendatangkan keuntungan antara kedua belah
pihak.
Makelar
atau katakanlah perantara dalam perdagangan, di zaman kita ini sangat penting
artinya dibandingkan dengan masa-masa yang telah lalu, karena terikatnya
perhubungan perdagangan antara importer dan produser, antara pedagang kolektif
dan antara pedagang perorangan. Sehingga makelar dalam hal ini berperanan yang
sangat penting sekali.
Tidak
ada salahnya kalau makelar itu mendapatkan upah kontan berupa uang, atau secara
prosentase dari keuntungan atau apa saja yang mereka sepakati bersama.
Al-Bukhari
mengatakan dalam kitab Sahihnya: Bahwa Ibnu Sirin, ‘Atha’, Ibrahim dan al-Hasan
menganggap tidak salah kalau makelar itu mengambil upah. Dan begitu juga Ibnu
Abbas, ia berkata: Tidak ada salahnya kalau pedagang itu berkata kepada
makelar: ‘Juallah bajuku ini dengan harga sekian. Adapun lebihnya (jika ada
untungnya) maka buat kamu.’ Dan Ibnu Sirin juga berkata: Apabila pedagang
berkata kepada makelar: ‘Jualkanlah barangku ini dengan harga sekian, sedang
keuntungannya untuk kamu.’ Atau ia berkata: ‘Keuntungannya bagi dua.’, maka hal
semacam itu dipandang tidak berdosa. Sebab Rasulullah s.a.w. juga pernah
bersabda sebagai berikut:
4.2.7
Perkosaan dan Penipuan, Hukumnya Haram
Demi
menjaga ketidak adanya campur tangan orang lain yang bersifat penipuan, maka
dilarangnya juga oleh Rasulullah apa yang dinamakan najasyun (menaikkan harga)
yang menurut penafsiran Ibnu Abbas, yaitu: “Engkau bayar harga barang itu lebih
dari harga biasa, yang timbulnya bukan dari hati kecilmu sendiri, tetapi dengan
tujuan supaya orang lain menirunya.” Cara ini banyak digunakan untuk menipu
orang lain.
Kemudian
agar pergaulan kita itu jauh dari sifat-sifat pemerkosaan dan pengelabuhan
tentang harga, maka Rasulullah s.a.w. melarang mencegat barang dagangan sebelum
sampai ke pasar.9
Dengan
demikian, maka barang sebagai bahan baku masyarakat akan mencerminkan harga
yang sesuai, selaras dengan penawaran dan permintaan. Tetapi kadang-kadang si
pemilik barang akan tertipu jika dia tidak mengetahui harga pasar. Justru itu
oleh Nabi ditetapkannya penawaran itu dilakukan setelah barang sampai di pasar.10
4.2.8
Siapa yang Menipu, Bukan dari Golongan Kami
Islam
mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam masalah jual-beli, maupun dalam
seluruh macam mu’amalah.
Seorang
muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya, Sebab keikhlasan
dalam beragama, nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha duniawi.
Rasulullah
s.a.w. pernah bersabda:
“Dua
orang yang sedang melakukan jual-beli dibolehkan tawar-menawar selama belum
berpisah; jika mereka itu berlaku jujur dan menjelaskan (ciri dagangannya),
maka mereka akan diberi barakah dalam perdagangannya itu; tetapi jika mereka
berdusta dan menyembunyikan (ciri dagangannya), barakah dagangannya itu akan
dihapus.” (Riwayat Bukhari)
Dan
beliau bersabda pula:
“Tidak
halal seseorang menjual suatu perdagangan, melainkan dia harus menjelaskan ciri
perdagangannya itu; dan tidak halal seseorang yang mengetahuinya, melainkan dia
harus menjelaskannya.” (Riwayat Hakim dan Baihaqi)
Pada
suatu hari Rasulullah s.a.w. pernah melalui seorang laki-laki yang sedang
menjual makanan (biji-bijian). Beliau sangat mengaguminya, kemudian memasukkan
tangannya ke dalam tempat makanan itu, maka dilihatnya makanan itu tampak
basah, maka bertanyalah beliau: Apa yang diperbuat oleh yang mempunyai makanan
ini? Ia menjawab: Kena hujan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Mengapa
tidak kamu letakkan yang basah itu di atas, supaya orang lain mengetahuinya?!
Sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami.” (Riwayat Muslim)
Dalam
salah satu riwayat dikatakan:
“Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. pernah melalui suatu (tumpukan) makanan yang oleh pemiliknya
dipujinya, kemudian Nabi meletakkan tangannya pada makanan tersebut, tetapi
tiba-tiba makanan tersebut sangat jelek, lantas Nabi bersabda: ‘Juallah makanan
ini menurut harga yang pantas dan ini menurut harga yang pantas; sebab
barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami.” (Riwayat Ahmad)
Begitulah
yang dikerjakan oleh orang-orang Islam zaman dahulu, dimana mereka itu
menjelaskan cacat barang dagangannya dan samasekali tidak pernah
merahasiakannya. Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas dan
tidak menipu.
Ibnu
Sirin pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya:
‘Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya
cacat.’
Begitu
juga al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah),
kemudian ia berkata kepada si pembelinya: “Dia pernah mengeluarkan darah dari
hidungnya satu kali.”
Walaupun
hanya sekali, tetapi ‘jiwa seorang mu’min merasa tidak enak kalau tidak
menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga.
4.2.9
Banyak Sumpah
Lebih
keras lagi haramnya, jika tipuannya itu diperkuat dengan sumpah palsu. Oleh
karena itu Rasulullah melarang keras para saudagar banyak bersumpah, khususnya
sumpah palsu.
Rasulullah
s.a.w. bersabda:
“Sumpah
itu menguntungkan perdagangan, tetapi dapat menghapuskan barakah.” (Riwayat
Bukhari)
Beliau
sangat membenci banyak sumpah dalam perdagangan, karena:
Memungkinkan
terjadinya suatu penipuan.
Menyebabkan
hilangnya perasaan membesarkan asma’ Allah dari hatinya.
4.2.10
Mengurangi Takaran dan Timbangan
Salah
satu macam penipuan ialah mengurangi takaran dan timbangan. Al-Quran menganggap
penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari mu’amalah, dan dijadikan
sebagai salah satu dari sepuluh wasiatnya di akhir surat al-An’am, yaitu:
“Penuhilah
takaran dan timbangan dengan jujur, karena Kami tidak memberi beban kepada
seseorang melainkan menurut kemampuannya.” (al-An’am: 152)
“Penuhilah
takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan jujur dan lurus, yang
demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan. (al-Isra': 35)
“Celakalah
orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain
(membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain
(menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu
tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari
yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap
kepada Tuhan seru sekalian alam?!” (al-Muthafifin: 1-6)
Oleh
karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk berlaku adil
(jujur), sebab keadilan yang sebenarnya jarang bisa diujudkan. Justru itu
sesudah perintah memenuhi timbangan, al-Quran kemudian berkata:
“Kami
tidak memberi beban kepada seseorang, melainkan menurut kemampuannya.”
Al-Quran
juga telah mengisahkan kepada kita tentang ceritera suatu kaum yang curang
dalam bidang mu’amalah dan menyimpang dari kejujurannya dalam hal takaran dan
timbangan. Kepunyaan orang lain selalu dikuranginya. Kemudian oleh Allah
dikirimnya seorang Rasul untuk mengembalikan mereka itu kepada kejujuran dan
kebaikan disamping dikembalikannya kepada Tauhid.
Mereka
yang dimaksud ialah kaumnya Nabi Syu’aib. Nabi Syu’aib menyeru dan sekaligus
memberikan saksi kepada mereka sebagai berikut:
“Penuhilah
takaran dan jangan kamu menjadi orang yang suka mengurangi; dan timbanglah
dengan jujur dan lurus, dan jangan mengurangi hak orang lain dan jangan kamu
berbuat kerusakan di permukaan bumi.” (As-Syu’ara': 181-183)
Mu’amalah
seperti ini suatu contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam
kehidupannya, pergaulannya dan mu’amalahnya. Mereka tidak diperkenankan menakar
dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan; timbangan pribadi dan
timbangan untuk umum; timbangan yang menguntungkan diri dan orang yang
disenanginya, dan timbangan untuk orang lain. Kalau untuk dirinya sendiri dan
pengikutnya dia penuhi timbangan, tetapi untuk orang lain dia kuranginya.
4.2.11
Membeli Barang Rampokan dan Curian sama dengan Perampas dan Pencuri
Di
antara bentuk yang diharamkan Islam sebagai usaha untuk memberantas
kriminalitas dan membatasi keleluasaan pelanggaran oleh si pelanggar, ialah
tidak halal seorang muslim membeli sesuatu yang sudah diketahui, bahwa barang
tersebut adalah hasil rampokan dan curian atau sesuatu yang diambil dari orang
lain dengan jalan yang tidak benar. Sebab kalau dia berbuat demikian, sama
dengan membantu perampok, pencuri dan pelanggar hak untuk merampok, mencuri dan
melanggar hukum.
Rasulullah
s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
“Barangsiapa
membeli barang curian, sedang dia mengetahui bahwa barang tersebut adalah
curian, maka dia bersekutu dalam dosa yang cacat.” (Riwayat Baihaqi)
Dosa
ini tidak dapat terhapus karena lamanya barang yang dicuri dan dirampok itu,
sebab lamanya waktu dalam pandangan syariat Islam tidak dapat menjadikan
sesuatu yang haram menjadi halal. Hak pemilik yang asli tidak dapat gugur
lantaran berlalunya waktu. Demikian menurut ketetapan ahli-ahli hukum sipil.
4.2.12
Riba adalah Haram
Islam
membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan
cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan
dari antara kamu.” (an-Nisa': 29)
Islam
sangat memuji orang yang berjalan di permukaan bumi untuk berdagang. Firman
Allah:
“Sedang
yang lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah.”
(al-Muzammil: 20)
Akan
tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya
itu dengan jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak,
dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah
dilarangnya.
Di
antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman Allah dalam surat
al-Baqarah:
“Hai
orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang
tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau
berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika
kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak
boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi.” (al-Baqarah: 278-279)
Allah
telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang
meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat,
sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
“Apabila
riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan
dirinya untuk mendapat siksaan Allah.” (Riwayat Hakim; dan yang seperti itu
diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la dengan sanad yang baik)
Dalam
hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya. Dalam
agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: “Jikalau kamu
memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang
keras dan jangan ambil bunga daripadanya.” (Keluaran 22:25).
Dalam
agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas dikatakan:
“Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam
dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu…”
(Lukas 6: 35).
Sayang
sekali tangan-tangan usil telah sampai pada Perjanjian Lama, sehingga mereka menjadikan
kata Saudaramu –yang dalam terjemahan di atas diartikan Hambaku pent.–
dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana diperjelas dalam fasal Ulangan
23:20 “Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi
daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia …”
4.2.12.1
Hikmah Diharamkannya Riba
Islam
dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi
kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun
perekonomiannya.
Kiranya
cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi
dalam tafsirnya sebagai berikut:
Riba
adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang
meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan
satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard
hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut
dalam hadis Nabi:
“Bahwa
kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.”11
Oleh
karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
Bergantung
kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si
pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang,
baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari
penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha,
dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan
berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang tidak
dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh
jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.
(Tidak
diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi
perekonomian).
Riba
akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma’ruf) antara sesama manusia
dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang
akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham
juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan
menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya
mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan
kebaikan.
(Ini
suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).
Pada
umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang
yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan
kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai
tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh
rahmat Allah.
(Ini
ditinjau dari segi sosial).
Ini
semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang
lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l’home par l’hom) dengan
suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin.
Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan
kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan
pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan di antara anggota
masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum
subversi.
Sejarah pun telah
mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan
keamanan nasional dan internasional.
4.2.12.2
Pemberi Riba dan Penulisnya
Pemakan
riba ialah pihak pemberi piutang yang memiliki uang dan meminjamkan uangnya itu
kepada peminjam dengan rente yang lebih dari pokok. Orang yang semacam ini
tidak diragukan lagi akan mendapat laknat Allah, dan laknat seluruh manusia.
Akan tetapi Islam, dalam tradisinya tentang masalah haram, tidak hanya
membatasi dosa itu hanya kepada yang makan riba, bahkan terlibat dalam dosa
orang yang memberikan riba itu, yaitu yang berhutang dan memberinya rente
kepada piutang. Begitu juga penulis dan dua orang saksinya. Seperti yang
dinyatakan dalam hadis Nabi:
“Allah
akan melaknat pemakan riba, yang memberi makan, dua orang saksinya dan
jurutulisnya.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Tetapi
apabila di situ ada suatu keharusan yang tidak dapat dihindari dan mengharuskan
kepada si peminjam untuk memberinya rente, maka waktu itu dosanya hanya terkena
kepada si pengambil rente saja.
Namun
dalam hal ini diperlukan beberapa syarat:
Adanya
suatu keadaan dharurat yang benar-benar, bukan hanya sekedar ingin kesempurnaan
kebutuhan. Sedang apa yang disebut dharurat, yaitu satu hal yang tidak mungkin
dapat dihindari, apabila terhalang, akan membawa kebinasaan. Seperti makanan
pokok, pakaian pelindung dan berobat yang mesti dilakukan.
Kemudian
perkenan ini hanya sekedar dapat menutupi kebutuhan, tidak boleh lebih. Maka
barangsiapa yang kiranya cukup dengan $9,- (9 pounds) misalnya, tidak halal
hutang $10,-.
Dari
segi lain, dia harus terus berusaha mencari jalan untuk dapat lolos dari
kesulitan ekonominya. Dan rekan-rekan seagamanya pun harus membantu dia untuk
inengatasi problemanya itu. Jika tidak ada jalan lain kecuali dengan meminjam
dengan riba, maka barulah dia boleh melakukan, tetapi tidak boleh dengan
kesengajaan dan melewati batas. Sebab Allah adalah Maha Pengampun dan
Penyayang.
Dia
berbuat begitu, tetapi harus dengan perasaan tidak senang. Begitulah sehingga
Allah memberikan jalan keluar kepadanya.
4.2.12.3
Rasulullah Selalu Minta Perlindungan pada Allah dari Berhutang
Satu
hal yang perlu diketahui oleh setiap muslim tentang hukum agamanya, yaitu agama
menyuruh supaya dia berlaku lurus dan sederhana dalam hidup dan kehidupannya.
Firman
Allah:
“Dan
jangan kamu berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang
berlebih-lebihan.” (al-An’am: 141)
“Jangan
kamu boros, karena sesungguhnya orang yang boros adalah kawan syaitan.”
(al-Isra': 26-27)
Kalau
al-Quran menuntut kepada orang-orang mu’min supaya menginfaqkan harta
kekayaannya, maka al-Quran tidak menuntut kepada mereka melainkan supaya
menginfaqkan sebagian harta, bukan semuanya. Sebab siapa yang mendermakan sebagian
hartanya, maka sedikit sekali dia akan berkekurangan,
Dengan
kesederhanaan ini maka seorang muslim tidak lagi perlu berhutang, lebih-lebih
Nabi sendiri tidak suka seorang muslim membiasakan berhutang. Sebab hutang
dalam pandangan seorang muslim yang baik, adalah merupakan kesusahan di malam
hari dan suatu penghinaan di siang hari. Justru itu Nabi selalu minta
perlindungan kepada Allah dari berhutang. Doa Nabi itu sebagai berikut:
“Ya
Tuhanku! Aku berlindung diri kepadamu dari terlanda hutang dan dalam kekuasaan
orang lain.” (RiwayatAbu Daud)
Dan
ia bersabda pula:
“Aku
berlindung diri kepada Allah dari kekufuran dan hutang. Kemudian ada seorang
laki-laki bertanya: Apakah engkau menyamakan kufur dengan hutang ya Rasulullah?
Ia menjawab: Ya!” (Riwayat Nasa’i dan Hakim)
Dan
kebanyakan doa yang dibaca di dalam sembahyangnya ialah:
“Ya
Tuhanku! Aku berlindung diri kepadaMu dari berbuat dosa dan hutang. Kemudian ia
ditanya: Mengapa Engkau banyak minta perlindungan dari hutang ya Rasulullah? Ia
menjawab: Karena seseorang kalau berhutang, apabila berbicara berdusta dan
apabila berjanji menyalahi.” (Riwayat Bukhari)
Ia
menjelaskan, bahwa dalam hutang itu ada suatu bahaya besar terhadap budipekerti
seseorang.
Beliau
tidak mau menyembahyangi janazah, apabila diketahui bahwa waktu meninggalnya
itu dia masih mempunyai tanggungan hutang padahal dia tidak dapat melunasinya,
sebagai usaha untuk menakut-nakuti orang lain dari akibat hutang. Sehingga
apabila dia mendapat ghanimah, maka beliau sendiri yang menyelesaikan hutangnya
itu. Dan sabdanya:
“Akan
diampuni orang yang mati syahid semua dosanya melainkan hutang.” (Riwayat
Muslim)
Berdasar
penjelasan ini, maka seorang muslim tidak boleh berhutang kecuali karena sangat
perlu. Dan kalaupun dia terpaksa harus berhutang, samasekali tidak boleh
melepaskan niat untuk membayar. Sebab dalam hadis Rasulullah s.a.w. disebutkan:
“Barangsiapa
hutang uang kepada orang lain dan berniat akan mengembalikannya, maka Allah
akan luluskan niatnya itu; tetapi barangsiapa mengambilnya dengan Niat akan
membinasakan (tidak membayar), maka Allah akan merusakkan dia.” (Riwayat
Bukhari)
Kalau
seorang muslim tidak dibolehkan hutang tanpa rente, padahal hutang adalah
mubah, kecuali karena dharurat, dan didesak oleh suatu keperluan, maka
bagaimana lagi kalau hutangnya itu bersyarat harus dibayar dengan rentenir.
4.2.12.4
Menjual Kredit dengan Menaikkan Harga
Termasuk
yang perlu untuk disebutkan di sini, yaitu sebagaimana diperkenankan seorang
muslim membeli secara kontan, maka begitu juga dia diperkenankan menangguhkan
pembayarannya itu sampai pada batas tertentu, sesuai dengan perjanjian.
Rasulullah
s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo, untuk
nafkah keluarganya. Begitu juga beliau pernah menggadaikan baju besinya kepada
orang Yahudi.12
Sekarang
apabila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini
biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka sementara
fuqaha’ ada yang mengharamkannya dengan dasar, bahwa tambahan harga itu justru
berhubung masalah waktu. Kalau begitu sama dengan riba.
Tetapi
jumhurul ulama membolehkan, karena pada asalnya boleh, dan nas yang
mengharamkannya tidak ada; dan tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi
manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang
pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan kezaliman. Kalau
sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram.
Imam
Syaukani berkata: “Ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah
dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan
inilah yang kiranya lebih tepat.”13
4.2.12.5
Salam
Sebalik
di atas, yaitu seorang muslim dibenarkan membayar uang lebih dahulu untuk
barang yang akan diterimanya kemudian. Cara semacam ini dalam fiqih Islam
disebut salam.
lni
salah satu macam mu’amalah yang waktu itu biasa berlaku di Madinah. Akan tetapi
Nabi Muhammad s.a.w. ikut mencampuri persoalan tersebut dengan memberikan
beberapa pedoman dan persyaratan, untuk disesuaikan dengan tuntunan syariat
Islam.
Ibnu
Abbas meriwayatkan: bahwa ketika Rasulullah s.a.w. tiba di Madinah, orang-orang
pada menjalankan pengikat untuk. buah-buahan dalam jangka waktu setahun dan dua
tahun. Kemudain Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Barangsiapa
mencengkerami buah-buahan, maka cengkeramilah dengan suatu takaran tertentu,
dan timbangan tertentu pada batas waktu tertentu.” (Riwayat Jam’ah)
Dengan
membatas takaran, timbangan dan jangka waktu ini, maka akan hilanglah
pertentangan dan kesamaran. Tetapi di samping itu mereka juga mengadakan ikatan
untuk jenis buah korma yang masih di pohon, maka dilarangnyalah hal itu oleh
Nabi s.a.w. karena terdapat unsur-unsur kesamaran. Sebab kadang-kadang potion
korma itu akan terserang hama sehingga tidak bisa berbuah.
Jadi
bentuk yang paling selamat dan aman dalam mu’amalah seperti ini, yaitu tidak
bersyarat dengan jenis kormanya atau jenis gandumnya, tetapi yang penting ialah
syarat takaran dan timbangan.
Tetapi
kalau di situ terdapat unsur-unsur pemerkosaan (exploitation) yang
terang-terangan oleh pihak pemilik kebun, sehingga karena didorong oleh
keperluan, terpaksa si pemberi ikatan harus menerima perjanjian tersebut, maka
waktu itu dapat dihukumi haram.
4.2.13
Kerjasama dalam Suatu Pekerjaan dan Tentang Masalah Kapital
Barangkali
akan ada orang bertanya: Bahwa Allah telah membagi rezeki dan kecakapan pada
tiap-tiap manusia menurut ukurannya masing-masing. Sehingga banyak sekali kita
jumpai di kalangan manusia ada yang mempunyai kecakapan dan pengetahuan, tetapi
mereka tidak mempunyai modal uang. Sebaliknya tidak sedikit pula kita jumpai
orang yang mempunyai uang banyak, tetapi pengetahuannya sangat minim atau boleh
dikatakan samasekali tidak ada. Tetapi mengapa si pemilik modal tidak boleh
memberikan uangnya itu kepada orang yang cakap dan berpengalaman, untuk diputar
dan dikembangkan, dengan suatu imbalan keuntungan yang telah ditentukan.
Sehingga dengan demikian yang mempunyai kecakapan itu bisa mengambil keuntungan
uang tersebut, dan si pemilik uang pun dapat keuntungan dari kecakapan orang
tersebut. Lebih-lebih kalau di situ ada projek besar yang memerlukan saham dari
beberapa orang, sedang banyak di antara mereka yang memiliki kelebihan uang,
padahal mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan uangnya itu. Dalam
keadaan demikian, mengapa uang yang banyak ini tidak boleh dipergunakan untuk
projek vital yang besar yang dikembangkan oleh orang-orang yang ahli managemen
dan pengetahuan.
Kami
akan menjawab: sesungguhnya Islam tidak menghalang-halangi kerjasama kapital
dan pengetahuan, atau antara uang dan pekerjaan, sebagaimana dibenarkannya oleh
fiqih Islam, tetapi kerjasama ini harus dilandasi dengan suatu perencanaan yang
baik. Kalau si pemilik uang telah merelakan uangnya itu untuk syirkah dengan
orang lain, maka dia harus berani menanggung segala resiko karena syirkahnya
itu.
Oleh
karena itu syariat Islam memberikan syarat dalam mu’amalah seperti ini yang
oleh ahli-ahli fiqih dinamakan mudharabah (kongsi) atau qiradh (memberikan
modalnya kepada orang lain), yaitu kedua belah pihak bersekutu dalam keuntungan
dan kerugian. Prosentase keuntungan dan kerugian ini menurut persetujuan
bersama. Keduanya boleh menentukan untuk salah satu pihak mendapatkan 1/2, 1/3,
1/4 atau kurang dari itu atau lebih; sedang sisanya untuk yang lain.
Kalau
begitu, maka kerjasama antara modal dan pekerjaan, adalah kerjasama antara dua
orang yang berserikat, yang masing-masing akan mendapatkan bagiannya, sedikit
atau banyak. Kalau ada untung, maka keuntungannya dibagi menurut perjanjian
yang telah ditentukan bersama. Dan jika rugi, maka kerugian itu diambilkan dari
keuntungan. Dan jika kerugian itu sampai menghabiskan keuntungan, bahkan
bertambah, maka diambilkan dari modal, menurut besar-kecilnya kerugian. Dan
kerugian yang diderita oleh pemilik uang bukan satu hal yang mustahil, sama
halnya dengan kerugian yang dialami oleh kongsinya yang telah mengeluarkan
tenaga dan keringatnya.
Begitulah
peraturan Islam dalam persoalan ini. Adapun menentukan keuntungan kepada
pemilik modal, tidak lebih dan tidak kurang sekalipun keuntungan itu berganda
atau kerugian berlipat, maka cara seperti ini merupakan tikaman terhadap
keadilan dan bisa membawa modal untuk menentang pengetahuan dan pekerjaan,
bertentangan dengan hukum hidup yang memberi dan menahan dan dapat menggalakkan
orang untuk mencintai pekerjaan tanpa kerja dan tanpa menanggung resiko. Inilah
jiwa riba yang jahat itu.
Oleh
karena itu Rasulullah s.a.w. melarang menyewakan tanah dengan cara muzara’ah,14 yaitu
menetapkan hasil dari bagian tanah tertentu, atau menentukan ukuran tertentu
dari luar, misalnya satu kwintal atau dua kwintal.
Dilarangnya
hal tersebut karena ada persamaannya dengan riba dan spekulasi. Sebab tanah itu
kadang-kadang hanya menghasilkan sebanyak yang ditentukan itu dan kadang-kadang
samasekali tidak menghasilkan. Maka waktu itu berarti di satu pihak menggaruk
hasil dan di lain pihak menderita kerugian. Cara semacam ini tidak dapat
diterima oleh keadilan.
Larangan
muzara’ah ini dinyatakan dengan nas yang tegas. Dan menurut pendapat saya, ini
adalah merupakan masalah prinsip, karena ijma’ ulama yang menyatakan dalam
mudharabah tidak boleh menentukan keuntungan tertentu untuk salah satu pihak15 baik
untung maupun rugi. Alasan para ulama tentang tidak bolehnya mudharabah seperti
ini, sama dengan alasannya tentang tidak bolehnya muzara’ah, yaitu: karena
apabila salah satu pihak menentukan syarat dengan keuntungan tertentu, padahal
mungkin dia tidak akan beruntung kecuali pas sebanyak persyaratan tersebut,
maka waktu itu dia akan mengambil keuntungannya itu semuanya; dan mungkin juga
samasekali tidak beruntung. Atau kadang-kadang juga mendapat keuntungan yang
besar sekali, maka waktu itu dia cukup merugikan pemilik uang.16
Alasan
ini sesuai dengan jiwa Islam yang akan membangun setiap bentuk mu’amalah dengan
landasan keadilan yang kukuh dan terang.
4.2.14
Syirkah antara Pemilik-Pemilik Modal
Sebagaimana
Islam telah membenarkan seorang muslim menggunakan uangnya secara perorangan
dalam usaha-usaha yang mubah, dan sebagaimana dibolehkannya seorang muslim
untuk menyerahkan modalnya kepada orang yang ahli dengan cara mudharabah, maka
begitu juga Islam memberi perkenan kepada para pemilik modal untuk mengadakan
syirkah dalam suatu usaha apakah berupa perusahaan atau perdagangan dan
sebagainya. Sebab di antara pekerjaan-pekerjaan dan projek-projek ada yang
sangat membutuhkan banyak fikiran, tenaga dan modal. Sedang seseorang itu
dinilai kecil apabila sendirian, tetapi dinilai banyak kalau bersama yang lain.
Untuk
ini maka berfirmanlah Allah:
“Dan
tolong-menolonglah kamu atas kebaikan dan tagwa.” (al-Maidah: 3)
Semua
perbuatan dan sikap hidup yang menguntungkan seseorang atau masyarakat atau
yang kiranya dapat melindungi seseorang dari marabahaya, dipandang sebagai
perbuatan baik dan taqwa kalau disertai dengan niat yang baik.
Islam
tidak hanya sekedar memberikan perkenan syirkah ini, bahkan akan memberkati
pekerjaan tersebut dengan suatu pertolongan dari Allah di dunia ini dan pahala
kelak di akhirat, selama dalam memutarkan roda pekerjaan ini mengikuti jalan
yang dihalalkan Allah, tidak dengan riba, ghurur, zalim dan khianat dengan
segala macamnya.
Dalam
hal ini Rasulullah s.a.w, pernah bersabda sebagai berikut:
“Tangan
Allah bersama dua orang yang berserikat, selama salah satu pihak tidak,
berkhianat kepada yang lain; apabila salah satu pihak ada yang mengkhianati
kawannya, maka tanganNya itu akan ditarik dari keduanya.” (Riwayat Daraquthni)
Tangan
Allah di sini adalah sebagai kata sindiran (kinayah), yakni pertolongan dan
barakah.
Dalam
hadis Qudsi, Allah mengatakan:
“Saya
adalah ketiga dari dua orang yang bersyarikat itu, selama salah satu pihak tidak
mengkhianati kawannya; jika salah satu mengkhianati kawannya, maka saya akan
keluar dari antara mereka berdua itu.” (Riwayat Abu Daud dan Hakim dan ia
sahkannya)
Ibnu Razin dalam
kitab Jami’nya menambahkan: (dan akan datang syaitan).
4.2.15
Asuransi
Di
antara bentuk mu’amalah baru, yaitu apa yang disebut asuransi. Ada yang
berhubungan dengan masalah hidup, yang dinamakan asuransi jiwa dan ada pula
asuransi sebagai jaminan kalau terjadi kecelakaan. Bagaimanakah pandangan
Islam? Dibenarkankah?
Sebelum
kami menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kami ingin menanyakan tentang
jiwa daripada perusahaan ini. Apa jiwanya? Dan bagaimana hubungannya antara
yang menjadi anggota asuransi itu dengan pihak perusahaan? Atau dengan kata
lain: Apakah anggota asuransi itu penuh sebagai anggota syirkah bagi perusahaan
tersebut? Kalau benar demikian, setiap anggota syirkah (anggota asuransi) harus
tunduk (bersekutu) terhadap keuntungan dan kerugian yang diperoleh dan diderita
oleh perusahaan tersebut, menurut ketentuan ajaran Islam.
Dalam
asuransi kecelakaan yaitu seorang anggota membayar sejumlah uang (x rupiah
misalnya) setiap tahun. Apabila dia bisa lolos dari kecelakaan, maka uang
jaminan itu hilang (perdagangan, perusahaan, kapal ataupun lainnya), sedang si
pemilik perusahaan akan menguasai sejumlah uang tersebut dan sedikitpun tidak
mengembalikan kepada anggota asuransi itu. Tetapi jika terjadi suatu
kecelakaan, maka perusahaan akan membayar sejumlah uang yang telah disetujui
bersama.
Usaha
semacam ini samasekali jauh dari watak perdagangan dan solidaritas berserikat.
Dalam
asuransi jiwa, apabila anggota asuransi itu membayar sejumlah uang $2,000.00
misalnya pada periode pertama kemudian mendadak meninggal dunia, maka dia akan
mendapat pengembalian sejumlah uang tersebut dengan penuh, tidak kurang satu
sen pun. Tetapi kalau dia itu bersyirkah dalam berdagangan, maka dia akan
memperoleh kembalian uang sejumlah uang yang disetor pada periode itu ditambah
dengan keuntungannya.
Kemudian
apabila dia berkhianat kepada perusahaan dan tidak bisa lagi membayar untuk
periode-periode berikutnya sedang dia sudah pernah membayar sebatiagiannya,
maka sejumlah uangnya yang disetor itu atau sebagian besarnya akan hilang.
Ini
paling tidak dapat dikatakan: suatu perjanjian yang rusak. Dan alasan karena
antara kedua belah pihak sudah ada saling kerelaan dan keduanya sudah saling
mengetahui kemanfaatannya itu tak berbobot. Sebab antara pemakaian riba dan
yang memberinya makan juga sudah ada saling merelakan begitu juga kedua pemain
judi sudah merelakan. Namun tokh karena kerelaannya itu tidak dianggap sebagai
alasan halalnya perbuatan tersebut, selama mu’amalah ini tidak menegakkan
prinsip-prinsip keadilan dengan tegas yang tidak dicampuri tipuan dan kezaliman
serta perampasan oleh satu pihak terhadap pihak lain sedang keadilan dan tidak
saling membahayakan adalah pokok.
4.2.15.1
Apakah Asuransi dapat Digolongkan Yayasan Dana Bantuan
Apabila
kita belum mendapat kejelasan dari segi manapun, bahwa hubungannya antara
anggota asuransi dan perusahaan sebagai hubungan antara anggota syirkah dengan
anggota lainnya, maka apa watak hubungan antara keduanya itu sekarang? Apakah
hubungan setia kawan? Kalau benar demikian, maka lembaga ini adalah termasuk
lembaga sosial yang ditegakkan berdasarkan saham dari orang-orang yang ingin
menyumbangkan sejumlah uangnya dengan tujuan saling mengadakan bantuan satu
sama lain. Namun agar di situ terdapat kerjasama yang baik antara seluruh
anggota, guna memberikan pertolongan kepada pihak-pihak yang sedang dilanda suatu
musibah, maka uang yang dikumpulkan demi terwujudnya cita-cita yang dimaksud,
diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut:
Setiap
anggota yang menyetorkan uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus
disertai niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang
terkumpul itu diambillah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat
memerlukan.
Apabila
uang itu akan diputar, maka harus dijalankan menurut aturan syara’.
Tidak
dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya
dia mendapat imbalan yang berlipat apabila terkena suatu musibah. Akan tetapi
dia diberi dari uang jama’ah sebagai ganti atas kerugiannya itu atau sebagainya
menurut izin yang diberikan oleh jama’ah.
Sumbangan
(tabarru’) sama dengan hibah (pemberian). Oleh karena itu haram hukumnya
ditarik kembali. Kalau terjadi suatu peristiwa, maka harus diselesaikan menurut
aturan syara’.17
Syarat-syarat
ini tidak akan berlaku kecuali sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian
koperasi dan lembaga-lembaga sosial yang kini biasa di kalangan kita, yaitu
seseorang membayar tiap bulan dengan niat tabarru’ (donatur); dia tidak boleh
menarik kembali uangnya itu, dan tidak ditentukan jumlah bantuannya jika
terjadi suatu musibah.
Adapun
asuransi lebih-lebih asuransi jiwa, persyaratan ini samasekali tidak dapat
diterapkan. Sebab:
Semua
anggota asuransi tidak membayarkan uangnya itu dengan maksud tabarru’, bahkan
niat ini sedikitpun tidak terlintas padanya.
Badan
asuransi memutar uangnya dengan jalan riba, sedang setiap muslim tidak
dibenarkan bersyirkah dalam pekerjaan riba. Dan ini justru telah disetujui
bersama oleh orang-orang yang memperketat maupun oleh orang-orang yang memperingan
persoalan ini.
Anggota
asuransi mengambil dari perusahaan –apabila telah habis waktu yang ditentukan–
sejumlah uang yang telah disetor dan sejumlah tambahan, apakah ini bukan
berarti riba?!
Bertentangannya
asuransi dengan arti bantuan sosial, yaitu bahwa asuransi memberi kepada orang
kaya lebih banyak daripada kepada orang yang tidak mampu, sebab orang yang
mampu membayar asuransi sejumlah uang yang lebih banyak, maka ketika ia mati
karena suatu musibah, akan mendapat bagian yang lebih besar pula. Sedang
bantuan sosial, adalah memberi kepada orang yang tidak mampu lebih banyak
daripada lainnya.
Barangsiapa
hendak menarik kembali uangnya itu, maka dia akan dikenakan kerugian yang cukup
besar. Sedang pengurangan ini samasekali tidak dapat dibenarkan dalam pandangan
syariat Islam.18
4.2.15.2
Sesuaikan dengan Islam
Asuransi
kecelakaan menurut pendapat saya mungkin juga untuk disesuaikan dengan Islam,
yaitu dalam bentuk:
Sumbangan
berimbal, misalnya seorang anggota asuransi membayar uang kepada perusahaan
dengan syarat dia akan diberi imbalan sejumlah uang karena ditimpa suatu
musibah, sebagai bantuan untuk meringankan penderitaannya itu.
Bentuk
asuransi seperti ini dibenarkan dalam pandangan sebagian madzhab Islam.
Jika
asuransi dapat disesuaikan seperti tersebut, dan perusahaan yang menjalankannya
itu samasekali bersih dari perbuatan riba, niscaya dapat dikatakan boleh.
Adapun
asuransi jiwa menurut bentuknya yang ada sekarang seperti tersebut di atas,
menurut pendapat saya samasekali jauh dari tuntunan syariat Islam.
4.2.15.3
Asuransi Menurut Aturan Islam
Kalau
kita telah mengetahui, bahwa Islam tidak dapat menerima asuransi model sekarang
ini dengan segala aktivitasnya yang telah berlaku, maka ini bukan berarti Islam
menentang gagasan asuransi itu ansich.
Samasekali
tidak demikian! Yang ditentang oleh Islam ialah beberapa prinsip dan caranya.
Adapun jika ada cara-cara lain yang tidak bertentangan dengan syariat Islam,
maka sudah pasti Islam akan menyambutnya dengan baik.
Ringkasnya,
bahwa aturan Islam telah menjamin ummatnya dan orang-orang yang berada di bawah
naungan pemerintahan Islam dengan cara-cara tersendiri, dalam seluruh peraturan
dan pengarahannya. Ada kalanya jaminannya itu melalui sikap solider dari
anggota masyarakat itu sendiri, dan ada kalanya melalui pemerintah dan lembaga
baitul-maal.
Baitul-maal
adalah asuransi secara umum untuk semua orang yang bernaung di bawah
pemerintahan Islam.
Dalam
syariat Islam ada suatu jaminan dan cara-cara menyalurkannya kepada seseorang
yang sedang mendapat musibah,
Di
bab yang terdahulu telah kami sebutkan, bahwa di antara hal-hal yang
membolehkan seseorang meminta, yaitu apabila dia ditimpa kelaparan. Dia boleh
minta kepada pemerintah (waliyul amri), dan waliyul amri akan memberi ganti
semua yang dideritanya itu atau yang kiranya cukup untuk meringankan
sebagiannya.
Kita
dapati juga suatu jaminan untuk ahli waris karena kematian keluarga, yaitu
seperti yang disabdakan Nabi s.a.w.:
“Saya
lebih berhak mengurus setiap muslim daripada dirinya sendiri; barangsiapa
meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan barangsiapa
meninggalkan hutang atau kebangkrutan, maka untuk saya dan menjadi tanggungan
saya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Di
antara jaminan Islam terhadap ummatnya, ialah apa yang disebut bagian khusus
untuk orang-orang yang berhutang (gharimin) dalam pembagian zakat.
Sementara
ahli tafsir dari ulama-ulama salaf ada yang menafsirkan kata gharimin, yaitu:
orang yang rumahnya terbakar, atau hartanya hanyut oleh banjir dan sebagainya.
Sementara
ahli fiqih juga ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan demikian dia boleh
diberi bantuan dari uang zakat, sebanyak harta yang dideritanya itu, sekalipun
beribu-ribu banyaknya.
4.2.16
Memanfaatkan Tanah Pertanian
Apabila
seorang muslim memiliki tanah pertanian, maka dia harus memanfaatkan tanah
tersebut dengan bercocoktanam.
Islam
samasekali tidak menyukai dikosongkannya tanah pertanian itu, sebab hal
tersebut berarti menghilangkan nikmat dan membuang-buang harta, sedang
Rasulullah s.a.w. melarang keras disia-siakannya harta.
“Rasulullah
s.a.w. melarang membuang-buang harta.”
Pemilik
tanah ini dapat memanfaatkannya dengan berbagai cara.
4.2.16.1
Cara Pemanfaatannya
Cara
pertama. Diurus sendiri dengan ditanaminya tumbuh-tumbuhan atau ditaburi benih
kemudian disiram dan dipelihara. Begitulah sampai keluar hasilnya. Cara semacam
ini adalah cara yang terpuji, di mana pemiliknya akan mendapat pahala dari
Allah karena tanamannya itu bisa dimanfaatkan oleh manusia, burung dan binatang
ternak. Kebanyakan sahabat Anshar adalah hidup bercocok-tanam. Mereka urus
sendiri tanah-tanah mereka itu, sebagaimana telah diterangkan terdahulu.
Cara
kedua. Kalau dia tidak mungkin dapat mengurus sendiri, maka dipinjamkannya
tanahnya itu kepada orang lain yang mampu mengurusnya dengan bantuan alat,
bibit ataupun binatang untuk mengolah tanah, sedang dia samasekali tidak
mengambil hasilnya. Cara semacam ini sangat dituntut oleh Islam.
Abu
Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
“Barangsiapa
memiliki tanah, maka tanamilah atau berikan kepada kawannya.” (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
Dalam
satu riwayat dikatakan demikian:
“Dari
Jabir ia berkata: Kami biasa menyewa tanah dengan mendapatkan sebagai dari
hasil (mukhabarah), kemudian kami mendapat hasil tanah itu begini dan begini.
Maka sabda Nabi: barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah sendiri atau
suruhlah saudaranya untuk menanaminya, kalau tidak, tinggalkanlah.” (Riwayat
Ahmad dan Muslim)
Berdasar
dhahir hadis ini sementara ulama salaf berpendapat, bahwa pemanfaatan tanah
hanya dapat ditempuh dengan salah satu dua cara:
Mungkin
ditanaminya sendiri, atau
Mungkin
diserahkan kepada orang lain untuk ditanami tanpa imbalan suatu apapun. Yakni
pengawasan terhadap tanah dilakukan oleh pemiliknya sedang hasilnya diambil
oleh yang mengerjakannya.
Ibnu
Hazm meriwayatkan dengan sanadnya sendiri sampai kepada al-Auza’i, bahwa ia
berkata: “Atha’, Makhul, Mujahid dan Hasan Basri semuanya berpendapat, bahwa
tanah yang tidak ditanami, tidak boleh disewakan dengan dirham maupun dinar dan
tidak juga dipekerjakan, melainkan harus ditanami oleh si pemiliknya sendiri
atau diberikannya kepada orang lain.”
Diriwayatkan,
bahwa Abdullah bin Abbas berpendapat, bahwa perintah memberi tanah dalam
hadis-hadis di atas, bukan wajib tetapi hanya sunnat belaka.
Imam
Bukhari meriwayatkan, bahwa ‘Amr bin Dinar berkata: aku berkata kepada Thawus,
salah seorang rekan Ibnu Abbas: kalau kamu tinggalkan mukhabarah, maka mereka
akan beranggapan, bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata: orang yang
lebih tahu, yakni Ibnu Abbas, pernah memberitahukan kepadaku, bahwa Rasulullah
s.a.w. tidak melarangnya, cuma beliau bersabda demikian:
“Sungguh
salah seorang di antara kamu akan memberikan tanahnya kepada kawannya, lebih
baik daripada dia mengambil atas tanahnya itu hasil yang ditentukan.” (Riwayat
Bukhari)
Cara
ketiga, ialah cara muzara’ah, yaitu pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan
hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat
hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2, 1/3 atau kurang atau lebih menurut
persetujuan bersama.
Boleh
juga si pemilik tanah itu membantu kepada yang hendak menaminya berupa bibit,
alat atau hewan.
Cara
seperti ini disebut: muzara’ah, musagaat atau mukhabarah.
Dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim diterangkan, bahwa
Rasulullah s.a.w. menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian
separuh hasilnya untuk pemilik tanah.
Hadis
ini diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat, di antaranya: Ibnu Umar, Ibnu
Abbas dan Jabir bin Abdullah.
Hadis
ini dijadikan alasan oleh orang yang membolehkan muzara’ah; dan mereka berkata:
“Muzara’ah adalah perkara yang baik dan sudah biasa berlaku, yang juga
dikerjakan oleh Rasulullah s,a.w. sampai beliau meninggal dunia, kemudian
dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin sampai mereka meninggal dunia. Dan kemudian
diikuti oleh orang-orang sesudahnya. Sehingga tidak seorang pun ahli bait Nabi
di Madinah yang tidak mengerjakan hal ini. Dan begitu juga isteri-isteri Nabi
s.a.w. sepeninggal beliau.”
Cara seperti ini
tidak boleh dianggap mansukh.19 Sebab terjadinya mansukh harus semasa hidup
Rasulullah s.a.w. Adapun sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi sampai beliau
meninggal dunia, dan kemudian disepakati oleh para khalifahnya dan mereka pun
mengerjakannya, dan tidak seorangpun yang menentangnya, maka bagaimana mungkin
hal semacam ini dianggap mansukh? Kalau hal itu dimansukh semasa hidup Nabi,
tetapi mengapa beliau sendiri mengerjakannya sesudah dimansukhnya hukum
tersebut? Mengapa mansukhnya itu justru dirahasiakan sehingga tidak seorang
khalifah pun yang menyampaikan hal itu, padahal kisah Khaibar ini sangat
masyhur di kalangan mereka? Siapakah perawi mansukh ini, sehingga mereka tidak
menyebut dan dia sendiri tidak menyampaikan hal itu kepada para sahabat yang
lain.
4.2.16.2
Muzara’ah yang Tidak Dibenarkan
Ada
suatu bentuk muzara’ah yang sudah biasa berlaku di zaman Nabi, tetapi oleh
beliau dilarangnya karena terdapat unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang
berakibat kepada persengketaan; dan bertentangan dengan jiwa keadilan yang
sangat dijunjung tinggi oleh Islam dalam seluruh lapangan.
Banyak
para sahabat yang memberikan persyaratan kepada orang yang mengerjakan
tanahnya; yaitu dengan ditentukan tanah dan sewanya dari hasil tanah baik
berupa takaran ataupun timbangan. Sedang sisa daripada hasil itu untuk yang
mengerjakannya atau masih dibagi dua lagi, misalnya.
Rasulullah
s.a.w. melihat, bahwa apa yang disebut keadilan, yaitu kedua belah pihak
bersekutu dalam hasil tanah itu, sedikit ataupun banyak. Tidak layak kalau di
satu pihak mendapat bagian tertentu yang kadang-kadang suatu tanah tidak
menghasilkan lebih dari yang ditentukan itu. Dalam keadaan demikian, maka
pemilik tanah berarti akan mengambil semua hasil, sedang di lain pihak
menderita kerugian besar. Dan kadang-kadang pula, suatu tanah yang ditentukan
itu tidak menghasilkan apa-apa, sehingga dengan demikian dia samasekali tidak
mendapat apa-apa, sedang di lain pihak (penyewa) memonopoli hasil.
Oleh
karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil
tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu
banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya
sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali
tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini
lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.
Diriwayatkan
dari jalan Rafi’ bin Khadij, ia berkata:
“Kami
kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara’ah, kami menyewakan tanah,
satu bagian daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah … maka kadang-kadang si
pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan
kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat,
oleh karenanya kami dilarang. (Riwayat Bukhari)
Di
lain riwayat Rafi’ bin Khadij berkata:
“Di
zaman Nabi orang-orang biasa menyewakan tanah yang dekat sumber dan yang
berhadapan dengan parit-parit dan beberapa macam tanaman, maka yang ini rusak
dan yang itu selamat; yang ini selamat dan yang itu rusak, sedang orang-orang
tidak melakukan penyewaan tanah kecuali demikian, oleh karena itu kemudian
dilarangnya.” (Riwayat Muslim)
Rasulullah
s.a.w. bertanya kepada para sahabat:
“Apa
yang kamu perbuat terhadap tanam-tanamanmu itu?” Mereka menjawab: “Kami sewakan
dia dengan 1/4 dan beberapa wasag dari korma dan gandum.” Maka jawab Nabi,
“Jangan kamu berbuat demikian.” (Riwayat Bukhari)
Maksud
hadis ini, yaitu mereka menetapkan ukuran tertentu yang mereka ambilnya dari
hasil tanah itu, kemudian membagi sisanya bersama orang-orang yang menanaminya,
untuk ini 1/4 dan untuk itu 3/4 misalnya.
Dari
sini pula kita dapat mengetahui, bahwa Nabi sangat berkeinginan untuk
mewujudkan keadilan secara merata dalam masyarakatnya, serta menjauhkan semua
hal yang menyebabkan pertentangan dan perkelahian di kalangan masyarakat Islam.
Zaid
bin Tsabit meriwayatkan, bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar tentang
masalah tanah, kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka jawab Nabi:
“Kalau
ini persoalanmu, maka janganlah kamu menyewakan tanah.” (RiwayatAbu Daud)
Jadi
masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa, harus ada sikap toleransi
(tasamuh) yang tinggi. Misalnya si pemilik tanah jangan minta terlalu tinggi
dari hasil tanahnya itu. Begitu juga sebaliknya si penyewa jangan merugikan
pihak pemilik tanah.
Justru
itu dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia mengatakan:
“Sesungguhnya
Nabi s.a.w. tidak mengharamkan menyewakan tanah (muzara’ah), tetapi ia
memerintahkan supaya satu sama lain bersikap lemah-lembut.” (Riwayat Tarmizi)
Dan
justru itu pula, ketika Thawus ditanya, maka dia menjawab: Hai Abu Abdirrahman!
Kalau kamu tinggalkan penyewaan tanah (mukhabarah) niscaya mereka akan
beranggapan, bahwa Rasulullah s.a.w. melarangnya, padahal ia berkata:
“Bahwa
saya akan menolong mereka dan akan memberi mereka.” (Riwayat Ibnu Majah)
Jadi
tidak seluruh keinginannya Nabi akan mengerjakan tanahnya sekalipun di situ ada
orang yang sangat ingin untuk mengerjakannya. Tetapi Nabi akan memberikan
pertolongan kepada mereka dan akan memberinya. Dan inilah corak masyarakat Islam.
Kadang-kadang
ada juga pemilik tanah yang lebih suka tanahnya itu dibiarkan gundul, tidak
ditanami dan tidak ditaburi benih, daripada dia serahkan kepada orang yang
mampu mengurusnya dengan prosentase yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu
Umar bin Abdul Aziz mengutus orang yang berkepentingan: supaya pemilik tanah
itu menyerahkan tanahnya dengan pembagian 1/4, 1/3, atau 1/5 sampai 1/10 dan
jangan dibiarkan tanah itu dalam keadaan gundul.
Cara
keempat, yaitu: menyewakan tanahnya tersebut dengan uang, misalnya si pemilik
tanah menyerahkan tanahnya itu kepada orang yang sanggup mengurusnya dengan
penyewaan berupa uang dengan jumlah tertentu.
Cara
ini oleh kebanyakan ahli fiqih yang masyhur dibolehkannya. Tetapi sementara ada
yang melarangnya dengan dalil hadis sahih yang menerangkan, bahwa Nabi s.a.w.
melarang menyewakan tanah dengan penyewaan atau bagian tertentu, yaitu hadis
yang diriwayatkan dari Nabi oleh dua orang peserta Perang Badar, Rafi’ bin
Khadij, Jabir, Abu Said, Abu Hurairah dan Ibnu Umar, semuanya meriwayatkan dari
Nabi, bahwa ia melarang menyewakan semua tanahnya.20
Dapat
dikecualikan dari penyewaan yang bernama kira’ yaitu bentuk muzara’ah, karena
tegas Nabi sendiri selalu melakukannya bersama penduduk Khaibar semasa hidup
beliau dan kemudian dilanjutkannya oleh para Khulafaur Rasyidin.
Bagi
orang yang mau memperhatikan perkembangan perundang-undangan Islam dalam
persoalan ini, kiranya akan jelas baginya apa yang diterangkan oleh Ibnu Hazm
dalam Muhalla: “Bahwa Rasulullah s.a.w. datang di tengah-tengah masyarakat yang
biasa menyewakan tanah ladangnya –sebagaimana riwayat Rafi’dan lain-lain–
sedang tanah ladang tidak dapat disangkal lagi adalah disewakan sebelum
Muhammad diangkat sebagai Rasul dan sesudahnya. Ini suatu hal yang tidak
mungkin dapat diragukan lagi oleh setiap orang yang berakal. Kemudian tegas
riwayat Jabir, Abu Said, Rafi’, peserta Perang Badar dan dua orang peserta
Perang Badar lagi dan Ibnu Umar, yang menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w.
melarang kira’ secara keseluruhannya. Maka perkenan yang dahulu itu dibatalkan
dengan yakin, tidak diragukan lagi. Oleh karena itu barangsiapa beranggapan,
bahwa mansukhnya perkenan kira’ itu telah ditarik kembali, dan kepastian
mansukh itu telah batal, maka dia adalah berdusta dan mendustakan; berkata
sesuatu yang tidak diketahuinya. Cara semacam ini jelas haram dengan nas
al-Ouran, kecuali apabila dia dapat membawakan dalil, sedang dalil untuk itu
samasekali tidak ada, melainkan disewanya tanah itu dengan suatu bagian yang
ditentukan dari hasil tanah tersebut misalnya 1/3 atau 1/4, dan ini tegas
dilakukan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. terhadap penduduk Khaibar sesudah
dilarangnya bertahun-tahun lamanya. Dan penyewaan seperti ini terus berlangsung
sampai beliau wafat.”21
Yang
berpendirian seperti ini ialah sejumlah ulama salaf.
Thawus
salah seorang ahli fiqih dari Yaman dan seorang Tabi’in besar tidak suka
menyewakan tanah dengan emas atau perak (uang), tetapi dengan 1/3 atau 1/4.
Ketika
pendapatnya ini dibantah, dengan alasan bahwa Nabi melarang menyewakan tanah,
maka Thawus menjawab: “Mu’az bin Jabal –duta Nabi ke Yaman– datang kepada kami,
kemudian menyewakan tanah dengan 1/3 dan 1/4 sedang kami mengetahuinya sampai
sekarang ini, yang seolah-olah menganggap, bahwa penyewaan tanah yang
dilarangnya itu ialah penyewaan dengan uang (emas dan perak). Adapun muzara’ah
dipandangnya tidak apa-apa.”
Yang
berpendapat seperti ini ialah Muhammad bin Sirin dan al-Qasim bin Muhammad bin
Abubakar as-Siddiq. Keduanya berpendapat tidak salah kalau menyerahkan tanahnya
kepada orang lain dengan penyewaan 1/3, 1/4 atau 1/10 nya sedang si pemilik
tanah tidak memberikan pembelanjaan sedikitpun.
Di
samping itu, kedua ulama itupun berpendapat dilarang melakukan kira’.
Ada
pula segolongan tabi’in yang tidak membolehkan penyewaan tanah secara
keseluruhannya, baik dengan uang ataupun bagi hasil. Tetapi satu hal yang tidak
diragukan lagi, bahwa mereka ini tidak mengetahui dibolehkannya hal tersebut
dengan fi’liyah Nabi sendiri, para khalifahnya dan Mu’az waktu di Yaman. Dan
inilah perundang-undangan dalam bidang pekerjaan yang ditetapkan untuk kaum
muslimin pada mass-masa permulaan.
Adapun
larangan menyewakan tanah dengan uang, sudah cocok dengan nas dan akal.
4.2.16.3
Qias yang dapat Menetapkan Dilarangnya Menyewakan dengan Uang
Qias
yang benar terhadap kaidah-kaidah Islam dan nas-nas yang sahih menetapkan tidak
bolehnya menyewakan tanah gundul dengan uang, sebagai berikut:
a)
Rasulullah s.a.w. melarang menyewakan tanah dengan satu bagian tertentu dari
hasilnya, misalnya: 24 gantang, 48 gantang, 1 kwintal, atau 2 kwintal yang
ditentukan untuk si pemilik tanah.
Rasulullah
s.a.w. tidak membenarkan juga penyewaan tanah dengan bagian hasil (muzara’ah),
melainkan dengan bagian yang masih relatif misalnya 1/4, 1/3, 1/2 nya. Atau
dengan kata lain pembagian secara prosentase. Hal ini dimaksudkan supaya kedua
belah pihak sama-sama mendapat keuntungan apabila tanah tersebut menghasilkan
buah dan tidak diserang hama suatu apapun; dan juga bersama-sama menerima
kerugian apabila tanah tersebut diserang hama.
Adapun
menentukan bagian untuk salah satunya, supaya dia beroleh keuntungan besar dan
di lain pihak hanya mendapat keringat, kecapaian dan kerugian, tak ubahnya
dengan perbuatan riba dan berjudi.
Kalau
kita mau merenungkan masalah penyewaan tanah dengan uang menurut kacamata ini,
maka apakah perbedaannya dengan penyewaan bagi hasil (muzara’ah) yang
dilarangnya?
Sebab
pemilik tanah sudah pasti akan menerima bahagiannya itu berupa uang, sedang
pihak penyewa akan mempertaruhkan tenaga dan kecapaiannya dengan tidak
mengetahui apakah akan beruntung atau rugi? Apakah tanahnya itu dapat
menghasilkan atau tidak.
b)
Orang yang menyewakan sesuatu adalah tetap memilikinya sampai seterusnya. Oleh
karena itu dia berhak mendapat upah atas persediaan yang diberikan kepada pihak
penyewa dan persiapan guna dimanfaatkan oleh penyewa. Upah mana sebagai ganti
atas penyusutan yang dialami oleh barangnya itu sedikit demi sedikit.
Sekarang
manakah persediaan yang harus diberikan oleh si pemilik tanah untuk
dipersiapkan buat pihak penyewa? Padahal Allah menyediakan tanah untuk kita
semua untuk ditanami, bukan untuk dimiliki. Sekarang manakah penyusutan yang
dialami oleh tanah karena ditanami, sedang tanah tidak termakan dan tidak
tergerak karena ditanami, seperti halnya bangunan dan alat.
c)
Seseorang yang menyewa rumah, secara langsung dapat memanfaatkan rumah itu
dengan ditempati, misalnya, tanpa ada yang menghalangi sedikitpun. Begitu juga
orang yang menyewa alat. Adapun penyewa tanah tidak dapat memanfaatkannya
secara langsung. Ketika dia menyewa tidak sekaligus dapat memanfaatkannya
seperti halnya menyewa rumah, bahkan dia harus berusaha dan mencurahkan fikiran
guna memanfaatkannya, yang kadang-kadang berhasil dan kadang-kadang tidak. Oleh
karena itu setiap qias (analogi) untuk menyamakan persewaan tanah dengan rumah,
adalah suatu qias yang tidak benar.
d)
Dalam hadis Bukhari diterangkan, bahwa Rasulullah s.a.w. melarang menjual
buah-buahan yang masih dalam kebun (baca: pohonnya) sebelum nampak jelas
baiknya, padahal waktu itu sudah diketahui selamat dari hama. Kemudian
Rasulullah s.a.w. dalam memberikan alasan larangannya itu sebagai berikut:
“Apakah
kamu akan beranggapan, bahwa jika Allah melarang buah-buahan, kemudian salah
seorang di antara kamu itu halal mengambil harta saudaranya?” (Riwayat Bukhari)
Kalau
demikian halnya tentang orang yang menjual buah-buahan yang sudah nampak
baiknya tetapi belum dapat diyakinkan keselamatannya, yang kadang-kadang
diserang oleh hama yang menghalang kesempurnaan masaknya buah-buahan tersebut,
maka bagaimana halnya orang yang menyerahkan sebidang tanah gundul yang tidak
dapat dipukul dengan kayak dan tidak patut ditaburi benih. Apakah kepada orang
semacam ini tidak sepatutnya kita ajukan suatu pertanyaan: Apakah kamu akan
beranggapan, jika Allah melarang tentang buah-buahan, berarti kamu halal
mengambil harta saudaramu?!
Saya
pernah menyaksikan dengan mata-kepala sendiri, ada beberapa kebun kapas yang
dimakan ulat, sehingga tinggal pohonnya dalam keadaan kering tidak lagi
menghasilkan apa-apa, sedang si pemilik tanah tetap menuntut sewa, dan si
penyewa tidak ada jalan lain hanya menyerah bulat di bawah kekejaman belenggu
yang melilit. Maka di manakah letaknya tolong-menolong (ta’awun)? Dan di mana
letaknya keadilan yang selalu dicanangkan oleh Islam?
Keadilan
tidak akan terwujud, kecuali dengan muzara’ah (penyewaan bagi hasil menurut
prosentase) di mana keuntungan dan kerugian akan dipikul bersama oleh kedua
belah pihak.22
Sekalipun
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membolehkan menyewakan tanah, tetapi beliau
sendiri menyebutkan, bahwa muzara’ah adalah lebih sesuai dengan keadilan dan
prinsip syariah Islamiah. Beliau berkata: “Muzara’ah lebih halal daripada
kira’, dan lebih mendekati kepada keadilan dan pokok ajaran Agama Islam. Sebab
dalam Muzara’ah itu kedua belah pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian,
Berbeda dengan kira’, maka pemilik tanah sudah pasti menerima keuntungan,
sedang pihak penyewa kadang-kadang dapat dan kadang-kadang tidak dapat.”23
Al-Muhaqqiq
Ibnul Qayim dalam komentarnya terhadap kezaliman yang dilakukan oleh para
penguasa dan militer terhadap kaum petani di masa itu, ia mengatakan: “Kalau
militer dan penguasa mau mendukung kaum petani menurut syariat yang telah
ditentukan Allah dan RasulNya serta perbuatan para Khulafaur Rasyidin, niscaya
mereka akan memperoleh rezeki dari atas dan dari bawah, dan niscaya Allah akan
membukakan pintu-pintu barakahNya dari langit dan bumi. Namun penghasilan yang
berlipat sekarang ini mereka dapat dengan kezaliman dan permusuhan.
Tetapi
kebodohan dan kekejaman mereka itu tetap membantahnya, sehingga mereka hanya
berbuat kezaliman dan dosa. Mereka tidak mau menerima barakah dan keluasan
rezeki. Oleh karena itu kelak di akhirat mereka akan mendapat siksa dan
dicabutnya barakah itu di dunia ini.”
Kalau
ditanyakan: “Bagaimanakah syariat yang telah ditentukan Allah dan Rasul serta
perbuatan para khalifah, sehingga orang dapat menirunya dan memperoleh taufik
dari Allah?”
Jawabnya:
Penyewaan dengan bagi hasil (mazara’ah) dengan adil, itulah yang harus
lama-lama dilakukan oleh pemilik tanah dan petani. Tidak ada keistimewaan untuk
satu pihak terhadap pihak lain dari ketentuan ini, menurut hukum Allah.
Mengistimewakan seseorang terhadap orang lain inilah yang menyebabkan hancurnya
negara, rusaknya masyarakat, terhalangnya hujan, hilangnya barakah dan
menyebabkan para militer dan pembesar berani makan barang haram. Padahal kalau
sesuatu tubuh tumbuh dari barang haram, maka nerakalah tempatnya.
Muzara’ah
yang adil adalah cara yang dilakukan oleh kaum muslimin di zaman Rasulullah.
s.a.w., para Khulafaur Rasyidin, keluarga Abubakar, keluarga Umar, keluarga
Usman, keluarga Ali dan kaum muhajirin. Dan ini pulalah yang menjadi pendirian
kebanyakan para sahabat, seperti: Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit
dan lain-lain lagi. Dan ini pula yang menjadi pendirian ulama ahli hadis,
seperti: Imam Ahmad, Ishak bin Rahawih, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Daud
bin Ali, Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah, Abubakar bin al-Mundzir, Muhammad
bin Nasr al-Maruzi. Dan ini juga yang menjadi pendirian kebanyakan ulama Islam
seperti: Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan
dan lain-lainnya.
Rasulullah
s.a.w. sendiri telah melakukan hal tersebut dengan penduduk Khaibar, yaitu
dengan separuh dari hasil tanah. Begitulah sampai beliau meninggal dunia.
Mu’amalah
seperti ini terus berlangsung sampai penduduk Khaibar itu dikeluarkan oleh
Khalifah Umar dari Khaibar. Nabi memberi persyaratan kepada mereka dengan biaya
dan bibit dari mereka, bukan dari Nabi.
Oleh
karena itu pendapat yang paling benar, ialah bahwa bibit boleh dari pihak
penyewa, sebagaimana nas hadis, dan boleh juga dari kedua belah pihak.
Al-Bukhari
menyebutkan dalam kitab Sahihnya, bahwa Umar Ibnul-Khattab menyewakan tanah
dengan perjanjian bibit dari Umar dan dia akan mendapat lebih dari separuh.
Kalau bibit dari mereka, maka mereka dapat lebih dari separuh juga.24
Seluruh
riwayat yang menerangkan tentang muzara’ah, sedikitpun tidak dikenal, bahwa
bagian penyewa tanah kurang dari separuh, bahkan kadang-kadang lebih dari
separuh.
Memang
yang cukup dapat menyenangkan hati, ialah bagian penyewa tidak kurang dari
separuh, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan para khalifahnya
bersama orang-orang Yahudi Khaibar.
Tidak layak kalau
bagian pemilik tanah lebih tinggi daripada bagian penyewa.
4.2.17
Syirkah dalam Memelihara Binatang
Ada
satu macam mu’amalah yang berlaku di negeri kita ini (Arab), khususnya di
desa-desa, yaitu apa yang disebut syirkah dalam memelihara hewan dan binatang
ternak. Salah satu pihak membayar semua harga atau sebagiannya, sedang di pihak
lain memelihara. Sesudah itu antara kedua belah pihak membagi hasil dan
keuntungannya.
Supaya
jelas, maka kami akan menjelaskan beberapa macam bentuk syirkah ini, yaitu
sebagai berikut:
BENTUK
PERTAMA: Syirkah semata-mata untuk tujuan dagang. Misalnya syirkah dalam
memelihara anak lembu supaya gemuk, atau memelihara sapi dan kerbau untuk
menghasilkan susu.
Yang
harus dipenuhinya dalam hal ini, ialah pihak pertama harus membayar harga
lembu, sedang pihak kedua memeliharanya. Sedang pembiayaannya, seperti: makannya
dan minumnya, dari kedua belah pihak, bukan dari satu pihak saja. Dan kalau
dijual, nafkahnya itu dipisahkan dari harga penjualan, sedang sisanya dari
keuntungan dibagi menurut perjanjian.
Tidak
adil kalau satu pihak dibebani nafkah, padahal dia tidak diberi imbalan, sedang
keuntungannya dibagi dua. Ini kiranya cukup jelas.
BENTUK
KEDUA: Syirkah antara pihak pertama yang membayar harga binatang dengan pihak
lain yang memberi nafkah dan memelihara, dengan imbalan dia dapat memanfaatkan
air susunya atau dipergunakan membajak, menarik air dan menanam.
Cara
ini tidak apa-apa dan dapat dipandang baik apabila hewannya itu besar dan jelas
dapat dimanfaatkan, baik air susunya ataupun tenaganya.
Betul
nafkah yang dikeluarkan oleh pihak kedua dan kemudian dapat memanfaatkannya,
itu tidak dapat diketahui keadilannya dan tidak ada persesuaiannya dibanding
dengan pihak kedua, bahkan di dalamnya terdapat unsur kesamaran. Akan tetapi
kami menganggap baik hal tersebut, dan kesamaran-kesamaran sedikit tidak kami
anggap, sebab ada dalil yang hampir ada persamaannya dengan itu dalam syariat
Islam, yaitu tentang masalah gadai, apabila barang yang digadaikan itu berupa
hewan yang mungkin dikendarai atau diambil air susunya.
Dalam
hadis yang sahih itu Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Punggung
binatang itu boleh dinaiki karena nafkahnya apabila binatang tersebut
tergadaikan; dan air susu unta dapat diminum karena nafkahnya apabila binatang
tersebut digadaikan. Sedang kewajiban yang menaiki dan meminum air susunya
ialah memberi nafkah.” (Riwayat Bukhari dari jalan Abu Hurairah)
Dalam
hadis ini Rasulullah s.a.w. menetapkan: karena nafkah, maka imbalannya ialah
menaiki, apabila punggung binatang tersebut memungkinkan untuk dinaiki. Atau
imbalannya itu air susunya, apabila binatang tersebut mempunyai air susu yang
dapat diperah.
Apabila
dalam masalah gadai ini dibolehkan, demi kepentingan kerjasama dan memperkuat
hubungan antara seorang dengan yang lain, padahal nilai nafkah kadang-kadang
lebih banyak dan kadang-kadang lebih sedikit kalau dibandingkan dengan nilai
menaiki atau memerah air susunya, maka tidak salah, kalau kami membolehkan yang
seperti itu dalam hal syirkah binatang seperti yang kami sebutkan di atas, demi
memenuhi kebutuhan orang banyak juga.
Apa
yang kami istimbatkan dari hadis ini seperti tersebut, adalah semata-mata
pendapat kami. Semoga benar juga!
Adapun
syirkah dalam hal anak lembu yang belum dapat diambil manfaatnya, baik tenaga
maupun air susunya, atas dasar harga dari satu pihak sedang nafkahnya dari
pihak lain, maka menurut kaidah Islam tidak dibenarkan. Sebab pihak yang
mengeluarkan nafkah akan menderita kerugian sendirian, tanpa ada imbalan baik
tenaga ataupun air susunya. Sedang di pihak lain dapat mengambil keuntungan
atas biaya pihak ke satu.
Ini,
samasekali tidak mencerminkan keadilan yang selalu ditekankan oleh Islam dalam
seluruh macam mu’amalah.
Tetapi
kalau dimungkinkan kedua belah pihak dapat membagi masalah nafkahnya sehingga
tibalah saatnya binatang tersebut dapat dimanfaatkan, maka hal ini boleh saja,
menurut pendapat kami.
4.3
Tentang Hiburan
ISLAM
adalah agama realis, tidak tenggelam dalam dunia khayal dan lamunan. Tetapi
Islam berjalan bersama manusia di atas dunia realita dan alam kenyataan.
Islam
tidak memperlakukan manusia sebagai Malaikat yang bersayap dua, tiga dan empat.
Tetapi Islam memperlakukan manusia sebagai manusia yang suka makan dan berjalan
di pasar-pasar.
Justru
itu Islam tidak mengharuskan manusia supaya dalam seluruh percakapannya itu
berupa zikir, diamnya itu berarti berfikir, seluruh pendengarannya hanya kepada
al-Quran dan seluruh senggangnya harus di masjid.
Islam
mengakui fitrah dan instink manusia sebagai makhluk yang dicipta Allah, di mana
Allah membuat mereka sebagai makhluk yang suka bergembira, bersenang-senang,
ketawa dan bermain-main, sebagaimana mereka dicipta suka makan dan minum.
4.3.1
Sekedarnya Saja
Meningkatnya
rohani sebagian para sahabat, telah mencapai puncak di mana mereka beranggapan,
bahwa kesungguhan yang membulat dan ketekunan beribadah, haruslah menjadi adat
kebiasaannya sehingga mereka harus memalingkan dari kenikmatan hidup dan
keindahan dunia, tidak bergembira dan tidak bermain-main. Bahkan seluruh
pandangannya dan fikirannya hanya tertuju kepada akhirat melulu dengan seluruh
isinya, serta jauh dari dunia dengan keindahannya.
Marilah
kita dengarkan kisah seorang sahabat yang mulia, namanya Handhalah al-Asidi,
dia termasuk salah seorang penulis Nabi. Ia menceriterakan tentang dirinya
kepada kita sebagai berikut. Satu ketika aku bertemu Abubakar, kemudian
terjadilah suatu dialog:
Abubakar:
Apa kabar, ya Handhalah?
Aku:
Handhalah berbuat nifaq!
Abubakar:
Subhanallah, apa katamu?
Aku:
Bagaimana tidak! Aku selalu bersama Rasulullah s.a.w., ia menuturkan kepadaku
tentang Neraka dan Sorga yang seolah-olah Sorga dan Neraka itu saya lihat
dengan mata-kepalaku. Tetapi setelah saya keluar dari tempat Rasulullah s.a.w.,
kemudian saya bermain-main dengan isteri dan anak-anak saya dan bergelimang
dalam pekerjaan, maka saya sering lupa tutur Nabi itu!
Abubakar:
Demi Allah, saya juga berbuat demikian!
Aku:
Kemudian saya bersama Abubakar pergi ke tempat Rasulullah s.a.w.
Kepadanya,
saya katakan: Handhalah nifaq, ya Rasulullah!
Rasulullah:
Apa!?
Aku:
Ya Rasulullah! Begini ceritanya: saya selalu bersamamu. Engkau ceritakan kepada
saya tentang Neraka dan Sorga, sehingga seolah-olah saya dapat melihat dengan
mata-kepala. Tetapi apabila saya sudah keluar dari sisimu, saya bertemu dengan
isteri dan anak-anak serta sibuk dalam pekerjaan, saya banyak lupa!
Kemudian
Rasulullah s.a.w, bersabda:
“Demi
Zat yang diriku dalam kekuasaannya! Sesungguhnya andaikata kamu disiplin
terhadap apa yang pernah kamu dengar ketika bersama aku dan juga tekun dalam
zikir, niscaya Malaikat akan bersamamu di tempat tidurmu dan di jalan-jalanmu.
Tetapi hai Handhalah, saa’atan, saa’atan! (berguraulah sekedarnya saja!).
Diulanginya ucapan itu sampai tiga kali.” (Riwayat Muslim)
4.3.2
Rasulullah s.a.w. adalah Manusia
Kehidupan
Rasulullah s.a.w. merupakan contoh yang baik bagi manusia. Dalam khulwatnya ia
melakukan sembahyang dengan khusyu’, menangis dan lama berdiri sehingga kedua
kakinya bengkak. Dalam masalah kebenaran ia tidak mempedulikan seseorang, demi
mencari keridhaan Allah. Tetapi dalam kehidupannya dan perhubungannya dengan
orang lain, dia adalah manusia biasa yang sangat cinta kepada kebaikan,
wajahnya berseri-seri dan tersenyum, bergembira dan bermain-main, dan tidak mau
berkata kecuali yang hak.
Ia
sangat cinta kepada kegembiraan dan apa saja yang dapat membawa kepada
kegembiraan itu. Ia tidak suka susah dan apa saja yang membawa kesusahan,
seperti berhutang dan hal-hal yang menyebabkan orang bisa payah; dan selalu
minta perlindungan kepada Allah dari perbuatan yang tidak baik. Dalam doanya
itu ia mengatakan:
“Ya
Tuhanku! Sesungyuhnya aku minta perlindungan kepadaMu dari duka dan susah.”
(Riwayat Abu Daud)
Dalam
salah satu riwayat diceriterakan tentang berguraunya dengan seorang perempuan
tua, yaitu: ada seorang tua masuk rumah Nabi minta agar Nabi mendoakannya
supaya ia masuk sorga. Maka jawab Nabi: “Sorga tidak dapat menerima orang
tua!!!”
Mendengar
jawaban itu si perempuan tua tersebut menangis tersedu-sedu karena beranggapan,
bahwa ia tidak akan masuk sorga.
Setelah
Rasulullah s.a.w. melihat keadaan si perempuan tersebut, kemudian ia menerangkan
maksud dari omongannya itu, yaitu: “Bahwa seorang tua tidak akan masuk sorga
dengan keadaan tua bangka, bahkan akan dirubah bentuknya oleh Allah dalam
bentuk lain, sehingga dia akan masuk sorga dalam keadaan masih muda belia.
Kemudian ia membacakan ayat:
“Sesungguhnya
Kami ciptakan mereka itu dalam ciptaan yang lain, maka kami jadikan mereka itu
perawan-perawan, yang menyenangkan dan sebaya.”25 (al-Waqi’ah:
35-37)
4.3.3
Hati Itu Bisa Bosan
Begitu
juga para sahabatnya yang baik-baik itu, mereka biasa bergurau, ketawa,
bermain-main dan berkata yang ganjil-ganjil, karena mereka mengetahui akan
kebutuhan jiwanya dan ingin memenuhi panggilan fitrah serta hendak memberikan
hak hati untuk beristirahat dan bergembira, agar dapat melangsungkan
perjalanannya dalam menyusuri aktivitasnya. Sebab aktivitas hidupnya itu masih
panjang.
Ali
bin Abu Talib pernah berkata: “Sesungguhnya hati itu bisa bosan seperti badan.
Oleh karena itu carilah segi-segi kebijaksanaan demi kepentingan hati.”
Dan
katanya pula: “Istirahatkanlah hatimu sekedarnya, sebab hati itu apabila tidak
suka, bisa buta.”
Abu
Darda’ pun berkata juga: “Sungguh hatiku akan kuisi dengan sesuatu yang kosong,
supaya lebih dapat membantu untuk menegakkan yang hak.”
Oleh
karena itu, tidak salah kalau seorang muslim bergurau dan bermain-main yang
kiranya dapat melapangkan hati. Tidak juga salah kalau seorang muslim menghibur
dirinya dan rekan-rekannya dengan suatu hiburan yang mubah, dengan syarat
kiranya hiburannya itu tidak menjadi kebiasaan dan perangai dalam seluruh
waktunya, yaitu setiap pagi dan petang selalu dipenuhi dengan hiburan, sehingga
dapat melupakan kewajiban dan melemahkan aktivitasnya. Maka tepatlah pepatah
yang mengatakan:
“Campurlah pembicaraan itu dengan sedikit
bermain-main, seperti makanan yang dicampur dengan sedikit garam.”
Dalam
bermain-main itu, seorang muslim tidak diperkenankan menjadikan harga diri dan
identitas seseorang sebagai sasaran permainannya. Seperti firman Allah:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jangan ada satu kaum merendahkan kaum lain sebab
barangkali mereka (yang direndahkan itu) lebih baik dari mereka (yang
merendahkan).” (al-Hujurat: 11)
Tidak
juga diperkenankan dalam berguraunya itu untuk ditertawakan orang lain, dengan
menjadikan kedustaan sebagai wasilah. Sebab Rasulullah telah memperingatkan
dengan sabdanya sebagai berikut:
“Celakalah
orang yang beromong suatu omongan supaya ditertawakan orang lain, kemudian dia
berdusta. Celakalah dia! Celakalah dia!” (Riwayat Tarmizi)
4.3.4
Macam-Macam Hiburan yang Halal
Ada
beberapa macam permainan dan seni hiburan yang disyariatkan Rasulullah s.a.w,
untuk kaum muslimin, guna memberikan kegembiraan dan hiburan mereka. Di mana
hiburan itu sendiri dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi ibadah dan
melaksanakan kewajiban dan lebih banyak mendatangkan ketangkasan dan keinginan.
Hiburan-hiburan
tersebut kebanyakannya bentuk suatu latihan yang dapat mendidik mereka kepada
manusia berjiwa kuat, dan mempersiapkan mereka untuk maju ke medan jihad fi
sabilillah.
Di
antara hiburan-hiburan itu ialah sebagai berikut:
4.3.4.1
Perlombaan Lari Cepat
Para
sahabat dulu biasa mengadakan perlombaan lari cepat, sedang Nabi sendiri
membolehkannya. Ali adalah salah seorang yang paling cepat.
Rasulullah
s.a.w. sendiri mengadakan pertandingan dengan isterinya guna memberikan
pendidikan kesederhanaan dan kesegaran serta mengajar kepada
sahabat-sahabatnya.
Aisyah
mengatakan:
“Rasulullah
bertanding dengan saya dan saya menang. Kemudian saya berhenti, sehingga ketika
badan saya menjadi gemuk, Rasulullah bertanding lagi dengan saya dan ia menang,
kemudian ia bersabda: Kemenangan ini untuk kemenangan itu.” (Riwayat Ahmad dan
Abu Daud); yakni seri.
4.3.4.2
Gulat
Rasulullah
s.a.w. pernah gulat dengan seorang laki-laki yang terkenal kuatnya, namanya
Rukanah. Permainan ini dilakukan beberapa kali. (Riwayat Abu Daud).
Dalam
satu riwayat dikatakan:
“Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. gulat dengan Rukanah yang terkenal kuatnya itu, kemudian ia
berkata: domba lawan domba. Kemudian Nabi bergulat, dan ia berkata: berjanjilah
dengan saya. untuk lain kali lagi, lantas Nabi bergulat, dan ia berkata:
berjanjilah dengan saya, lantas Nabi bergulat untuk ketiga kalinya. Lantas
seorang laki-laki itu bertanya: Apa yang harus saya katakan kepada keluargaku?
Nabi menjawab: Katakan “domba telah dimakan oleh serigala, dan larilah domba.”
Kemudian apa pula yang aku katakan untuk yang ketiga? Nabi menjawab: Kami tidak
dapat mengalahkan kamu untuk bergulat dengan kamu dan untuk mengalahkan kamu,
karena itu ambillah hadiahmu.”
Dari
hadis ini ahli-ahli fiqih beristimbat hukum tentang dibenarkannya pertandingan
lari cepat, baik dia itu dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki atau
antara laki-laki dengan perempuan mahramnya atau dengan isteri-isterinya.
Dari
hadis-hadis itu pula ulama fiqih berpendapat bahwa pertandingan lari cepat,
gulat dan sebagainya tidak menghilangkan kekhusyukan, kehormatan, pengetahuan,
keutamaan dan lanjutnya umur. Sebab Rasulullah s.a.w. sendiri waktu bergulat
dengan Aisyah sudah berumur di atas 50 tahun.
4.3.4.3
Memanah
Di
antara hiburan yang dibenarkan oleh syara’ ialah bermain memanah dan
perang-perangan. Sebab di satu saat Nabi pernah berjalan-jalan menjumpai
sekelompok sahabatnya yang sedang mengadakan pertandingan memanah, maka waktu
itu Rasulullah s.a.w. memberikan dorongan kepada mereka dengan sabdanya:
“Lemparkanlah
panahmu itu, saya bersama kamu.” (Riwayat Bukhari)
Pertandingan
lempar panah itu bukan sekedar hobby atau sekedar bermain-main saja, tetapi
salah satu bentuk daripada mempersiapkan kekuatan sebagai yang diperintah Allah
dalam firmanNya:
“Dan
bersiap-siaplah kamu untuk menghadapi mereka (musuh) dengan kekuatan yang kamu
sanggup.”
Dalam
menafsirkan ayat ini Rasulullah bersabda:
“Ketahuilah!
Bahwa yang dimaksud ‘kekuatan’ itu ialah memanah – beliau ucapkan kata-kata itu
tiga kali.” (Riwayat Muslim)
Dan
sabdanya pula:
“Kamu
harus belajar memanah karena memanah itu termasuk sebaik-baik permainanmu.”
(Riwayat Bazzar, dan Thabarani dengan sanad yang baik)
Namun
begitu, Rasulullah s.a.w. memperingatkan para pemain agar tidak menjadikan
binatang-binatang jinak dan sebagainya sebagai sasaran latihannya, sebagaimana
yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab jahiliah. Abdullah bin Umar pernah
melihat sekelompok manusia yang sedang berbuat demikian, kemudian Ibnu Umar
mengatakan:
“Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai
sasaran memanah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dilarangnya
permainan seperti itu karena terdapat unsur-unsur penyiksaan terhadap binatang
dan merenggut jiwa binatang serta memungkinkan untuk membuang-buang harta,
Tidak benar kalau permainan manusia itu dengan mengorbankan makhluk hidup yang
lain.
Justru
itu pula Rasulullah s.a.w. melarang mengadu binatang26 seperti
yang dilakukan orang-orang Arab dahulu, yaitu mereka membawa dua ekor domba
atau sapi kemudian diadu sampai mati atau hampir mati. Lantas mereka senang dan
tertawa.
Para
ulama berkata: “Bahwa prinsip dilarangnya mengadu binatang, karena terdapatnya
unsur menyakiti dan melumpuhkan binatang tanpa faedah, tetapi hanya sekedar
bermain-main.”
4.3.4.4
Main Anggar
Yang
sama dengan permainan memanah, ialah main anggar.
Dalam
hal ini Rasulullah s.a.w. telah memberi perkenan kepada orang-orang Habasyah
(Ethiopia) bermain anggar di dalam Masjid Nabawi, dan ia pun memberi perkenan
pula kepada Aisyah untuk menyaksikan permainan itu. Dan kepada para pemain
Rasulullah mengatakan:
“Karena
kamu (kami melihat), hai bani Arfidah.”
Panggilan
Bani Arfidah adalah suatu julukan yang biasa dipergunakan orang-orang Arab
untuk memanggil penduduk Habasyah.
Umar,
karena wataknya tidak suka bermain-main, maka dia bermaksud akan melarang
orang-orang Habasyah yang sedang bermain itu, tetapi kemudian dilarang oleh
Nabi. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata:
“Ketika
orang-orang Habasyah sedang bermain anggar dihadapan Nabi, tiba-tiba Umar
masuk, kemudian mengambil kerikil dan melemparkannya kepada mereka. Kemudian
Rasulullah s.a.w. berkata kepada Umar.–biarkanlah mereka itu, hai Umar.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini
merupakan suatu kelapangan dari Rasulullah s.a.w. dengan mengizinkan permainan
seperti ini dilakukan di Masjidnya yang mulia itu, agar di dalam masjid dapat
dipadukan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi; dan sebagai suatu pendidikan
buat kaum muslimin, agar mereka suka bekerja di waktu bekerja dan bermain-main
di waktu main-main. Di samping itu, bahwa permainan semacam ini bukan sekedar
bermain-main saja, tetapi suatu permainan yang bermotif latihan.
Para
ulama berkata setelah membawakan hadis ini sebagai berikut: “Bahwa masjid
dibuat adalah demi kepentingan urusan kaum muslimin. Oleh karena itu apa saja
yang kiranya bermanfaat untuk agama dan manusia, maka bolehlah dikerjakan di
masjid.”
Kiranya
kaum muslimin di zaman-zaman terakhir ini mau memperhatikan, mengapa
masjid-masjid mereka itu dikosongkan dari jiwa hidup dan kekuatan, dan
dibiarkan sebagai tempat orang-orang apatis.
Pengarahan
Nabi dalam mendidik dan memberikan hiburan hati isteri-isterinya, yaitu dengan
memperkenankan permainan yang mubah seperti itu. Sehingga kata Aisyah:
“Sungguh
saya saksikan Nabi membatas saya dengan selendangnya, sedang saya melihat
orang-orang Habasyah itu bermain di dalam masjid, sehingga saya sendiri yang
merasa bosan. Mereka itu lincah selincah gadis muda belia yang masih suka
bermain.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Aisyah
juga berkata:
“Saya
pernah bermain-main dengan boneka perempuan di rumah Rasulullah s.a.w., bersama
kawan-kawan saya perempuan yang juga bermain-main dengan saya; dan tatkala
Rasulullah s.a.w. masuk, mereka itu bersembunyi, tetapi Rasulullah s.a.w.
senang melihat mereka itu bersamaku, kemudian mereka bermain-main bersamaku
lagi.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
4.3.4.5
Menunggang Kuda (Berpacu Kuda)
Allah
s.w.t. berfirman:
“Kuda,
keledai dan himar adalah supaya kamu naiki dan sebagai perhiasan.” (an-Nahl: 8)
Dan
bersabda Rasulullah s.a.w.:
“Kuda
itu diikat jambulnya untuk kebaikan.” (Riwayat Bukhari)
Dan
sabdanya pula:
“Lemparkanlah
(panah) dan tunggangilah (kuda).” (Riwayat Muslim)
Dan
sabdanya lagi:
“Tiap-tiap
sesuatu yang bukan zikrullah berarti permainan dan kelalaian, kecuali empat
perkara: (1) Seorang laki-laki berjalan antara dua sasaran (untuk memanah). (2)
Seorang yang mendidik kudanya. (3) Bermain-mainnya seseorang dengan isterinya.
(4) Belajar berenang.” (Riwayat Thabarani)
Dan
berkatalah Umar:
“Ajarlah
anak-anakmu berenang dan memanah; dan perintahlah mereka supaya melompat di
atas punggung kuda.”
Ibnu
Umar meriwayatkan.
“Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. pernah mengadakan pacuan kuda dan memberi hadiah kepada
pemerangnya.” (Riwayat Ahmad)
Semua
ini sebagai dorongan Nabi terhadap masalah pacuan kuda. Sebab berpacu kuda
sebagaimana kami katakan di atas, adalah permainan, olahraga juga suatu
latihan.
Anas
pernah ditanya: apakah kamu pernah bertaruh di zaman Rasulullah s.a.w.? Apakah
Rasulullah s.a.w. sendiri juga pernah bertaruh? Maka jawab Anas:
“Ya!
Demi Allah, sungguh ia (Rasulullah s.a.w.) pernah bertaruh terhadap suatu kuda
yang disebut sabhah (kuda pacuan), maka dia dapat mengalahkan orang lain, ia
sangat tangkas dalam hal itu dan mengherankannya.” (Riwayat Ahmad)
Taruhan
yang dibenarkan, atau yang dimaksud di sini ialah suatu upah (hadiah) yang
dikumpulkan bukan dari orang-orang yang berpacu saja atau dari salah satunya
saja, tetapi dari orang-orang lainnya.
Adapun
hadiah yang dikumpulkan dari masing-masing yang berpacu, kemudian siapa yang
unggul itulah yang mengambilnya, maka hadiah semacam itu termasuk judi yang
dilarang. Dan Nabi sendiri menamakan pacuan kuda semacam ini, yakni yang
disediakan untuk berjudi, dinamakan Kuda Syaitan. Harganya adalah haram,
makanannya haram dan menungganginya pun haram juga. (Riwayat Ahmad).
Dan
ia bersabda:
“Kuda
itu ada tiga macam: kuda Allah, kuda manusia dan kuda syaitan. Adapun kuda
Allah ialah kuda yang disediakan untuk berperang di jalan Allah, maka makanannya,
kotorannya, kencingnya dan apanya saja – mempunyai beberapa kebaikan. Adapun
kuda syaitan, yaitu kuda yang dipakai untuk berjudi atau untuk dibuat
pertaruhan, dan adapun kuda manusia, yaitu kuda yang diikat oleh manusia, ia
mengharapkan perutnya (hasilnya), sebagai usaha untuk menutupi kebutuhannya.
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
4.3.4.6
Berburu
Hiburan/permainan
yang bermanfaat; yang juga dibenarkan oleh Islam, ialah berburu.
Berburu
itu sendiri pada hakikatnya adalah bersenang-senang, olahraga dan bekerja, baik
dengan menggunakan alat seperti tombak dan panah, atau dengan melepaskan
binatang berburu seperti anjing dan burung.
Tentang
syarat dan tata-tertibnya telah kami sebutkan sesuai yang dituntut oleh Islam.
Islam
tidak melarang berburu kecuali dalam dua hal:
a)
Ketika ihram haji dan umrah. Sebab dalam keadaan demikian adalah dalam face
damai secara menyeluruh, tidak boleh membunuh dan mengalirkan darah.
Firman
Allah:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu membunuh binatang buronan, padahal kamu
sedang ihram.” (al-Maidah: 95)
“Dan
diharamkan atas kamu berburu binatang darat, selama kamu dalam keadaan ihram.”
(al-Maidah: 96)
b)
Ketika berada di tanah haram Makkah, sebab tempat ini dijadikan Allah sebagai
tempat perdamaian dan keamanan bagi semua makhluk hidup, yang berjalan di darat
atau yang terbang di udara; ataupun tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di tempat itu.
Seperti apa yang ditegaskan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya:
“Tidak
boleh diburu binatang buronannya, dan tidak boleh dipotong pohon-pohonnya dan
tidak boleh dicabut rumput-rumputnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
4.3.4.7
Main Dadu
Seluruh
permainan yang di dalamnya ada perjudian, hukumnya haram. Sedang apa yang
dinamakan judi, yaitu semua permainan yang mengandung untung-rugi bagi si
pemain. Dan itulah yang disebut maisir dalam al-Quran yang kemudian diikuti
dengan menyebut: arak, berhala dan azlam.
Rasulullah
s.a.w. pernah bersabda:
“Barangsiapa
mengajak kawannya: mari berjudi! Maka hendaklah bersedekah.” (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
Maksudnya:
bahwa semata-mata mengajak bermain judi sudah termasuk berdosa yang harus
ditebus dengan sedekah. Di antaranya ialah permainan dadu yang apabila
dibarengi dengan perjudian, maka hukumannya adalah haram, dengan kesepakatan
para ulama.
Tetapi
apabila tidak dibarengi dengan perjudian, maka sementara ulama ada yang
memandang haram, dan sebagian lagi memandang makruh.
Alasan
yang dipakai oleh yang mengharamkannya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh
Buraidah, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Barangsiapa
bermain dadu, maka seolah-olah dia mencelupkan tangannya dalam daging babi dan
darahnya.” (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa dari Rasulullah s.a.w. bahwa ia berkata:
“Barangsiapa
bermain dadu, maka sungguh dia durhaka kepada Allah dan RasulNya.” (Riwayat
Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Malik)
Dua
hadis tersebut cukup jelas dan bersifat umum, berlaku untuk semua orang yang
bermain dadu, apakah dibarengi dengan judi ataupun tidak.
Tetapi
asy-Syaukani meriwayatkan, bahwa Ibnu Mughaffal dan al-Musayyib membolehkan
bermain dadu tanpa judi. Sedang kedua hadis tersebut diperuntukkan buat orang
yang bermain dadu sambil berjudi.
4.3.4.8
Main Catur
Di
antara permainan yang sudah terkenal ialah catur.
Para
ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukumnya, antara mubah, makruh
dan haram.
Mereka
yang mengharamkan beralasan dengan beberapa hadis Nabi s.a.w. Namun para
pengkritik dan penyelidiknya menolak dan membatalkannya. Mereka menegaskan,
bahwa permainan catur hanya mulai tumbuh di zaman sahabat. Oleh karena itu
setiap hadis yang menerangkan tentang catur di zaman Nabi adalah hadis-hadis
batil (dhaif).
Para
sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur ini. Ibnu Umar
menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali memandangnya sama dengan judi.
(Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan judi). Sementara ada
juga yang berpendapat makruh.
Dan
di antara sahabat dan tabi’in ada juga yang menganggapnya mubah. Di antara
mereka itu ialah: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Sirin, Hisyam bin ‘Urwah, Said
bin Musayyib dan Said bin Jubair.
Inilah
pendapat orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya. Sebab menurut
hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam hal ini
tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya. Dan pada catur itu
sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya terdapat semacam olah
raga otak dan mendidik berfikir. Oleh karena itu tidak dapat disamakan dengan
dadu. Dan justru itu pula mereka mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu
ialah untung-untungan (spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi
ciri dalam permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba
memanah.
Namun
tentang kebolehannya ini dipersyaratkan dengan tiga syarat:
Karena
bermain catur, tidak boleh menunda-nunda sembahyang, sebab perbuatan yang
paling bahaya ialah mencuri waktu.
Tidak
boleh dicampuri perjudian.
Ketika
bermain, lidah harus dijaga dari omong kotor, cabul dan omongan-omongan yang rendah.
Kalau ketiga syarat
ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram.
4.3.4.9
Menyanyi dan Muzik
Di
antara hiburan yang dapat menghibur jiwa dan menenangkan hati serta mengenakkan
telinga, ialah nyanyian. Hal ini dibolehkan oleh Islam, selama tidak dicampuri
omong kotor, cabul dan yang kiranya dapat mengarah kepada perbuatan dosa. Dan
tidak salah pula kalau disertainya dengan muzik yang tidak membangkitkan nafsu.
Bahkan disunatkan dalam situasi gembira, guna melahirkan perasaan riang dan menghibur
hati, seperti pada hari raya, perkawinan, kedatangan orang yang sudah lama
tidak datang, saat walimah, aqiqah dan di waktu lahirnya seorang bayi.
Dalam
hadis diterangkan:
“Dari
Aisyah r.a, bahwa ketika dia menghantar pengantin perempuan ke tempat laki-laki
Ansar, maka Nabi bertanya: Hai Aisyah! Apakah mereka ini disertai dengan suatu
hiburan? Sebab orang-orang Ansar gemar sekali terhadap hiburan.” (Riwayat
Bukhari)
Dan
diriwayatkan pula:
“Dari
Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Aisyah pernah mengawinkan salah seorang kerabatnya
dengan Ansar, kemudian Rasulullah s.a.w. datang dan bertanya: Apakah akan kamu
hadiahkan seorang gadis itu? Mereka menjawab: Betul! Rasulullah s.a.w. bertanya
lagi. Apakah kamu kirim bersamanya orang yang akan menyanyi? Aisyah menjawab:
Tidak! Kemudian Rasulllah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya orang-orang Ansar
adalah suatu kaum yang merayu. Oleh karena itu alangkah baiknya kalau kamu
kirim bersama dia itu seorang yang mengatakan: kami datang, kami datang,
selamat datang kami, selamat datang kamul” (Riwayat Ibnu Majah)
“Dan
dari Aisyah r.a. sesungguhnya Abubakar pernah masuk kepadanya, sedang di
sampingnya ada dua gadis yang sedang menyanyi dan memukul gendang pada hari
Mina (Idul Adha), sedang Nabi s.a.w. menutup wajahnya dengan pakaiannya, maka
diusirlah dua gadis itu oleh Abubakar. Lantas Nabi membuka wajahnya dan berkata
kepada Abubakar Biarkanlah mereka itu hai Abubakar, sebab hari ini adalah hari
raya (hari bersenang-senang).” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Imam
Ghazali dalam Ihya’nya27 setelah
membawakan beberapa hadis tentang bernyanyinya dua orang gadis itu,
permainannya orang-orang Habasyah di dalam masjid Nabawi yang didukungnya oleh
Nabi dengan kata-katanya: karena kamu, aku melihat hai Bani Arfidah, dan
perkataan Nabi kepada Aisyah: engkau senang ya Aisyah melihat permainan ini;
dan berdirinya Nabi bersama Aisyah sehingga dia sendiri yang bosan serta
permainan Aisyah dengan boneka bersama kawan-kawannya itu, kemudian Ghazali
berkata: Bahwa hadis-hadis ini semua tersebut dalam Bukhari dan Muslim dan
merupakan nas yang tegas, bahwa nyanyian dan permainan, bukanlah haram. Dan
dari situ juga menunjukkan dibolehkannya bermacam-macam permainan:
Bermain
anggar sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Habasyah.
Permainan
boleh dilakukan di masjid.
Sabda
Nabi kepada orang-orang Habasyah: karenamu aku melihat hai Bani Arfidah, adalah
suatu perintah dan anjuran untuk bermain. Oleh karena itu bagaimana mungkin
permainan itu diharamkannya?
Dilarangnya
Abubakar dan Umar dengan alasan, bahwa hari itu adalah hari raya dan hari
gembira, sedang bernyanyi adalah salah satu daripada jalan untuk bergembira.
Berdirinya
Nabi yang begitu lama sambil menyaksikan dan mendengarkan nyanyian yang
disetujui Aisyah, adalah cukup sebagai bukti, bahwa metode yang baik untuk
menghaluskan budi perempuan dan anak-anak dengan cara menyaksikan permainan
adalah lebih baik daripada kekasaran ruhud dan berkekurangan dalam suasana terhalang
dan dihalang.
Perkataan
Nabi kepada Aisyah yang didahului dengan kalimat bertanya: senangkah kamu untuk
melihat?
Perkenan
untuk menyanyi dan memukul rebana dari dua anak gadis itu dan seterusnya,
seperti yang dituturkan al-Ghazali dalam Kitabus Sama’ (fasal mendengar). Dan
dari beberapa sahabat dan tabi’in diriwayatkan, bahwa mereka itu pernah
mendengarkan nyanyian, sedang mereka tidak menganggapnya suatu perbuatan dosa.
Adapun
hadis-hadis Nabi yang melarang nyanyian, semuanya ada cacat, tidak ada satupun
yang selamat dari celaan oleh kalangan ahli hadis, seperti kata al-Qadhi
Abubakar bin al-Arabi: “Tidak ada satupun hadis yang sah yang berhubungan
dengan diharamkannya nyanyian.”
Dan
berkata pula Ibnu Hazm: “Semua hadis yang menerangkan tentang haramnya nyanyian
adalah batil dan palsu.”
Banyak
sekali nyanyian-nyanyian dan muzik yang disertai dengan perbuatan
berlebih-lebihan, minum-minum arak dan perbuatan-perbuatan haram. Itulah yang
kemudian oleh ulama-ulama dianggapnya haram atau makruh.
Sebagian
mereka ada yang ;nengatakan: bahwa sesungguhnya nyanyian itu termasuk lahwul
hadis (omongan yang dapat melalaikan) sebagai yang dimaksud dalam firman Allah:
“Di
antara manusia ada yang membeli omongan yang dapat melalaikan untuk menyesatkan
(orang) dari jalan Allah tanpa disadari, dan dijadikannya sebaqai permainan.
Mereka itu kelak akan mendapat siksaan yang hina.” (Luqman: 6)
Ibnu
Hazm berkata: “Ayat tersebut menyebutkan suatu sifat yang barangsiapa
mengerjakannya bisa menjadi kafir tanpa diperselisihkan lagi, yaitu apabila dia
menjadikan agama Allah sebagai permainan. Oleh karena itu jika dia membeli
sebuah al-Quran untuk dijadikan ayat guna menyesatkan orang banyak dan
dijadikannya sebagai permainan, maka jelas dia adalah kafir. Inilah yang dicela
Allah s.w.t. Samasekali Allah tidak mencela orang-orang yang membeli lahwal
hadis itu sendiri yang bisa dipakai untuk hiburan dan menggembirakan hati,
bukan untuk menyesatkan orang dari jalan Allah.”
Selanjutnya
Ibnu Hazm menolak anggapan orang yang mengatakan; bahwa nyanyian itu sama
sekali tidak dapat dibenarkan, dan termasuk suatu kesesatan, seperti firman
Allah.
“Tidak
ada lain sesudah hak kecuali kesesatan.” (Yunus: 32)
Maka
kata Ibnu Hazm: Rasulullah s.a.w. pernah bersabda
“Sesungguhnya
semua perbuatan itu harus disertai dengan niat dan tiap-tiap orang akan dinilai
menurut niatnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Jadi
barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat untuk membantu bermaksiat kepada
Allah, maka jelas dia adalah fasik –termasuk semua hal selain nyanyian. Dan
barangsiapa berniat untuk menghibur hati supaya dengan demikian dia mampu
berbakti kepada Allah dan tangkas dalam berbuat kebajikan, maka dia adalah
orang yang taat dan berbuat baik dan perbuatannya pun termasuk perbuatan yang
benar. Dan barangsiapa tidak berniat untuk taat kepada Allah dan tidak juga
untuk bermaksiat, maka perbuatannya itu dianggap main-main saja yang
dibolehkan, seperti halnya seorang pergi ke kebun untuk berlibur, dan seperti
orang yang duduk-duduk di depan sofa sekedar melihat-lihat, dan seperti orang
yang mengkelir bajunya dengan warna ungu, hijau dan sebagainya.
Namun
di situ ada beberapa ikatan yang harus kita perhatikan sehubungan dengan
masalah nyanyian ini, yaitu:
Nyanyian
itu harus diperuntukkan buat sesuatu yang tidak bertentangan dengan etika dan
ajaran Islam. Oleh karena itu kalau nyanyian-nyanyian tersebut penuh dengan
pujian-pujian terhadap arak dan menganjurkan orang supaya minum arak, misalnya,
maka menyanyikan lagu tersebut hukumnya haram, dan si pendengarnya pun haram
juga. Begitulah nyanyian-nyanyian lain yang dapat dipersamakan dengan itu.
Mungkin
subyek nyanyian itu sendiri tidak menghilangkan pengarahan Islam, tetapi cara
menyanyikan yang dilakukan oleh si penyanyi itu beralih dari lingkungan halal
kepada I;ngkungan haram, misalnya lenggang gaya dengan suatu kesengajaan yang
dapat membangkitkan nafsu dan menimbulkan fitnah dan perbuatan cabul.
Sebagaimana
agama akan selalu memberantas sikap berlebih-lebihan dan kesombongan dalam
segala hal sampai pun dalam beribadah, maka begitu juga halnya berlebih-lebihan
dalam hiburan dan menghabiskan waktu untuk berhibur, padahal waktu itu sendiri
adalah berarti hidup!
Tidak
dapat diragukan lagi, bahwa berlebih-lebihan dalam masalah yang mubah dapat
menghabiskan waktu untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban. Maka tepatlah kata
ahli hikmah: “Tidak pernah saya melihat suatu perbuatan yang berlebih-lebihan,
melainkan di balik itu ada suatu kewajiban yang terbuang.”
Tinggal
ada beberapa hal yang seharusnya setiap pendengarnya itu sendiri yang
memberitahu kepada dirinya sendiri, yaitu apabila nyanyian atau satu macam
nyanyian itu dapat membangkitkan nafsu dan menimbulkan fitnah serta nafsu
kebinatangannya itu dapat mengalahkan segi rohaniahnya, maka dia harus menjauhi
nyanyian tersebut dan dia harus menutup pintu yang dari situlah angin fitnah
akan menghembus, demi melindungi hatinya, agamanya dan budi luhurnya. Sehingga
dengan demikian dia dapat tenang dan gembira.
Di
antara yang sudah disepakati, bahwa nyanyian yang disertai dengan perbuatan-perbuatan
haram lainnya seperti: di persidangan arak, dicampur dengan perbuatan cabul dan
maksiat, maka di sinilah yang oleh Rasulullah s.a.w. pelakunya, dan
pendengarnya diancam dengan siksaan yang sangat, yaitu sebagaimana sabda
beliau:
“Sungguh
akan ada beberapa orang dari ummatku yang minum arak, mereka namakan dengan
nama lain, kepala mereka itu bisa dilalaikan dengan bunyi-bunyian dan
nyanyian-nyanyian, maka Allah akan tenggelamkan mereka itu kedalam bumi dan
akan menjadikan mereka itu seperti kera dan babi.” (Riwayat Ibnu Majah)
Bukan
merupakan kelaziman kalau mereka itu dirombak bentuk dan potongannya, tetapi
apa yang dimaksud dirombak jiwanya dan rohnya. Bentuknya bentuk manusia tetapi
jiwanya, jiwa kera dan rohnya roh babi.
4.3.5
Judi adalah Kawan Arak
Sekalipun
hiburan dan permainan itu dibolehkan oleh Islam, tetapi ia juga mengharamkan
setiap permainan yang dicampuri perjudian, yaitu permainan yang tidak luput
dari untung-rugi yang dialami oleh si pemain. Dan sudah kita sebutkan terdahulu
tentang sabda Nabi yang mengatakan:
“Barangsiapa
berkata kepada rekannya mari bermain judi, maka hendaklah ia bersedekah.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Oleh
karena itu tidak halal seorang muslim menjadikan permainan judi sebagai alat
untuk menghibur diri dan mengisi waktu senggang. Begitu juga tidak halal
seorang muslim menjadikan permainan judi sebagai alat mencari uang dalam
situasi apapun.
Islam,
di balik larangannya ini ada terkandung suatu hikmah dan tujuan yang tinggi
sekali, yaitu:
Hendaknya
seorang muslim mengikuti sunnatullah dalam bekerja mencari uang, dan mencarinya
dengan dimulai dari pendahuluan-pendahuluannya. Masukilah rumah dari
pintu-pintunya; dan tunggulah hasil (musabbab) dari sebab-sebabnya.
Sedang
judi –di dalamnya termasuk undian– dapat menjadikan manusia hanya bergantung
kepada pembagian, sedekah dan angan-angan kosong; bukan bergantung kepada
usaha, aktivitas dan menghargai cara-cara yang telah ditentukan Allah, serta
perintah-perintahNya yang harus diturut.
Islam
menjadikan harta manusia sebagai barang berharga yang dilindungi. Oleh karena
itu tidak boleh diambilnya begitu saja, kecuali dengan cara tukar-menukar
sebagai yang telah disyariatkan, atau dengan jalan hibah dan sedekah. Adapun
mengambilnya dengan jalan judi, adalah termasuk makan harta orang lain dengan
cara yang batil.
Tidak
mengherankan, kalau perjudian itu dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan
antara pemain-pemain itu sendiri, kendati nampak dari mulutnya bahwa mereka
telah saling merelakan. Sebab bagaimanapun akan selalu ada pihak yang menang
dan yang kalah, yang dirampas dan yang merampas. Sedang yang kalah apabila
diam, maka diamnya itu penuh kebencian dan mendongkol. Dia marah karena
angan-angannya tidak dapat tercapai. Dia mendongkol karena taruhannya itu sial.
Kalau dia ngomel, maka ia ngomeli dirinya sendiri karena derita yang dialami
dan tangannya yang menaruhkan taruhannya dengan membabi-buta.
Kerugiannya
itu mendorong pihak yang kalah untuk mengulangi lagi, barangkali dengan ulangan
yang kedua itu dapat menutup kerugiannya yang pertama. Sedang yang menang,
karena didorong oleh lezatnya menang, maka ia tertarik untuk mengulangi lagi.
Kemenangannya yang sedikit itu mengajak untuk dapat lebih banyak. Samasekali
dia tidak ada keinginan untuk berhenti. Dan makin berkurang pendapatannya,
makin dimabuk oleh kemenangan sehingga dia beralih dari kemegahan kepada suatu
kesusahan yang mendebarkan.
Begitulah
berkaitnya putaran dalam permainan judi, sehingga hampir kedua putaran ini
tidak pernah berpisah. Dan inilah rahasia terjadinya pertumpahan darah antara
pemain-pemain judi.
Oleh
karena itu hobby ini merupakan bahaya yang mengancam masyarakat dan pribadi.
Hobby
ini merusak waktu dan aktivitas hidup dan menyebabkan si pemain-pemainnya
menjadi manusia yang tamak, mereka mau mengambil hak milik orang tetapi tidak
mau memberi, menghabiskan barang tetapi tidak dapat berproduksi.
Selamanya
pemain judi sibuk dengan permainannya, sehingga lupa akan kewajibannya kepada
Tuhan, kewajibannya akan diri, kewajibannya akan keluarga dan kewajibannya akan
ummat.
Tidak
terlalu jauh kalau orang yang asyik hidangan hijau –menurut istilah yang mereka
pergunakan– itu akan berani menjual agamanya, harga dirinya dan tanah airnya,
demi permainan judi. Kecintaannya terhadap hidangan ini akan mencabut
kecintaannya terhadap barang lain, atau nilai apapun.
Hidangan
ini dapat menaburkan benih permainan judi dengan segala macam cara. Sampai pun
tentang harga dirinya, keyakinannya dan bangsanya, akan rela dikorbankan demi
terlaksananya pekerjaan yang sia-sia ini.
Betapa
benarnya dan indahnya susunan al-Quran yang mengkaitkan arak dan judi ini dalam
satu rangkaian ayat dan hukumnya, sebab bahayanya terhadap pribadi, keluarga,
tanah air dan moral adalah sama. Pencandu judi sama dengan pencandu arak, bahkan
jarang sekali didapat salah satunya raja sedang yang lain tidak.
Betapa
benarnya al-Quran yang telah menjelaskan kepada kita, bahwa arak dan judi
adalah salah satu daripada perbuatan syaitan; dan kemudian diikutinya dengan
menyebut berhala dan azlam serta ditetapkannya kedua hal tersebut sebagai
perbuatan yang najis dan harus dijauhi.
Firman
Allah:
“Hai
orang-orang mu’min! Sesungguhnya arak dan judi dan berhala dan azlam adalah
kotor, berasal dari perbuatan syaitan; oleh karena itu jauhilah, supaya kamu beruntung,
Sesungguhnya syaitan hanya bermaksud akan menjatuhkan permusuhan dan kebencian
di antara kamu melalui arak dan permainan judi serta akan menghalangi kamu dari
ingat kepada Allah dan sembahyang; oleh karena itu apakah kamu mau berhenti?!”
(al-Maidah: 90-91)
4.3.6
Undian, Salah Satu Macam Judi
Apa
yang dinamakan undian (yaa nashib), adalah salah satu macam dari macam-macam
judi yang ada. Oleh karena itu tidak patut dipermudah dan dibolehkan permainan
tersebut dengan dalih bantuan sosial atau tujuan kemanusiaan.
Orang-orang
yang membolehkan undian untuk maksud-maksud di atas, tak ubahnya dengan
orang-orang yang mengumpulkan dana untuk tujuan di atas dengan jalan mengadakan
tarian haram dan seni haram. Untuk mana kepada mereka kami sampaikan sebuah hadis
yang disabdakan Nabi s.a.w.:
“Sesungguhnya
Allah itu baik, Ia tidak mau menerima kecuali yang baik.” (Riwayat Muslim dan
Tarmizi)
Mereka
yang berbuat demikian menganggap seolah-olah masyarakat Islam telah kehilangan
jiwa sosial, perasaan kasih-sayang dan nilai-nilai kebajikan. Sehingga tidak
ada jalan lain untuk mengumpulkan dana, kecuali dengan berjudi dan permainan
haram. Islam tidak yakin, bahwa ummatnya akan bersikap demikian. Bahkan lebih
yakin akan segi sosialnya terhadap kepada orang lain. Oleh karena itu Islam
tidak memakai, melainkan cara yang suci untuk tujuan yang suci. Jalan yang suci
itu berupa ajakan untuk berbuat kebajikan, membangkitkan nilai kemanusiaan dan
beriman kepada Allah dan hari akhir.
4.3.7
Nonton Film
Banyak
kaum muslimin yang bertanya-tanya tentang pandangan Islam terhadap bioskop,
tonil/sandiwara dan sebagainya. Apakah orang Islam dibolehkan menonton ataukah
diharamkannya?
Satu
hal yang tidak diragukan lagi, bahwa film, atau bioskop, adalah alat yang
sangat vital untuk mengarahkan dan memberikan hiburan. Kedudukannya sama dengan
kedudukan alat-alat yang lain, dapat dipergunakan untuk lial-hal yang baik dan
yang tidak baik. Oleh karena itu bioskop itu sendiri tidak apa-apa. Status
hukumnya tergantung pada penggunaannya.
Dengan
demikian, kami berpendapat bioskop adalah halal dan baik, bahkan kadang-kadang
masuk sunnat dan diperlukan apabila dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
Bahwa
subjek-subjeknya yang diketengahkan itu bersih dari kegila-gilaan, kefasikan
dan semua hal yang dapat mensirnakan aqidah, syariat dan kesopanan Islam.
Adapun semua pertunjukan yang dapat membangkitkan nafsu dan mencenderungkan
orang kepada perbuatan dosa atau yang dapat membawa kepada perbuatan kriminal
atau mengajak kepada fikiran-fikiran untuk berbuat serong, atau menjurus
hukumnya adalah haram yang tidak halal bagi seorang muslim untuk
menyaksikannya, atau mendukungnya.
Tidak
melupakan kewajiban agama atau duniawi. Diantara kewajiban-kewajiban itu ialah
sembahyang lima waktu. Oleh karena itu tidak halal seorang muslim meninggalkan
sembahyang maghrib misalnya, karena akan pergi nonton bioskop.
Firman
Allah:
“Celakalah
orang-orang yang sembahyang, yaitu mereka yang lalai terhadap sembahyangnya.”
(al-Ma’un: 4-5)
Sahun
ditafsirkan dengan mengabaikan sembahyang sehingga habis waktunya. Dan al-Quran
menjadikan sejumlah sebab diharamkannya arak dan judi ialah karena arak dan
judi itu dapat menghalang berzikrullah dan sembahyang.
Jangan
sampai terjadi persentuhan dan percampuran antara laki-laki dan perempuan lain,
demi menjaga fitnah dan menolak syubhat. Lebih-lebih pertunjukan ini tidak
dapat dilakukan, kecuali di tempat yang gelap. Sedang hadis Nabi mengatakan:
“Sungguh
kepala salah seorang di antara kamu ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik
baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.” (Riwayat
Baihaqi, Thabarani; dan rawi-rawinya adalah rawi-rawi Bukhari)
4.4
Hubungan Masyarakat
ISLAM
dalam menegakkan hubungan antara anggota masyarakat mempunyai dua landasan yang
prinsipal, yaitu:
Demi
melindungi persaudaraan, sebagai suatu ikatan yang kuat antara satu dengan
lainnya,
Demi
menjaga hak dan kehormatan yang selalu dilindungi oleh Islam terhadap setiap
anggota masyarakat, baik darah, harga diri maupun hartanya.
Oleh
karena itu setiap perkataan, perbuatan atau tindakan yang pertentangan dengan
dua prinsip di atas, adalah diharamkan oleh Islam menurut tingkatan bahaya yang
tampak, dilihat dari segi moral maupun material.
Dalam
beberapa ayat berikut ini, ada beberapa larangan yang sangat membahayakan
jalinan ukhuwah dan kehormatan manusia. Firman Allah:
“Sesungguhnya
orang-orang mu’min adalah bersaudara, oleh karena itu adakanlah perdamaian di
antara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.
Hai orang-orang yang beriman! Jangan ada satupun kaum merendahkan kaum lain,
sebab barangkali mereka (yang direndahkan) itu justru lebih baik dari mereka
(yang merendahkan); dan janganlah ada perempuan merendahkan perempuan lainnya,
sebab barangkali mereka (yang direndahkan) itu lebih baik dari mereka (yang
merendahkan); dan jangan kamu mencela diri-diri kamu; dan jangan kamu memberi
gelar dengan gelar-gelar (yang tidak baik) –misalnya fasik– sebab seburuk-buruk
nama ialah fasik sesudah dia itu beriman, dan barangsiapa tidak bertobat, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman!
Jauhilah banyak sangka, karena sesungguhnya sebagian sangkaan itu berdosa; dan
jangan kamu mengintai (menyelidiki cacat orang lain); dan jangan sebagian kamu
mengumpat sebagiannya, apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging
bangkai saudaramu padahal kamu tidak menyukainya? Takutlah kepada Allah, karena
sesungguhnya Allah maha menerima taubat dan belas-kasih.” (al-Hujurat: 10-12)
Allah
Ta’ala telah menetapkan dalam permulaan ayat-ayat ini, bahwa orang mu’min pada
hakikatnya adalah bersaudara yang meliputi saudara seagama dan saudara sesama
manusia. Maka demi kelangsungan persaudaraan ini harus ada saling
kenal-mengenal; dan jangan saling mengingkari, bahkan harus saling berhubungan
dan jangan saling memutuskan, saling merapat dan jangan berjauhan, saling
menyintai dan jangan saling membenci; dan harus bersatu, jangan berselisih.
Dan
dalam hadis Nabi s.a.w. dikatakan:
“Jangan
kamu saling hasut-menghasut, dan jangan saling bertolak belakang, dan jangan
saling membenci. tetapi jadilah kamu hamba Allah bersaudara.” (Riwayat Bukhari
dan lain-lain)
4.4.1
Tidak Halal Seorang Muslim Menjauhi Kawannya
Dan
dari situlah, maka Islam mengharamkan seorang muslim berlaku kasar terhadap
kawannya, memutuskan hubungan dan menjauhinya. Islam tidak memperkenankan
seorang muslim menjauhi kawannya, kecuali dalam batas tiga hari, sehingga
tenanglah kemarahan kedua belah pihak. Kemudian mereka berdua harus berusaha
untuk memperbaiki, menjernihkan suasana dan mengatasi perasaan-perasaan
congkak, benci dan permusuhan. Sebab di antara sifat-sifat yang terpuji dalam
al-Quran ialah:
“Merendah
diri terhadap orang-orang mu’min.” (al-Maidah: 54)
Sabda
Rasulullah s.a.w.:
“Tidak
halal seorang muslim menjauhi kawannya lebih dari tiga hari. Jika telah lewat
waktu tiga hari itu, maka berbicaralah dengan dia dan berilah salam, jika dia
telah menjawab salam, maka keduanya bersama-sama mendapat pahala, dan jika dia
tidak membalasnya, maka sungguh dia kembali dengan membawa dosa, sedang orang
yang memberi salam telah keluar dari dosa karena menjauhi itu.” (Riwayat Abu
Daud)
Lebih
hebat lagi haramnya memutuskan silaturrahmi ini apabila terhadap keluarga yang
oleh Islam diwajibkan untuk menyambungnya dan melindungi kehormatannya. Firman
Allah:
“Dan
takutlah kamu kepada Allah yang padaNya Kamu meminta dan jagalah keluarga
karena sesungguhnya Allah maha mengawasi atas kamu.” (an-Nisa': 1)
Rasulullah
s.a.w. menggambarkan silaturrahmi ini dan nilainya, dalam salah satu sabdanya
sebagai berikut:
“Kekeluargaan
bergantung di Arsy, ia akan berkata: barangsiapa menghubungi aku, maka Allah
pun akan menghubunginya; dan barangsiapa memutus aku, maka Allah pun akan
memutusnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan
sabdanya pula:
“Tidak
masuk syorga orang yang memutus.” (Riwayat Bukhari)
Sebagian
ulama ada yang menafsirkan kata-kata memutus itu yakni: memutuskan
silaturrahmi. Dan lainnya menafsirkan dengan: memotong jalan (penyamun). Jadi
seolah-olah kedua-duanya berada dalam satu kedudukan.
Bukanlah
yang dimaksud silaturrahmi yang wajib itu sekedar seorang kerabat menghubungi
dan berbuat baik kepada yang lain, sebab ini adalah satu hal yang biasa dan
yang mesti demikian. Tetapi apa yang dimaksud silaturrahmi yang wajib ialah
tetap menghubungi keluarga-keluarganya sekalipun mereka itu menjauhinya.
Seperti sabda Nabi:
“Bukanlah
orang yang menghubungi keluarga itu ialah orang yang menjamin, tetapi yang
dinamakan orang yang menyambung kekeluargaan ialah apabila keluarganya itu
memutuskan dia, maka dia tetap menghubunginya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini
semua tidak berlaku terhadap hal yang dibenarkan Allah dan dalam masalah yang
hak. Sebab teguhnya ikatan iman ialah: Cinta karena Allah, dan benci pun karena
Allah.
Rasulullah
s.a.w. pernah menjauhi ketiga orang sahabatnya yang tidak mau turut dalam
peperangan Tabuk selama 50 hari, sehingga bumi ini layaknya sempit dan hatinya
merasa kebingungan, dan tidak ada seorang pun yang mau bergaul dengan mereka,
atau berbicara dan memberi salam. Begitulah sehingga Allah menurunkan ayat
tentang diterimanya taubat mereka itu.28
Dan
pernah juga Rasulullah s.a.w. menjauhi sebagian isterinya selama 40 hari.28
Ibnu
Umar pernah menjauhi anaknya sampai ia meninggal dunia, karena anaknya tidak
mau mengoreksi hadis yang diterimanya dari ayahnya dari Rasulullah s.a.w.
tentang dilarangnya laki-laki menghalang-halangi isterinya pergi ke masjid.29
Adapun
menjauhi kawan lantaran kepentingan duniawi, maka sesungguhnya duniawi harus
lebih dikesampingkan dalam hubungannya dengan Allah dan seorang muslim,
daripada membawa kepada sikap berjauhan dan memutuskan tali persahabatan antara
seorang muslim dengan saudaranya. Sebab memutuskan hubungan itu akan dapat
menghalangi pengampunan dosa dan rahmat Allah. Seperti diterangkan oleh hadis Rasulullah
s.a.w.:
“Pintu-pintu
sorga akan dibuka pada hari Isnin dan Khamis, kemudian Allah akan memberi
ampunan kepada setiap orang yang tidak menyekutukan Allah sedikitpun; kecuali
seorang laki-laki yang ada perpisahan antara dia dengan saudaranya. Maka
berkatalah Allah: tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai,
tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua
orang ini sehingga mereka berdamai.” (Riwayat Muslim)
Kalau
dia yang berada di pihak yang benar, maka cukup kiranya pihak yang bersalah
datang dan minta maaf, dan dia pun harus memberi maaf. Dengan demikian maka
selesailah persengketaan, dan haram hukumnya dia menolak permintaan maaf
saudaranya itu.
Terhadap
orang yang berbuat demikian, Rasulullah s.a.w. mernberikan ancaman, bahwa kelak
di hari kiamat tidak akan masuk sorga.
4.4.2
Mendamaikan Persengketaan
Kalau
cuaca pertengkaran itu telah cerah kembali sesuai dengan keharusan bersaudara,
maka bagi masyarakat Islam mempunyai kewajiban lain. Sebab sepanjang pengertian
masyarakat Islam yaitu suatu masyarakat yang saling saling membantu dan saling
menolong. Oleh karena itu tidak boleh sementara orang melihat saudaranya
bertengkar dan saling membunuh, kemudian dia berdiri sebagai penonton, dan
membiarkan api bertambah menyala dan kebakaran makin meluas. Bahkan setiap
orang yang arif dan bijaksana serta ada kemampuan, harus terjun ke gelanggang
guna mendamaikan persengketaan itu dengan niat semata-mata mencari kebenaran
dan jauh dari pengaruh hawa nafsu. Seperti apa yang difirmankan Allah:
“…
maka adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada
Allah agar kamu mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)
Dalam
salah satu hadisnya Rasulullah s.a.w. pernah menjelaskan tentang keutamaan
mendamaikan ini, serta bahayanya pertentangan dan perpisahan. Sabda Rasulullah
s.a.w.:
“Maukah
kamu saya tunjukkan suatu perbuatan yang lebih utama daripada tingkatan
keutamaan sembahyang, puasa dan sedekah? Mereka menjawab: Baiklah ya
Rasulullah! Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.: yaitu mendamaikan persengketaan
yang sedang terjadi; sebab kerusakan karena persengketaan berarti menggundul,
saya tidak mengatakan menggundul rambut, tetapi menggundul agama.” (Riwayat
Tarmizi dan lain-lain)
4.4.2.1
Jangan Ada Suatu Golongan Memperolokkan Golongan Lain
Dalam
ayat-ayat yang telah kami sebutkan terdahulu terdapat sejumlah hal yang
dilarang oleh Allah, demi melindungi persaudaraan dan kehormatan manusia.
Larangan
pertama. tentang memperolokkan orang lain. Oleh karena itu tidak halal seorang
muslim yang mengenal Allah dan mengharapkan hidup bahagia di akhirat kelak,
memperolokkan orang lain, atau menjadikan sementara orang sebagai objek
permainan dan perolokannya. Sebab dalam hal ini ada unsur kesombongan yang
tersembunyi dan penghinaan kepada orang lain, serta menunjukkan suatu
kebodohannya tentang neraca kebajikan di sisi Allah. Justru itu Allah
mengatakan: “Jangan ada suatu kaum memperolokkan kaum lain, sebab barangkali
mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan; dan
jangan pula perempuan memperolokkan perempuan lain, sebab barangkali mereka
yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan.”
Yang
dinamakan baik dalam pandangan Allah, yaitu: iman, ikhlas dan mengadakan kontak
yang baik dengan Allah. Bukan dinilai dari rupa, badan, pangkat dan kekayaan.
Dalam
hadisnya Rasulullah s.a.w. mengatakan:
“Sesungguhnya
Allah tidak melihat rupa kamu dan kekayaan kamu, tetapi Allah melihat hati kamu
dan amal kamu.” (Riwayat Muslim)
Bolehkah
seorang laki-laki atau perempuan diperolokkan karena suatu cacat di badannya,
perangainya atau karena kemiskinannya?
Dalam
sebuah riwayat diceriterakan, bahwa Ibnu Mas’ud pernah membuka betisnya dan
nampak kecil sekali. Maka tertawalah sebagian orang. Lantas Rasulullah s.a.w.
bersabda:
“Apakah
kamu mentertawakan kecilnya betis Ibnu Mas’ud, demi Allah yang diriku dalam
kekuasaanNya: bahwa kedua betisnya itu timbangannya lebih berat daripada gunung
Uhud.” (Riwayat Thayalisi dan Ahmad)
Al-Quran
juga menghikayatkan tentang orang-orang musyrik yang memperolok orang-orang
mu’min, lebih-lebih mereka yang lemah –seperti Bilal dan ‘Amman– kelak di hari
kiamat, neraca menjadi terbalik, yang mengolok-olok menjadi yang diolok-olok
dan ditertawakan, Firman Allah:
“Sesungguhnya
orang-orang yang durhaka itu mentertawakan orang-orang yang beriman. Dan
apabila mereka melalui mereka, mereka berlirik-lirikan. Dan apabila mereka
kembali kepada keluarganya, mereka kembali dengan suka cita. Dan apabila mereka
melihat mereka itu, mereka berkata: ‘Sungguh mereka itu orang-orang yang
sesat.’ Padahal mereka itu tidak diutus untuk menjadi pengawal atas mereka.
Oleh karena itu pada hari ini orang-orang mu’min akan mentertawakan orang-orang
kafir itu.” (al-Muthaffifin 29-34)
Ayat
ini31 dengan
tegas dan jelas menyebutkan dilarangnya perempuan mengolok-olok orang lain,
padahal perempuan sudah tercakup dalam kandungan kata kaum. Ini menunjukkan,
bahwa pengolok-olokan sementara perempuan terhadap yang lain, termasuk hal yang
biasa terjadi di kalangan mereka.
4.4.2.2
Jangan Mencela Diri-Diri Kamu
Larangan
kedua: Tentang lumzun, yang menurut arti lughawi berarti: al-wakhzu (tusukan)
dan ath-tha’nu (tikaman). Sedang lumzun yang dimaksud di sini ialah: ‘aib
(cacat). Jadi seolah-olah orang yang mencela orang lain, berarti menusuk orang
tersebut dengan ketajaman pedangnya, atau menikam dengan hujung tombaknya. Penafsiran
ini tepat sekali. Bahkan kadang-kadang tikaman lidah justru lebih hebat.
Seperti kata seorang penyair:
Luka
karena tombak masih dapat diobati
Tetapi
luka karena lidah berat untuk diperbaiki.
Bentuk
larangan dalam ayat ini mempunyai suatu isyarat yang indah sekali.
Ayat
tersebut mengatakan: laa talmizu anfusakum (jangan kamu mencela diri-diri
kamu). Ini tidak berarti satu sama lain saling cela-mencela. Tetapi al-Quran
menuturkan dengan jama’atul mu’minin, yang seolah-olah mereka itu satu tubuh.
Sebab mereka itu secara keseluruhannya saling membantu dan menolong. Jadi barangsiapa
mencela saudaranya, berarti sama dengan mencela dirinya sendiri. Karena dia itu
dari dan untuk saudaranya.
4.4.2.3
Jangan Memberi Gelar dengan Gelar-Gelar yang Tidak Baik
Ketiga:
Termasuk mencela yang diharamkan, ialah: memberi gelar dengan beberapa gelar
yang tidak baik, yaitu suatu panggilan yang tidak layak dan tidak menyenangkan
yang membawa kepada suatu bentuk penghinaan dan celaan.
Tidak
layak seorang manusia berbuat jahat kepada kawannya. Dipanggilnya kawannya itu
dengan gelar yang tidak menyenangkan bahkan menjengkelkan. Ini bisa menyebabkan
berubahnya hati dan permusuhan sesama kawan serta menghilangkan jiwa kesopanan
dan perasaan yang tinggi.
4.4.2.4
Su’uzh-Zhan (Berburuk Sangka)
Keempat:
Islam menghendaki untuk menegakkan masyarakatnya dengan penuh kejernihan hati
dan rasa percaya yang timbal balik; bukan penuh ragu dan bimbang, menuduh dan
bersangka-sangka,
Untuk
itu, maka datanglah ayat al-Quran membawakan keempat sikap yang diharamkan ini,
demi melindungi kehormatan orang lain. Maka berfirmanlah Allah:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak menyangka, karena sesungguhnya
sebagian sangkaan itu berdosa.” (al-Hujurat: 12)
Sangkaan
yang berdosa, yaitu sangkaan yang buruk.
Oleh
karena itu tidak halal seorang muslim berburuk sangka terhadap saudaranya,
tanpa suatu alasan dan bukti yang jelas. Sebab manusia secara umum pada asalnya
bersih. Oleh karena itu prasangka-prasangka tidak layak diketengahkan dalam
arena kebersihan ini justru untuk menuduh. Sabda Nabi:
“Hati-hatilah
kamu terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta
omongan.” (Riwayat Bukhari)
Manusia
karena kelemahan sifat kemanusiaannya, tidak dapat menerima prasangka dan
tuduhan oleh sebagian manusia, lebih-lebih terhadap orang-orang yang tidak ada
hubungan baik.
Oleh
karena itu sikap yang harus ditempuh, dia harus tidak menerima tuduhan itu dan
berjalan mengikuti suara nafsu tersebut.
Inilah
makna hadis Nabi yang mengatakan:
“Kalau kamu akan
menyangka, maka jangan kamu nyatakan.” (Riwayat Thabarani)
4.4.2.5
Tajassus (Memata-matai)
Kelima:
Tidak adanya kepercayaan terhadap orang lain, menyebabkan seseorang untuk
melakukan perbuatan batin yang disebut su’uzh-zhan dan melakukan perbuatan
badan yang berbentuk tajassus. Sedang Islam bertujuan menegakkan masyarakatnya
dalam situasi bersih lahir dan batin. Oleh karena itu larangan bertajassus ini
dibarengi dengan larangan su’uzh-zhan (berburuk sangka). Dan banyak sekali
su’uzh-zhan ini terjadi karena adanya tajassus.
Setiap
manusia mempunyai kehormatan diri yang tidak boleh dinodai dengan tajassus dan
diselidiki cacat-cacatnya, sekalipun dia berbuat dosa, selama dilakukan dengan
bersembunyi.
Abul
Haitsam sekretaris Uqbah bin ‘Amir –salah seorang sahabat Nabi– berkata: saya
pernah berkata kepada Uqbah: saya mempunyai tetangga yang suka minum arak dan
akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Maka kata Uqbah: Jangan! Tetapi
nasehatilah mereka itu dan peringatkanlah. Abul Haitsam menjawab: Sudah saya
larang tetapi mereka tidak mau berhenti, dan tetap akan saya panggilkan polisi
untuk menangkapnya. Uqbah berkata: Celaka kamu! Jangan! Sebab saya pernah
mendengar Rasulullah s.a.w. berkata:
“Barangsiapa
menutupi suatu cacat, maka seolah-olah ia telah menghidupkan anak yang ditanam
hidup-hidup dalam kuburnya.” (Riwayat Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Hibban)
Rasulullah
s.a.w. menilai, bahwa menyelidiki cacat orang lain itu termasuk perbuatan orang
munafik yang mengatakan beriman dengan lidahnya tetapi hatinya membenci. Kelak
mereka akan dibebani dosa yang berat di hadapan Allah.
Dalam
hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah s.a.w,
pernah naik mimbar kemudian menyeru dengan suara yang keras:
“Hai
semua orang yang telah menyatakan beriman dengan lidahnya tetapi iman itu belum
sampai ke dalam hatinya! Janganlah kamu menyakiti orang-orang Islam dan jangan
kamu menyelidiki cacat-cacat mereka. Sebab barangsiapa menyelidiki cacat
saudara muslim, maka Allah pun akan menyelidiki cacatnya sendiri; dan
barangsiapa yang oleh Allah diselidiki cacatnya, maka Ia akan nampakkan
kendatipun dalam perjalanan yang jauh.” (Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)
Maka
demi melindungi kehormatan orang lain, Rasulullah s.a.w. mengharamkan dengan
keras seseorang mengintip rumah orang lain tanpa izin; dan ia membenarkan
pemilik rumah untuk melukainya. Seperti sabda Nabi:
“Barangsiapa
mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka halal buat mereka untuk
menusuk matanya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Diharamkan
juga mendengar-dengarkan omongan mereka tanpa sepengetahuan dan perkenannya.
Sabda Nabi:
“Barangsiapa
mendengar-dengarkan omongan suatu kaum; sedang mereka itu tidak suka, maka
kelak di hari kiamat kedua telinganya akan dituangi cairan timah.” (Riwayat
Bukhari)
Al-Quran
mewajibkan kepada setiap muslim yang berkunjung ke rumah kawan, supaya jangan
masuk lebih dahulu, sehingga ia minta izin dan memberi salam kepada
penghuninya. Firman Allah:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu masuk rumah selain rumah-rumah kamu
sendiri, sehingga kamu minta izin lebih dahulu dan memberi salam kepada
pemiliknya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu, supaya kamu ingat. Maka
jika kamu tidak menjumpai seorang pun dalam rumah itu, maka jangan kamu masuk,
sehingga kamu diberi izin. Dan jika dikatakan kepadamu: kembalilah! Maka
kembalilah kamu. Yang demikian itu lebih bersih buat kamu, dan Allah Maha Menge
tahui apa saja yang kamu kerjakan.” (an-Nur: 27-28)
Di
dalam hadis Nabi, juga dikatakan:
“Barangsiapa
membuka tabir kemudian dia masukkan pandangannya sebelum diizinkan, maka
sungguh dia telah melanggar suatu hukum yang tidak halal baginya untuk
dikerjakan.” (Riwayat Ahmad dan Tarmizi)
Nas-nas
larangan tentang tajassus dan menyelidiki cacat orang lain ini meliputi hakim
dan yang terhukum, seperti yang diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Mu’awiyah dari Rasulullah s.a.w. ia bersabda:
“Sesungguhnya
kamu jika menyelidiki carat orang lain, berarti kamu telah merusak mereka atau
setidak-tidaknya hampir- merusak mereka itu.” (Riwayat Abu Daud dan ibnu
Hibban)
Abu
Umamah meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:
“Sesungguhnya
seorang kepala apabila mencari keraguraguan terhadap orang lain, maka ia telah
merusak mereka.” (Riwayat Abu Daud)
4.4.2.6
Ghibah (Mengumpat)
Keenam:
Kita dilarang ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah:
“Dan
jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya.” (al-Hujurat: 12)
Rasulullah
s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut kepada
sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana tersebut
di bawah ini:
“Bertanyalah
Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut ghibah itu? Mereka
menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab Nabi, yaitu: Kamu
membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak menyukainya. Kemudian Nabi
ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat apa yang saya katakan tadi?
Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat apa yang kamu bicarakan itu,
maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak seperti apa yang kamu bicarakan
itu, maka berarti kamu telah menuduh dia.” (Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi
dan Nasa’i)
Manusia
tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya itu
dibicarakan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini:
“Dari
Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya engkau cukup (puas)
dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek, maka jawab Nabi:
Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata engkau campur
dengan air laut niscaya akan bercampur.” (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan
Baihaqi)
Ghibah
adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga
diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di
hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari
belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab
pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya.
Ghibah
disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya
dapat selamat dari cela dan cerca.
Oleh
karena itu tidak mengherankan, apabila al-Quran melukiskannya dalam bentuk
tersendiri yang cukup dapat menggetarkan hati dan menumbuhkan perasaan. Firman
Allah:
“Dan
jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya; apakah salah seorang di antara kamu
suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya?!”
(al-Hujurat: 12)
Setiap
manusia pasti tidak suka makan daging manusia.
Maka
bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau daging itu
telah menjadi bangkai? Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran
dan mendasar di dalam hati setiap ada kesempatan untuk itu. Ibnu Mas’ud pernah
berkata:
“Kami
pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri
meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah
dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini: Berselilitlah kamu! Orang
tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan
daging? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu.”
(Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari)
Dan
diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata:
“Kami
pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau busuk. Lalu
bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin (bau) nya
orang-orang yang mengumpat arang-orang mu’min.” (Riwayat Ahmad dan rawi-rawinya
kepercayaan)
4.4.2.6.1
Batas Perkenan Ghibah
Seluruh
nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam Islam. Akan
tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan, tidak
termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat.
Diantara
yang dikecualikan, yaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya orang yang
menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam hal ini
Islam memberikan rukhshah untuk mengadukannya. Firman Allah:
“Allah
tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali (dari) orang
yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
(an-Nisa': 148)
Kadang-kadang
ada seseorang bertanya tentang pribadi orang lain karena ada maksud mengadakan
hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau untuk menyerahkan
suatu urusan yang sangat penting kepadanya.
Di
sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan diri
kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di
hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk
itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua.
Dalam
sebuah kisah dituturkan, bahwa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan kepada
Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi kepadanya:
“Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai uang, dan Nabi
menerangkan tentang yang kedua, bahwa dia itu tidak mau meletakkan tongkatnya
dari pundaknya, yakni: dia sering memukul perempuan.”
Dan
termasuk yang dikecualikan juga yaitu: karena bertanya, minta tolong untuk
mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar atau
sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut.
Misalnya: A’raj (pincang), A’masy (rabun) dan anak si Anu.
Termasuk
yang dikecualikan juga, yaitu menerangkan cacatnya saksi dan rawi-rawi hadis.32
Definisi
umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua:
Karena
ada suatu kepentingan.
Karena
suatu niat.
4.4.2.6.1.1
Karena suatu kepentingan
Jadi
kalau tidak ada kepentingan yang mengharuskan membicarakan seorang yang tidak
hadir dengan sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah
larangan ini. Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran, maka
tidak boleh berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini
tidak boleh memakai takhshish (pengecualian) tersebut.
Misalnya
seorang yang sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk mengatakan:
“bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begini,” maka
dia tidak boleh mengatakan: “bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin si Anu.”
Semua
ini dengan syarat tidak akan membicarakan sesuatu di luar apa yang ada. Kalau
tidak, berarti suatu dosa dan haram.
4.4.2.6.1.2
Karena suatu niat
Adanya
suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab pribadi manusia
itu sendiri yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada orang lain. Maka
niatlah yang dapat membedakan antara perbuatan zalim dan mengobati, antara
minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan mengoreksi dan
antara nasehat dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu’min, seperti dikatakan
oleh suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi dirinya daripada
raja yang kejam dan kawan yang bakhil.
Hukum
Islam menetapkan, bahwa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh karena
itu dia harus menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban
menjauhkannya. Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.:
“Barangsiapa
menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka adalah suatu
kepastian dari Allah, bahwa Allah akan membebaskan dia dari Neraka.” (Riwayat
Ahmad dengan sanad hasan)
“Barangsiapa
menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri saudaranya, maka Allah
akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di hari kiamat.”
(Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)
Barangsiapa
tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu menghalang-halangi mulut-mulut
yang suka menyerang kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang paling
minim, yaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan kaum
tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam pembicaraan lain. Kalau tidak, maka
yang tepat dia dapat dikategorikan dengan firman Allah:
“Sesungguhnya
kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka” (an-Nisa': 140)
4.4.2.7
Mengadu Domba
Ketujuh:
Kalau ghibah dalam Islam disebut sebagai suatu dosa, maka ada suatu perbuatan
yang lebih berat lagi, yaitu mengadu domba (namimah). Yaitu memindahkan omongan
seseorang kepada orang yang dibicarakan itu dengan suatu tujuan untuk
menimbulkan permusuhan antara sesama manusia, mengotori kejernihan pergaulan
dan atau menambah keruhnya pergaulan.
Al-Quran
menurunkan ayat yang mencela perbuatan hina ini sejak permulaan perioda Makkah.
Firman Allah:
“Dan
jangan kamu tunduk kepada orang yang suka sumpah yang hina, yang suka mencela
orang, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba.” (al-Qalam: 10-11)
Dan
sabda Rasulullah s.a.w.:
“Tidak
masuk sorga orang-orang yang suka mengadu domba.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Qattat,
kadang-kadang disebut juga nammam, yaitu seorang berkumpul bersama orang banyak
yang sedang membicarakan suatu pembicaraan, kemudian dia menghasut mereka.
Dan
qattat itu sendiri, yaitu seseorang yang memperdengarkan sesuatu kepada orang
banyak padahal mereka tidak mengetahuinya, kemudian dia menghasut mereka itu.
Rasulullah
s.a.w. pernah bersabda:
“Sejelek-jelek
hamba Allah yaitu orang-orang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba,
yang memecah-belah antara kekasih, yang suka mencari-cari cacat orang-orang
yang baik.” (Riwayat Ahmad)
Islam,
dalam rangka memadamkan pertengkaran dan mendamaikan pertentangan, membolehkan
kepada juru pendamai itu untuk merahasiakan omongan tidak baik yang dia ketahui
dari omongan seseorang tentang diri orang lain. Dan boleh juga dia menambah
omongan baik yang tidak didengarnya. Seperti yang dikatakan Nabi dalam
hadisnya:
“Tidak
termasuk dusta orang yang mendamaikan antara dua orang, kemudian dia berkata
baik atau menambah suatu omongan baik.”
Islam
sangat membenci orang-orang yang suka mendengarkan omongan jelek, kemudian
cepat-cepat memindahkan omongan itu dengan menambah-nambah untuk memperdaya
atau karena senang adanya kehancuran dan kerusakan.
Manusia
semacam ini tidak mau membatasi diri sampai kepada apa yang didengar itu saja,
sebab keinginan untuk menghancurkan itulah yang mendorongnya menambah omongan
yang mereka dengar. Dan jika mereka tidak mendengar, mereka berdusta.
Kata
seorang penyair:
Kalau
mereka mendengar kebaikan, disembunyikan
Dan
kalau mendengarkan kejelekan, disiarkan
tetapi
jika tidak mendengar apa-apa, ia berdusta.
Ada
seorang laki-laki masuk ke tempat Umar bin Abdul Aziz, kemudian membicarakan
tentang hal seseorang yang tidak disukainya. Maka berkatalah Umar kepada si
laki-laki tersebut; kalau boleh kami akan menyelidiki permasalahanmu itu.
Tetapi jika kamu berdusta, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat
ini:
“Jika
datang kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka selidikilah.”
(al-Hujurat: 6)
Dan
jika kamu benar, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat:
“Orang
yang suka mencela, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba.”
(al-Qalam: 11)
Tetapi
kalau kamu suka, saya akan memberi pengampunan. Maka jawab orang laki-laki
tersebut: pengampunan saja ya amirul mu’minin, saya berjanji tidak akan
mengulangi lagi.
4.4.2.8
Melindungi Harga Diri
Kedelapan:
Kita semua telah memaklumi, bagaimana Islam dengan melalui ajaran-ajarannya
telah melindungi kehormatan dan harga diri manusia, bahkan sampai kepada bentuk
mensucikannya.
Pada
satu hari Ibnu Mas’ud pernah melihat Ka’bah, kemudian dia mengatakan: “Betapa
agungnya engkau dan betapa pula agungnya kehormatanmu. Tetapi orang mu’min
lebih agung kehormatannya daripada engkau.” (Riwayat Tarmizi)
Dalam
haji wada’, Rasulullah s.a.w, pernah berkhutbah di hadapan khalayak kaum
muslimin, di antara isi khutbahnya itu berbunyi sebagai berikut:
“Sesungguhnya
harta benda kamu, kehormatanmu, darah kamu haram atas kamu (dilindungi),
sebagaimana haramnya harimu ini di bulanmu ini dan di negerimu ini.” (Riwayat
Tarmizi)
Islam
melindungi kehormatan pribadi dari suatu omongan yang tidak disukainya untuk
disebut-sebut dalam ghibah, padahal omongan itu cukup benar. Maka bagaimana
lagi kalau omongan itu justru dibuat-buat dan tidak berpangkal? Jelas merupakan
dosa besar. Seperti dituturkan dalam hadis Nabi:
“Barangsiapa
membicarakan seseorang dengan sesuatu yang tidak ada padanya karena hendak
mencela dia, maka Allah akan tahan dia di neraka jahanam, sehingga dia datang
untuk membebaskan apa yang dia omongkan itu.” (Riwayat Thabarani)
Aisyah
juga pernah meriwayatkan:
“Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. pernah bertanya kepada para sahabatnya: Tahukah kamu riba
apakah yang teramat berat di sisi Allah? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya
yang maha tahu. Kemudian bersabdalah Rasulullah: Sesungguhnya riba yang teramat
berat di sisi Allah, ialah: menghalalkan kehormatan pribadi seorang muslim.”
Kemudian
Rasulullah s.a.w. membacakan ayat:
“Dan
orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan dengan
sesuatu yang pada hakikatnya mereka tidak berbuat, maka sungguh mereka telah
memikul dusta dan dosa yang terang-terangan.” (al-Ahzab: 58)33
Bentuk
penodaan kehormatan yang paling berat ialah menuduh orang-orang mu’min
perempuan yang terpelihara, melakukan suatu kemesuman. Karena tuduhan tersebut
akan membawa bahaya yang besar kalau mereka mendengarnya dan didengar pula oleh
keluarga-keluarganya, serta akan berbahaya untuk masa depan mereka. Lebih-lebih
kalau hal itu didengar oleh orang-orang yang suka menyebar luaskan kejahatan di
tengah-tengah masyarakat Islam.
Justru
itu Rasulullah menganggapnya sebagai salah satu daripada dosa-dosa besar yang
akan meruntuhkan. Dan al-Quran pun mengancamnya dengan hukuman yang amat berat.
Firman Allah:
“Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang bersih jujur dan beriman,
mereka itu dilaknat di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka siksaan yang
besar, yaitu pada hari di mana lidah, tangan dan kaki mereka akan menyaksikan
atas mereka tentang apa-apa yang pernah mereka lakukan. Pada hari itu Allah
akan menyempurnakan balasan mereka dengan benar, dan mereka tahu sesungguhnya
Allah, Dialah yang benar yang nyata.” (an-Nur: 23-25)
Dan
firmanNya pula:
“Sesungguhnya
orang-orang yang senang untuk tersiarnya kejelekan di kalangan orang-orang
mu’min, kelak akan mendapat siksaan yang pedih di dunia dan akhirat, dan Allah
mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)
4.4.2.9
Kehormatan Darah
Kesembilan:
Islam membersihkan kehidupan ummat manusia dan melindungi kehormatan setiap
orang serta menetapkan, bahwa menodainya berarti suatu dosa besar di hadapan
Allah, sesudah dosa kufur.
Al-Quran
mengatakan sebagai berikut:
“Bahwasanya,
barangsiapa membunuh suatu jiwa, padahal dia tidak membunuh jiwa atau tidak
membuat kerusuhan di permukaan bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh
manusia seluruhnya.” (al-Maidah: 32)
Hal
ini disebabkan jenis manusia itu seluruhnya pada dasarnya satu usrah (satu
keluarga). Jadi kalau ada permusuhan oleh seseorang kepada orang lain, sama
halnya dengan memusuhi jenis manusia itu sendiri. Lebih hebat lagi haramnya,
apabila pihak yang terbunuh justru orang Islam. Firman Allah:
“Barangsiapa
membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya neraka jahanam dengan
kekal abadi di dalamnya, dan Allah akan murka dan melaknatnya serta
mempersiapkan untuknya siksaan yang besar.” (an-Nisa': 93)
Dan
Rasulullah s.a.w. juga bersabda:
“Sungguh
lenyapnya dunia akan lebih mudah bagi Allah ada (hilangnya dosa) seseorang yang
membunuh orang Islam.” (Riwayat Muslim, Nasa’i dan Tarmizi)
Dan
sabdanya juga:
“Senantiasa
seorang mu’min dalam kelapangan dari agamanya selama dia tidak mengenai darah
haram.” (Riwayat Bukhari)
Dan
ia bersabda pula:
“Setiap
dosa ada harapan Allah akan mengampuninya, kecuali seorang laki-laki yang mati
dalam keadaan syirik atau seorang laki-laki membunuh seorang mu’min dengan
sengaja.” (Riwayat Abu Daud, Ibnu Hibban dan Hakim)
Terhadap
ayat dan hadis-hadis tersebut, Ibnu Abbas berpendapat, bahwa taubatnya seorang
pembunuh tidak bakal diterima. Jadi seolah-olah dia berpendapat, bahwa di
antara syarat taubat tidak akan diterima kecuali dengan mengembalikan hak-hak
tersebut kepada keluarga terbunuh atau minta kerelaannya. Sekarang bagaimana
mungkin dia dapat mengembalikan hak orang yang terbunuh itu kepadanya atau
minta direlakannya?
Yang
lain berpendapat: bahwa taubat yang ikhlas itu dapat diterima dan menghapuskan
syirik, apalagi dosa di bawah syirik? Firman Allah:
“Dan
orang-orang yang tidak menyembah Tuhan lain bersama Allah, dan tidak membunuh
jiwa yang diharamkan Allah kecuali karena hak dan tidak berzina. Barangsiapa
berbuat demikian, maka dia akan menjumpai dosanya yang dilipat-gandakan baginya
siksaan kelak di hari kiamat dan akan kekal dalam siksaan itu dengan keadaan
hina, kecuali orang yang taubat dan beriman dan beramal saleh, maka mereka itu
akan diganti oleh Allah kejelekan-kejelekannya dengan kebaikan-kebaikan, dan
adalah Allah Maha Pengam pun lagi Maha Belas-kasih.” (al-Furqan: 68-70)
4.4.2.9.1
Pembunuh dan yang Terbunuh, Kedua-duanya di Neraka
Rasulullah
s.a.w. menilai, bahwa membunuh seorang muslim sebagai satu bagian daripada
kufur dan salah satu perbuatan jahiliah yang suka melancarkan peperangan dan
mengalirkan darah kendati hanya karena seekor unta atau kuda. Maka kata
Rasulullah s.a.w.:
“Memaki
seorang muslim adalah fasik, dan memeranginya adalah kufur.” (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
Dan
sabdanya pula:
“Jangan
kamu kembali kafir sesudah aku meninggal, yaitu sebagian kamu memukul leher
sebagiannya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan
pernah juga ia bersabda:
“Apabila
ada dua orang Islam, salah satunya membawa senjata untuk membunuh saudaranya,
maka kedua-duanya berada di tepi jahanam; dan apabila salah satunya membunuh
kawannya, maka kedua-duanya masuk jahanam. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya:
Ya Rasulullahl Ini yang membunuh memang mungkin, tetapi mengapa yang terbunuh
sampai begitu? Jawab Nabi: Karena dia bermaksud akan membunuh saudaranya juga.”
(Riwayat Bukhari)
Oleh
karena itulah Rasulullah s.a.w. melarang setiap perbuatan yang dapat membawa
kepada pembunuhan atau peperangan, kendati hanya sekedar berisyarat dengan
senjata. Seperti sabdanya:
“Janganlah
salah seorang di antara kamu berisyarat kepada saudaranya dengan pedang, sebab
dia tidak tahu barangkali syaitan akan melepaskan dari tangannya, maka dia akan
jatuh ke jurang neraka.” (Riwayat Bukhari)
Dan
sabdanya pula:
“Barangsiapa
mengisyaratkan besi kepada kawannya, maka Malaikat akan melaknatnya sehingga ia
berhenti, sekalipun dia itu saudara sekandung.” (Riwayat Muslim)
Bahkan
ia bersabda:
“Tidak
halal seorang muslim menakut-nakuti orang lain.” (Riwayat Abu Daud dan
Thabarani dan rawi-rawinya kepercayaan)
Dosa
ini tidak terbatas kepada si pembunuhnya saja, bahkan semua orang yang terlibat
dalam pembunuhan itu, baik dengan perkataan ataupun perbuatan akan mendapat
murka dari Allah sebesar dosa keterlibatannya itu. Sampai pun orang yang
menyaksikan pembunuhan itu akan mendapat bagian dosa juga. Seperti disebutkan
dalam hadis Nabi yang mengatakan:
“Jangan
sampai salah seorang dari antara kamu berdiri di suatu tempat yang dilakukan
pembunuhan terhadap seseorang dengan penganiayaan. Sebab laknat akan turun
kepada orang yang menyaksikan sedangkan dia tidak mau membelanya.” (Riwayat
Thabarani dan Baihaqi dengan sanad hasan)
4.4.2.9.2
Dilindunginya Darah Kafir ‘Ahdi dan Dzimmi
Nas-nas
yang berkenaan dengan larangan membunuh dan peperangan ditujukan untuk ummat
Islam, karana nas-nas itu datang sebagai suatu ketetapan dan bimbingan untuk
kaum muslimin dalam masyarakat Islam.
Tetapi
ini tidak berarti, bahwa selain orang Islam darahnya halal. Sebab pada dasarnya
jiwa manusia dilindungi Allah dan dijaganya dengan hukum kemanusiaannya itu
sendiri, selama mereka itu bukan kafir harbi (kafir yang memerangi Islam),
karena kafir harbi darahnya halal.
Adapun
kafir ‘ahdi atau kafir dzimmi (kafir yang berada di bawah naungan pemerintah
Islam), darahnya tetap dilindungi, tidak seorang muslim pun diperkenankan
memusuhinya.
Untuk
itu Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
“Barangsiapa
membunuh seorang kafir ahdi, maka dia tidak akan mencium bau sorga, sedang bau
sorga itu tercium sejauh perjalanan 40 tahun.” (Riwayat Bukhari dan lain-lain)
Dan
dalam satu riwavat dikatakan:
“Barangsiapa
membunuh seorang laki-laki dari ahli dzimmah, maka dia tidak akan mencium bau
sorga.” (Riwayat Nasa’i)
4.4.2.9.3
Bilakah Kehormatan Darah Itu Gugur?
Firman
Allah:
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan (dilindungi) Allah, kecuali dengan
benar.” (al-An’am: 151)
Apa
yang dikatakan benar ini, adalah sebagai suatu hukuman terhadap tindakan
kriminal, yang dilakukan karena salah satu dari tiga sebab:
Karena
suatu pembunuhan secara zalim.
Untuk
orang ini harus dilakukan hukum qishash, yaitu satu jiwa dengan satu jiwa,
tindak kejahatan dengan kejahatan. Tetapi yang memulai dinilai lebih kejam.
Firman Allah:
“Dan
bagi kamu dalam hukum qishash itu ada suatu keselamatan nyawa.” (al-Baqarah:
179)
Terang-terangan
berbuat kemesuman (zina) yang diketahui oleh empat orang saksi dengan
mata-kepala sendiri, sedang dia tahu cara-cara perkawinan halal.
Termasuk
juga, karena dia mengaku di hadapan hakim sebanyak empat kali.
Keluar
dari Agama Islam dengan terang-terangan sebagai suatu sikap menantang jamaah
Islam. Sedang Islam tidak memaksa seorang pun masuk Islam. Tetapi dia keluar
dengan mempermainkan agama seperti perbuatan Yahudi, yang mengatakan:
“Berimanlah
kamu kepada kitab yang diturunkan kepada orang-orang mu’min di ujung siang, dan
kufurlah kamu di akhirnya supaya mereka (orang-orang Islam) kembali.”
(Ali-Imran: 72)
Rasulullah
menyimpulkan halalnya darah yang semula haram, dalam tiga hal ini, dengan
sabdanya:
“Tidak
halal darah seseorang muslim kecuali sebab tiga hal: karena membunuh jiwa,
seorang janda/duda berzina dan orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan
diri dari jamaah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Akan
tetapi hak melaksanakan hukuman terhadap salah satu dari ketiga hal ini,
semata-mata berada di tangan waliyul amri, bukan di tangan perorangan. Sehingga
dengan demikian keamanan tidak terganggu, suasana krisis dapat dibendung dan
tidak sampai setiap orang bartindak sebagai hakim sendiri. Kecuali tentang
pembunuhan yang disengaja dan bersifat permusuhan yang mengharuskan
dilakukannya hukum qishash, maka Islam memberi kesempatan kepada keluarga
terbunuh untuk melakukan qishash itu di hadapan waliyul amri, sebagai obat
penenang hati dan guna meredakan setiap keinginan menuntut darah. Ini sesuai
dengan firman Allah:
“Barangsiapa dibunuh
secara aniaya, maka kami berikan kepada keluarganya kekuasaan; tetapi janganlah
melewati batas dalam pembunuhan itu, sebab sesungguhnya dia diberi kemenangan.”
(al-Isra': 33)
4.4.2.9.4
Bunuh Diri
Semua
keterangan yang menerangkan tentang tindak kriminal pembunuhan itu, meliputi
masalah bunuh diri. Jadi barangsiapa bunuh diri dengan cara apapun, berarti dia
telah melakukan suatu pembunuhan yang diharamkan Allah.
Kehidupan
manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat membuat dirinya,
anggotanya ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakekatnya hanyalah sebagai
barang titipan yang diberikan Allah. Oleh karena itu tidak boleh titipan ini
diabaikannya. Bagaimana lagi memusuhinya? Dan apalagi melepaskannya dari hidup?
Karena
itu, berfirmanlah Allah:
“Dan
jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah maha belas-kasih
kepadamu.” (an-Nisa': 29)
Islam
menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam menghadapi
setiap musibah. Oleh karena itu Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun
untuk melepaskan dari hidup dan menanggalkan pakaian karena ada suatu bala’
yang menimpanya atau karena gagal dalam cita-cita yang diimpi-impikan. Sebab
seorang mu’min dicipta justru untuk berjuang, bukan untuk tinggal diam, dan
untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya tidak mengizinkan dia lari
dari arena kehidupan. Sebab setiap mu’min mempunyai senjata yang tidak bisa
sumbing dan mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu senjata iman dan
kekayaan budi.
Rasulullah
s.a.w. memberikan ancaman kepada orang yang berbuat tindak kriminal yang kejam
ini dengan terhalangnya dari rahmat Allah dan mendapat murka Allah kelak di
akhirat.
Rasulullah
s.a.w. bersabda:
“Sebelum
kamu, pernah ada seorang laki-laki luka, kemudian marah sambil mengambil
sebilah pisau dan di potongnya tangannya, darahnya terus mengalir sehingga dia
mati. Maka berkatalah Allah: hambaku ini mau mendahulukan dirinya dari (takdir)
Ku. Oleh karena itu Kuharamkan sorga atasnya.” (Riwayat Bukhari, dan Muslim)
Kalau
orang tersebut terhalang masuk sorga lantaran luka yang tidak seberapa sakitnya
kemudian bunuh diri, maka bagaimana lagi orang yang bunuh diri lantaran
mendapat kerugian sedikit atau banyak, atau lantaran tidak lulus ujian atau
lantaran ditolak seorang gadis?!
Kiranya
orang-orang yang kurang bergairah itu suka mendengarkan ancaman yang dibawa
Rasulullah s.a.w. yang berkilat dan mengguruh. Rasulullah s.a.w. bersabda
sebagai berikut:
“Barangsiapa
menjatuhkan diri dari atas gunung kemudian bunuh diri, maka dia berada di
neraka, dia akan menjatuhkan diri ke dalam neraka untuk selama-lamanya. Dan
barangsiapa minum racun kemudian bunuh diri, maka racunnya itu berada di
tangannya kemudian minum di neraka jahanam untuk selama-lamanya. Dan
barangsiapa bunuh diri dengan alat tajam, maka alat tajamnya itu di tangannya
akan menusuk dia di neraka jahanam untuk selama-lamanya.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
4.4.2.10
Melindungi Harta Benda
Kesepuluh:
Tidak ada salahnya seorang muslim mengumpulkan kekayaan dengan sepuas-puasnya,
asal dengan jalan halal dan disalurkan menurut cara-cara yang dibenarkan oleh
hukum syara’.
Kalau
di sementara agama ada yang beranggapan, bahwa: sesungguhnya orang kaya itu
tidak dapat masuk ke kerajaan langit, kecuali kalau unta dapat masuk ke lubang
jarum, maka sesungguhnya Islam mengatakan: “Bahwa sebaik-baik harta yang baik
adalah milik seorang saleh.” (Riwayat Ahmad.)
Dan
selama Islam membenarkan hak milik pribadi, maka praktis Islam akan melindungi
hak milik tersebut dengan suatu undang-undang. Dan akan memberikan suatu
pengarahan budi agar harta tersebut tidak menjadi sasaran tangan-tangan jahat, baik
karena dirampas, dicuri ataupun ditipu.
Rasulullah
s.a.w. menyebutkan secara global antara kehormatan harta benda, darah dan harga
diri dalam suatu susunan. Bahkan ia menilai pencurian itu sebagai hal yang
dapat menghilangkan iman. Sabda Nabi:
“Tidak
akan mencuri seorang pencuri ketika ia mencuri, padahal dia menyatakan
beriman.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan
firman Allah:
“Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan, hendaklah kamu potong tangannya, sebagai satu
pembalasan terhadap apa yang mereka lakukan dan sebagai contoh yang menakutkan
dari Allah; dan Allah Maha Gagah dan Bijaksana.” (al-Maidah: 38)
Dan
sabda Rasulullah s.a.w.:
“Tidak
halal seorang muslim mengambil sebilah tongkat, tanpa niat baik.” (Riwayat Ibnu
Hibban)
Rasulullah
katakan demikian, karena kerasnya perlindungan Allah terhadap harta seorang
muslim.
Dan
berfirmanlah Allah Ta’ala:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta-harta kamu di antara kamu
dengan cara batil, kecuali melalui perdagangan dengan saling merelakan dari antara
kamu.” (an-Nisa': 29)
4.4.2.10.1
Menyuap, Hukumnya Haram
Termasuk
makan harta orang lain dengan cara batil ialah menerima suap. Yaitu uang yang
diberikan kepada penguasa atau pegawai, supaya penguasa atau pegawai tersebut
menjatuhkan hukum yang menguntungkannya, atau hukum yang merugikan lawannya
menurut kemauannya, atau supaya didahulukannya urusannya atau ditunda karena
ada suatu kepentingan dan seterusnya.
Islam
mengharamkan seorang Islam menyuap penguasa dan pembantu-pembantunya. Begitu
juga penguasa dan pembantu-pembantunya ini diharamkan menerima uang suap
tersebut.
Dan
kepada pihak ketiga diperingatkan jangan sampai mau menjadi perantara antara
pihak penerima dan pemberi. Firman Allah:
“Dan
jangan kamu makan harta benda kamu di antara kamu dengan batil dan kamu ajukan
perkara itu kepada penguasa (hakim) dengan maksud supaya kamu makan sebagian
dari harta orang lain dengan dosa, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 188)
Sabda
Rasulullah s.a.w.:
“Allah
melaknat penyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (Riwayat Ahmad, Tarmizi
dan Ibnu Hibban)
Tsauban
mengatakan:
“Rasulullah
s.a.w. melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap dan yang menjadi
perantara.” (Riwayat Ahmad dan Hakim)
Rasulullah
s.a.w, pernah mengutus Abdullah bin Rawahah ke tempat orang Yahudi untuk
menetapkan jumlah pajak yang harus dibayarnya, kemudian mereka menyodorkan
sejumlah uang. Maka kata Abdullah kepada orang Yahudi itu: “Suap yang kamu
sodorkan kepadaku itu adalah haram. Oleh karena itu kami tidak akan
menerimanya.” (Riwayat Malik).
Apabila
penerima suap itu menerimanya justru untuk suatu tindakan kezaliman, maka berat
sekali dosanya! Dan kalau bertujuan untuk mencari keadilan, maka sudah
seharusnya uang imbalan itu tidak diterimanya.
Tidak
heran kalau Islam mengharamkan suap dan memperkerasnya terhadap siapa saja yang
bersekutu dalam penyuapan ini. Sebab meluasnya penyuapan di masyarakat, akan
menyebabkan meluasnya kerusakan dan kezaliman, misalnya: menetapkan hukum
dengan jalan tidak benar, kebenaran tidak mendapat jaminan hukum, mendahulukan
orang yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan orang yang seharusnya
didahulukan serta akan meluasnya jiwa vested interest di dalam masyarakat yang
tidak berjiwa demi melaksanakan kewajiban.
4.4.2.10.2
Hadiah dari Rakyat Kepada Penguasa
Islam
mengharamkan suap dalam bentuk dan nama apapun. Oleh karena itu dengan dalih
hadiah tidak akan dapat mengeluarkannya dari haram menjadi halal.
Dalam
hadis Nabi dikatakan:
“Barangsiapa
yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan, kemudian kami beri gaji, maka apa
yang diambilnya selebih dari itu berarti suatu penipuan.” (Riwayat Abu Daud)
Umar
bin Abdul Aziz pernah diberi hadiah waktu beliau menjabat sebagai khalifah,
tetapi ditolaknya. Kemudian dikatakanlah kepadanya: “Rasulullah mau menerima hadiah.”
Maka Umar menjawab: “Apa yang diterima Nabi itu memang hadiah, tetapi ini buat
saya sebagai suapan.”
Pernah
juga Rasulullah s.a.w. mengirimkan seorang utusan untuk mengumpulkan zakat dari
kabilah Azdi. Tetapi setelah utusan tersebut menghadap Nabi, sebagian barang
yang dibawanya itu ditahan dan ia mengatakan kepada Nabi: Ini untukmu dan ini
untuk saya, sebagai hadiah.
Mendengar
ucapan itu Nabi marsh sambil berkata: Mengapa tidak saja kamu tinggal di rumah
bersama ayah dan ibumu sehingga hadiahmu itu sampai kepadamu, kalau kamu orang
yang jujur?!
Kemudian
Nabi bersabda pula:
“Mengapa
saya memperkerjakan seorang laki-laki dari antara kamu kemudian ia mengatakan:
ini untukmu dan ini hadiah untukku? Mengapa tidak saja ia tinggal di rumah
ibunya supaya diberi hadiah?! Demi Zat yang diriku dalam kekuasaannya! Salah
seorang di antara kamu tidak akan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak
benar, melainkan dia akan menghadap Allah –kelak di hari kiamat– sambil membawa
benda tersebut. Sungguh salah seorang di antara kamu tidak akan datang nanti di
hari kiamat dengan membawa unta yang melenguh atau sapi yang menguak dan atau
kambing yang mengembik. Kemudian Nabi mengangkat dua tangannya sampai putihnya
kedua ketiaknya nampak, seraya mengatakan: Ya Tuhan, sudahkah saya sampaikan
ini?!” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Imam
Ghazali berkata: “Kalau sudah demikian kerasnya larangan ini, maka sepatutnya
seorang hakim atau penguasa –dan orang-orang yang tergolong hakim atau
penguasa– mengira-ngirakan dirinya sewaktu tinggal bersama ayah dan ibunya.
Kalau dia diberi hadiah sesudah memisahkan diri tetapi waktu itu masih tinggal
bersama ayah dan ibunya, maka boleh diterimanya ketika dia sedang memangku
jabatan. Tetapi kalau dia tahu, bahwa pemberian itu justru karena jabatannya,
maka haram dia menerimanya. Dan hadiah-hadiah kawannya yang masih disangsikan
apakah kalau dia keluar dari jabatan, bahwa mereka itu akan memberinya? Maka
hal ini dipandang sebagai barang syubhat; oleh karena itu jauhilah.”34
4.4.2.10.3
Menyuap Untuk Menghilangkan Kezaliman
Barangsiapa
mempunyai hak yang diabaikan, sedang jalan untuk mendapatkan hak tersebut tidak
dapat, kecuali dengan jalan menyuap; atau ada suatu kezaliman yang tidak dapat
diatasi kecuali dengan menyuap, maka sebaiknya bersabar diri, sehingga Allah
memberikan jalan untuk mengatasi kezaliman atau untuk mendapat hak tersebut.
Kalau
dia melalui jalan menyuap untuk maksud di atas, maka dosanya bagi yang menerima
suap, bukan bagi yang menyuap, selama dia telah mencoba berbagai jalan untuk
mengatasi problema tersebut tetapi tidak juga berhasil; dan selama usaha
mengatasi kezaliman dan mendapatkan hak itu tidak merugikan orang lain.
Sementara
ulama mendasarkan pendiriannya itu dengan beberapa hadis tentang orang-orang
yang minta sadaqah kepada Nabi padahal mereka tidak berhak, tetapi diberinya.
Antara lain hadis yang diriwayatkan Umar Ibnul-Khattab:
“Sesungguhn.ya Rasulullah s.a.w bersabda: sungguhnya
ada salah seorang di antara kamu keluar dari rumahku dengan membawa sadaqah
yang disembunyikan di ketiaknya, padahal sadaqah itu hanya umpan neraka.
Kemudian Umar bertanya: Ya Rasulullah! Mengapa engkau beri padahal engkau tahu,
bahwa sadaqah itu merupakan bara neraka baginya? Maka jawab Nabi: Apa yang
harus saya perbuat sedangkan mereka terus-menerus minta kepadaku dan saya
sendiri dilarang Allah berlaku bakhil.” (Riwayat Abu Ya’la, dan yang seperti
itu diriwayatkan juga oleh Ahmad)
Apabila
keadaan yang mendesak menyebabkan Nabi mau memberi sesuatu kepada peminta
padahal telah diketahui, bahwa barang yang diberikannya itu bara api neraka,
maka bagaimana lagi kalau suatu keperluan yang sangat mendesak demi mengatasi
kezaliman dan mengambil hak yang diabaikan?!
4.4.2.10.4
Berlebih-Lebihan Menggunakan Harta, Hukumnya Haram
Apabila
harta benda orang lain dilindungi dari setiap gangguan yang datangnya dari
luar, baik dengan sembunyi-sembunyi ataupun dengan terang-terangan, maka di
samping itu harta pribadi pun dilindungi dari penggunaan yang sia-sia,
dipergunakan dengan boros atau karena dibangkitkan oleh kanan-kirinya.
Ini
justru disebabkan ummat mempunyai hak terhadap harta milik perseorangan, bahkan
mempunyai hak milik di belakang setiap pemilik. Oleh karena itu Islam menetapkan,
bahwa ummat berhak menahan hak milik orang yang belum mampu mengurus hartanya
yang dimungkinkan akan menghambur-hamburkan hak miliknya itu. Sebab dalam hal
ini ummatlah yang berhak.
Dalam
hal ini al-Quran mengatakan:
“Dan
jangan kamu serahkan kepada orang-orang bodoh harta benda kamu yang telah Allah
jadikan sebagai standard untuk kamu, tetapi berilah mereka makan dengan harta
itu dan berilah mereka pakaian, dan katakanlah kepada mereka dengan omongan
yang baik.” (an-Nisa': 5)
Di
sini Allah menyampaikan perkataanNya: Jangan kamu serahkan kepada orang-orang
bodoh harta benda kamu itu kepada ummat, padahal harta benda tersebut pada
hakikatnya milik orang-orang bodoh itu sendiri.
Akan
tetapi harta milik pribadi, pada hakikatnya milik seluruh ummat. Sebab Islam
adalah agama tengah-tengah dan adil. Sedang ummat Islam adalah ummat penengah
dan adil dalam segala hal. Justru itu Allah melarang ummat Islam
berlebih-lebihan dan boros, sebagaimana halnya mereka dilarang kikir dan pelit.
Firman Allah:
“Hai
anak Adam! Pakailah perhiasanmu di tiap-tiap masjid; dan makanlah dan minumlah
tetapi jangan boros, sebab Allah tidak suka kepada orang-orang yang boros.”
(al-A’raf: 31)
Yang
dimaksud dengan pemborosan di sini hanyalah dalam hal yang sifatnya memang
diharamkan Allah, seperti untuk membeli arak, narkotik, bejana emas, bejana
perak dan sebagainya. Sedikit ataupun banyak uang yang dikeluarkan itu. Atau
uang itu disia-siakan untuk urusan pribadi maupun orang lain. Sebab Rasulullah
s.a.w. melarang mensia-siakan harta. (Riwayat Bukhari).
Atau
dengan memperbesar jumlah pengeluaran untuk keperluan yang tidak dibutuhkan,
sehingga tidak lagi ada sisa untuk mencukupi dirinya.
Imam
ar-Razi berkata dalam menafsirkan firman Allah:
“Mereka
bertanya kepadamu apakah yang harus mereka belanjakan? Maka jawablah: Yaitu
harta yang lebih.” (al-Baqarah: 219)
sebagai
berikut: Sesungguhnya Allah mendidik manusia dalam hal menggunakan uang,
kemudian ia berkata kepada Nabinya sebagai berikut:
“Dan
berikanlah kepada keluargamu haknya, kepada orang-orang miskin, dan kepada
orang yang berkeputusan belanja dalam perjalanan (ibnus sabil), dan jangan
boros, karena sesungguhnya orang-orang yang boros adalah kawan syaitan.”
(al-Isra': 26)
“Dan
jangan kamu letakkan tanganmu terbelenggu di lehermu, tetapi jangan pula kamu
ulurkan sepanjang-panjangnya. (al-isra': 29)
“Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan uangnya tidak boros dan tidak juga
kikir.” (al-Furqan: 67)
Dan
Rasulullah s.a.w. sendiri juga bersabda:
“Kalau
salah seorang di antara kamu mempunyai sesuatu, maka utamakanlah untuk dirinya
sendiri kemudian orang yang menjadi tanggungannya. Begitulah seterusnya!”
(Riwayat Muslim)
Dan
sabdanya pula.
“Sebaik-baik
sadaqah ialah masih meninggalkan sisa.” (Riwayat l-habarani siengan sanad
hasan)
Dan
yang semakna dengan ini terdapat dalam Bukhari.
“Dari
Jabir bin Abdullah, ia berkata: Ketika kami bersama Rasulullah s.a.w.,
tiba-tiba ada seorang laki-laki datang membawa emas sebesar telur. Kemudian ia
berkata kepada Nabi: Ya Rasulullah! Ambillah ini sebagai sedekah, tetapi demi
Allah saya tidak memiliki kecuali ini. Kemudian Rasulullah s.a.w. berpaling,
tetapi ia berikan dari hadapan Nabi. Kemudian Nabi berkata: bawalah kemari,
sambil ia marah dan kemudian diambilnya, kemudian dilemparkan yang sekiranya
kena niscaya akan melukainya. Kemudian ia berkata: salah seorang di antara kamu
datang kepadaku dengan membawa uangnya padahal dia tidak mempunyai kecuali itu,
kemudian ia duduk menanti pemberian orang. Ketahuilah, bahwa sadaqah itu dari
harta kelebihan. Ambillah ini, saya tidak membutuhkannya.” (Riwayat Abu Daud
dan Hakim)
“Dan
dari Nabi s.a.w., bahwa ia pernah menyimpan untuk keluarganya makanan setahun.”
(Riwayat Bukhari)
Dan
berkatalah ahli-ahli hikmah: “Yang baik ialah berada diantara berlebih-lebihan
dan kikir.” Infaq kelewat banyak berarti boros, dan kelewat sedikit berarti
kikir. Sedang tengah-tengah itulah yang baik. Dan inilah yang dimaksud firman
Allah: qulil ‘afwa. Tujuan pokok syariat Muhammad adalah demi memenuhi
panggilan yang lembut ini. Berbeda dengan syariat Yahudi yang dasarnya
pembinaan sangat keras, dan syariat Nashara yang sangat mempermudah. Tetapi
syariat Muhammad sederhana dalam semua hal. Justru itu syariat Muhammad lebih
sempurna dari semuanya.35
4.5
Hubungan antara Ummat Islam dengan Ghairul Islam
Kalau
kita hendak menyimpulkan ajaran-ajaran Islam dalam masalah hubungan dengan
golongan ghairul Islam –tentang soal halal dan haram– cukup kiranya kita
berpangkal kepada dua ayat al-Quran yang tepat untuk dijadikan konstitusi
(dustur) yang menyeluruh dalam permasalahan ini.
Kedua
ayat itu ialah:
“Allah
tidak melarang kamu berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangi kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu dari kampung-kampungmu sebab
Allah senang kepada orang-orang yang adil. Allah hanya melarang kamu bersahabat
dengan orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari
kampung-kampungmu dan saling bantu-membantu untuk mengusir kamu; barangsiapa
bersahabat dengan mereka, maka mereka itu adalah orang-orang zalim.”
(al-Mumtahinah: 8-9)
Ayat
pertama tidak sekedar senang keadilan dan kejujuran terhadap golongan ghairul
Islam yang tidak memerangi ummat Islam dan tidak mengusir mereka, yakni orang-orang
yang tidak menaruh peperangan dan permusuhan terhadap Islam, bahkan ayat
tersebut senang ummat Islam berbuat baik kepada mereka.
Kata-kata
birr (berbuat baik) suatu kata yang mempunyai: pengertian sangat luas, meliputi
semua nilai kebaikan dan pergaulan secara luas, melebihi arti adil biasa.
Kata
ini juga yang dipakai oleh kaum muslimin dalam hubungannya dengan masalah
kewajiban hak-hak kemanusiaan, misalnya birr ul walidain.
Kami
katakan demikian, karena ayat tersebut mengatakan “sesungguhnya Allah suka
kepada orang-orang yang berlaku adil,” sedang orang mu’min senantiasa berusaha
untuk merealisasi apa yang dicintai Allah.
Perkataan:
“Allah tidak melarang kamu,” ini dimaksudkan untuk menghilangkan perasaan,
bahwa orang yang berlainan agama tidak berhak mendapat penghargaan, keadilan,
kasih-sayang dan pergaulan yang baik.
Justru
itu Allah menjelaskan kepada orang-orang mu’min, bahwa ia tidak melarang untuk
mengadakan hubungan yang baik dengan orang-orang yang berlainan agama, bahkan
dengan orang-orang yang memerangi dan mengganggunya sekalipun.
Ungkapan
ini mirip dengan firman Allah yang berkenaan dengan masalah Shafa dan Marwah,
ketika sementara orang berkeberatan melakukan sa’i antara kedua gunung
tersebut, karena ada suatu penyerupaan dengan orang-orang jahiliah yang juga
melakukan demikian.
Untuk
itu maka Allah mengatakan:
“Barangsiapa
haji ke Baitullah atau umrah, maka tidak berdosa atasnya melakukan tawaf pada
keduanya.” (al-Baqarah: 158)
Dengan
dihapusnya dosa, berarti hilanglah perasaan-perasaan yang tidak baik itu,
kendati pada hakikatnya tawaf pada keduanya itu sendiri hukumnya wajib karena
termasuk manasik haji.
4.5.1
Tinjauan Khusus untuk Ahli Kitab
Kalau
Islam tidak melarang mengadakan hubungan baik dan keadilan dengan golongan
ghairul Islam dari agama manapun, kendati dengan penyembah berhala
(watsaniyyin), seperti musyrikin Makkah yang secara khusus Allah telah
menurunkan dua ayat perihal status mereka, maka Islam mempunyai pandangan
khusus terhadap ahli kitab, yaitu: Yahudi dan Nasrani, baik mereka itu berada
di bawah kekuasaan Islam atau di luar kekuasaan Islam.
Al-Quran
tidak memanggil mereka melainkan dengan menggunakan panggilan hai ahli kitab
dan hai orang-orang yang telah diberi kitab. Ini memberi gambaran, bahwa mereka
itu pada mulanya adalah pemeluk agama samawi. Oleh karena itu di antara mereka
dengan kaum muslimin terdapat saling berhubungan dan berkerabat, sebagai satu
manifestasi dari satu agama yang dibawa oleh seluruh Nabi. Firman Allah:
“Allah
telah menerangkan kepadamu dari (urusan) agama apa yang telah diwajibkan kepada
Nuh, dan yang telah kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah kami wajibkan
kepada lbrahim, Musa dan Isa, yaitu hendaknya kamu menegakkan agama dan jangan
bercerai-berai tentang urusan agama.” (as-Syura: 13)
Kaum
muslimin dituntut untuk mempercayai semua kitab Allah dan segenap RasulNya.
Sedang iman mereka hanya dapat dibuktikan dengan kepercayaan ini. Maka
berfirmanlah Allah:
“Katakanlah!
Kami beriman kepada Allah, dan apa-apa yang diturunkan kepada kami, dan apa-apa
yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub dan anak-cucunya, dan apa
yang diberikan kepada Musa dan Isa, dan apa yang diberikan kepada para Nabi
dari Tuhan mereka; kami tidak akan membeda-bedakan di antara seorang pun dari
mereka dan kami tetap menyerah kepadaNya.” (al-Baqarah: 136)
Ahli
kitab kalau mau membaca al-Quran, mereka akan menjumpai beberapa pujian
terhadap kitab mereka, rasul mereka dan nabi-nabi mereka.
Oleh
karena itu, kalau ummat Islam mengadakan perdebatan dengan ahli kitab,
hendaknya selalu dihindari sikap berlebihan yang kadang-kadang dapat memanaskan
hati dan membangkitkan permusuhan. Firman Allah:
“Dan
jangan kamu mengadakan perdebatan dengan ahli kitab melainkan dengan perdebatan
yang kiranya lebih baik, kecuali terhadap orang-orang yang berbuat zalim dari
antara mereka, (Namun begitu) katakanlah: kami beriman kepada kitab yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu
adalah Esa, dan kepadaNya kami menyerah.” (al-Ankabut: 46)
Kita
semua sudah tahu, betapa Islam membenarkan makan makanan dan sembelihan ahli
kitab. Dan begitu juga dibolehkan kita mengadakan hubungan perkawinan denyan
perempuan-perempuan mereka, padahal perkawinan itu sendiri intinya demi
ketenteraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih-sayang (rahmah), Firman
Allah:
“Makanan
orang-orang yang diberi kitab (ahli kitab), halal buat kamu dan makananmu halal
buat mereka, dan begitu juga perempuan mu’min yang terpelihara dan
perempuan-perempuan yang terpelihara dari orang-orang yang telah diberi kitab
sebelum kamu.” (al-Maidah: 5)
Ini,
dalam hubungannya dengan ahli kitab secara umum. Adapun khusus terhadap
orang-orang Nasrani, al-Quran telah meletakkan mereka pada suatu tempat yang
berdekatan sekali dengan orang-orang Islam. Yaitu seperti diterangkan Allah:
“Sungguh kamu akan
menjumpai orang yang paling dekat cintanya kepada orang-orang mu’min, ialah
orang-orang yang mengatakan: kami ini adalah nashara; yang demikian itu
disebabkan di antara mereka ada pendeta-pendeta dan pastor-pastor, dan
sesungguhnya mereka itu tidak sombong.” (al-Maidah: 82)
4.5.2
Ahludz Dzimmah (Orang Kafir yang Berada di Wilayah Pemerintahan Islam)
Ketentuan-ketentuan
tersebut di atas meliputi seluruh ahli kitab di mana saja mereka berada. Tetapi
untuk mereka yang berada di bawah naungan pemerintahan Islam ada satu tempat
khusus. Mereka ini dalam istilah yang dipakai ummat Islam dinamakan Ahludz
Dzimmah.
Dzimmah
itu sendiri artinya: perjanjian.
Kata-kata
ini memberikan suatu isyarat, bahwa mereka itu mendapat perjanjian Allah, Nabi
dan jama’atul muslimin untuk hidup di bawah naungan Islam dengan aman dan
tenteram.
Mereka
ini dalam istilah sekarang disebut Warga Negara dalam suatu negara Islam.
Seluruh
ummat Islam dari dahulu sampai sekarang sudah sepakat, bahwa apa yang
bermanfaat buat mereka bermanfaat juga bagi ummat Islam dan apa yang
membahayakan mereka, berbahaya juga bagi ummat Islam. Kecuali masalah keyakinan
dan urusan agama, maka Islam berlepas diri dari mereka berikut cara-cara
persembahannya.
Rasulullah
s.a.w. memperkeras wasiatnya tentang masalah ahli kitab ini, dengan suatu
ancaman siapa yang menentangnya akan mendapat murka dan siksaan Allah.
Seperti
tersebut dalam salah satu hadisnya yang berbunyi sebagai berikut:
“Barangsiapa
mengganggu seorang kafir dzimmi, maka sungguh ia mengganggu saya, dan
barangsiapa mengganggu saya, maka sungguh ia mengganggu Allah.” (Riwayat
Thabarani)
“Barangsiapa
mengganggu seorang kafir dzimmi, maka saya adalah musuhnya, dan barangsiapa
memusuhi saya, maka akan saya musuhinya nanti di hari kiamat.” (Riwayat
al-Khatib)
“Barangsiapa
berlaku zalim kepada seorang kafir ‘ahdi, atau mengurangi haknya, atau memberi
beban melebihi kemampuannya, atau mengambil sesuatu daripadanya dengan niat
yang tidak baik, maka saya adalah pembelanya nanti di hari kiamat.” (Riwayat
Abu Daud)
Para
khalifah Nabi telah melaksanakan perlindungan hak dan kehormatan ini terhadap
warga negara yang bukan beragama Islam. Dan diperkuat pula oleh para ahli fiqih
dalam berbagai madzhab.
Seorang
ahli fiqih Maliki Syihabuddin al-Qarafi mengatakan: “Perjanjian perlindungan
adalah menentukan hak yang harus kita patuhinya karena sesungguhnya mereka itu
berada di samping kita, dalam perlindungan kita, dalam perjanjian kita, dalam
perjanjian Allah, dalam perjanjian Rasulullah dan dalam perjanjian Islam. Oleh
karena itu barangsiapa mengganggu mereka kendati dengan sepatah kata yang tidak
baik, atau dengan mengumpat yang menodai kehormatan mereka, atau macam gangguan
apapun atau membantu perbuatan tersebut, maka sungguh ia telah mengenyampingkan
perjanjian Allah, perjanjian Rasulullah dan perjanjian Agama Islam.”36
Ibnu
Hazm, salah seorang ahli fiqih Dhahiri mengatakan: “Kalau ada kafir harbi
datang ke negeri kita untuk mengganggu ahludz-dzimmi, maka kita wajib keluar
untuk melawannya dengan memanggul senjata dan bersedia mati demi melindungi
orang yang berada dalam lindungan Allah dan RasulNya. Sebab menyerahkan mereka
ini berarti mengabaikan perjanjian perlindungan.”37
4.5.3
Bersahabat dengan Golongan Ghairul Islam dan Penganutnya
Barangkali
ada perasaan ingin bertanya dan menjadi tutur-kata oleh sementara orang:
bagaimana mungkin dapat diwujudkan suatu kebaikan, kasih-sayang dan pergaulan
yang harmonis dengan golongan ghairul Islam, padahal al-Quran sendiri dengan
tegas melarang berkasih-sayang dan bersahabat dengan orang-orang kafir,
sebagaimana dinyatakan:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani
sebagai ketua, sebagian terhadap sebagiannya. Barangsiapa menjadikan mereka
sebagai ketua, maka dia itu tergolong mereka, sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang zalim. Maka kamu melihat orang-orang yang dalam
hatinya itu ada penyakit, cepat-cepat pergi kepada mereka.” (al-Maidah: 51-52)
Jawabnya:
Bahwa ayat-ayat ini tidak mutlak, tidak mengenai setiap Yahudi dan Nasrani atau
kafir. Kalau difahami demikian, niscaya akan terdapat kontradiksi antara
ayat-ayat tersebut dengan nas-nas lainnya yang mengundang supaya dijalin saling
pengertian dengan baik dengan seluruh pemeluk agama. Ditambah lagi dengan suatu
perkenan kawin dengan ahli kitab dengan penegasan ayat-ayat alQuran yang antara
lain berbunyi sebagai berikut:
“Allah
menjadikan di antara kamu (suami-isteri) cinta dan kasih-sayang.” (ar-Rum: 21)
Dan
khusus tentang Nasrani Allah mengatakan:
“Sungguh
kamu akan menjumpai dari antara orang kafir yang lebih dekat cintanya kepada
orang-orang mu’min, yaitu orang-orang yang mengatakan: kami adalah orang-orang
Nasrani.” (al-Maidah: 83)
Dengan
demikian, maka ayat-ayat al-Maidah: 51-52 di atas ditujukan untuk orang-orang
yang menentang Islam dan yang memerangi kaum muslimin. Oleh karena itu tidak
halal seorang muslim memberi bantuan dan saling bantu-membantu dengan mereka.
Inilah
yang dimaksud dengan muwalat (bersahabat, mengangkat orang kafir sebagai
ketua).
Dan
dilarangnya pula kaum muslimin menjadikan mereka ini sebagai sahabat karib
sehingga dengan mullah mereka dapat mengetahui rahasia-rahasia kita. Dan
menjadikan mereka sebagai kawan yang bertugas sebagai infiltran yang dibiayai
oleh golongan dan agamanya.
Terhadap
mereka ini al-Quran dengan tegas menyatakan:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu menjadikan sahabat karib orang-orang
selain golonganmu, mereka itu tidak mau menolong kamu dari kecelakaan, mereka
itu senang kalau kamu susah; sungguh telah nampak kebencian dari mulut-mulut
mereka, sedang apa yang tersembunyi dalam hati mereka lebih besar. Sungguh kami
telah menerangkan kepadamu ayat-ayat kami kalau kamu mau berfikir. Kamu ini
adalah orang-orang yang kasih kepada mereka, tetapi mereka tidak mau kasih
kepadamu.” (ali-Imran: 118-119)
Ayat
ini menjelaskan kepada kita tentang sifat-sifat mereka kepada kita, bahwa
mereka itu menyembunyikan permusuhan dan kebenciannya kepada kaum muslimin dan
telah dinyatakan dalam lidah mereka. Dan firmanNya pula:
“Engkau
tidak dapati orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu
menunjukkan kecintaannya kepada orang-orang yang menentang Allah dan RasuINya,
sekalipun mereka itu ayah-ayahnya sendiri, anak-anaknya sendiri,
saudara-saudaranya sendiri dan keluarganya sendiri.” (al-Mujadalah: 22)
Orang
yang menentang Allah dan Rasul tidak sekedar karena kufur tetapi justru karena
mereka memusuhi Islam dan kaum muslimin. Dan firman Allah:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu jadikan musuhku dan musuhmu sebagai
ketua, kamu tampakkan kepada mereka rasa cinta, padahal mereka telah kufur
terhadap kebenaran yang datang kepadamu, mereka akan mengusir Rasul dan kamu
juga, lantaran kamu beriman kepada Allah sebagai Tuhanmu.” (al-Mumtahinah: 1)
Ayat
ini diturunkan berkenaan dengan masalah persahabatan dengan orang-orang musyrik
Makkah yang pada waktu itu mereka memerangi Allah dan Rasul, dan mengusir
orang-orang Islam dari Makkah justru karena mereka mengatakan kami beriman
kepada Allah. Orang-orang seperti ini tidak boleh kita ajak bersahabat. Kendatipun
demikian, al-Quran tidak memutus harapan kejernihan mereka, dan tidak pula
mengatakan sikap pesimis. Bahkan al-Quran memberikan suatu harapan kiranya
dapat merombak sikap mereka itu dan menjernihkan hati mereka. Untuk itu dalam
surah itu juga al-Quran mengatakan:
“Barangkali
Allah akan menjadikan antara kamu dan antara orang-orang yang kamu musuhi itu
perasaan cinta, sedang Allah Maha Kuasa, dan Allah pun Maha Pengampun dan
Belas-kasih.” (al-Mumtahinah: 7)
Peringatan
al-Quran ini kiranya cukup dapat melunakkan ketajaman pertentangan dan
berkobarnya api permusuhan. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadis yang
berbunyi sebagai berikut:
“Bencilah
kamu kepada musuhmu itu sekedarnya saja, agar satu saat dia akan mencintaimu.”
(Riwayat Tarmizi dan Baihaqi)38
Lebih
keras lagi haramnya berkawan dengan musuh, apabila mereka itu orang-orang kuat,
optimis dan menakutkan, sehingga karenanya orang-orang munafik dan yang sakit
hati berusaha untuk berkawan dengan mereka dan mengangkatnya sebagai kawan
pelindung untuk memperkuat barisannya, dengan suatu harapan akan sangat berguna
di hari esok, Untuk itulah, maka Allah berfirman:
“Maka
kamu akan melihat orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, pergi dengan cepat-cepat
kepada mereka sambil berkata: kami takut akan mendapat kecelakaan, tetapi
mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu urusan dari
sisiNya, sehingga dengan demikian mereka akan menyesali apa-apa yang mereka
rahasia akan dalam hati-hati mereka itu.” (al-Maidah: 52)
“Beritahulah
orang-orang munafik itu, bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, yaitu
orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai ketua, bukan kepada
orang-orang mu’min. Apakah mereka mengharapkan kejayaan dari sisi mereka?
Sesungguhnya kejayaan adalah milik Allah seluruhnya.” (an-Nisa': 138-139)
4.5.4
Orang Islam Minta Batuan Kepada Ghairul Islam
Tidak
ada salahnya kaum muslimin –baik sebagai pemerintah maupun sebagai rakyat
biasa– minta bantuan kepada golongan ghairul Islam dalam bidang pengetahuan
yang tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan agama (tidak merugikan agama –
peny.), misalnya ilmu kedokteran, perindustrian, pertanian dan lain-lain.
Sekalipun sebaiknya ummat Islam dapat berdiri sendiri dalam hal-hal tersebut.
Dalam
sirah nabawiyah (sejarah perjalanan nabi), bagaimana beliau bisa menggaji
Abdullah bin Uraiqith –padahal dia seorang musyrik– untuk menjadi pemandu dalam
hijrahnya.
Justru
itu para ulama berpendapat: karena kufurnya seseorang tidak berarti samasekali
tidak boleh dipercaya dalam setiap hal. Sebab sedikitpun tidak ada bahayanya
orang kafir menunjukkan jalan. Apalagi seperti jalan hijrah ke Madinah.
Kebanyakan
para ulama membenarkan kepala negara Islam minta bantuan kepada ghairul muslimin
–khususnya ahli kitab– dalam bidang kemiliteran, dan mereka pun harus diberi
ghanimah seperti tentera Islam juga.
Az-Zuhri
meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah minta bantuan kepada orang-orang
Yahudi dalam bidang militer dan memberinya ghanimah. Dan Shafwan bin Umaiyah
pernah berperang bersama Nabi dalam peperangan Hunain, dan tetapi ia menjadi
tentara sekutu Nabi. (Riwayat Said dalam sunannya).
Namun
disyaratkan, orang yang diminta bantuan itu haruslah orang yang beri’tikad baik
terhadap kaum muslimin. Kalau tidak, sudah barang tentu tidak boleh minta
bantuannya. Sebab kalau kita sudah tidak boleh minta bantuan kepada orang Islam
yang tidak dapat dipercaya, misalnya orang yang meninggalkan perang dan suka
menyiarkan berita-berita bohong, apalagi minta bantuan kepada orang kafir yang
bersifat demikian?! (al-Mughni 8:41).
Orang
Islam dibenarkan juga memberi hadiah kepada ghairul Islam dan begitu juga
menerima hadiah dari mereka. Sebab Rasulullah s.a.w. sendiri pernah menerima
hadiah dari raja kafir.39 Bahkan
ahli-ahli hadis mengatakan: hadis-hadis yang menerangkan Nabi pernah menerima
hadiah dari orang kafir itu sangat banyak. Di antaranya hadis yang diriwayatkan
oleh Ummu Salamah, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda kepadanya:
“Sungguh
saya pernah memberi hadiah kepada raja Najasyi sebuah baju dan beberapa uqiyah
dari sutera …” (Riwayat Ahmad dan Thabarani)
Islam
selalu menghargai manusia dari segi kemanusiaannya, bagaimana pula kalau dia
itu ahli kitab atau kafir dzimmi?
Pernah
ada suatu jenazah diusung di hadapan Nabi, kemudian Nabi berdiri. Salah seorang
sahabat ada yang bertanya: Ya Rasulullah! Itu adalah jenazah Yahudi! Jawab
Nabi: Bukankah dia manusia juga?!40Benar!
Karena setiap manusia dalam Islam mendapat tempat dan penghormatan.
4.5.5
Islam Membawa Rahmat untuk Segenap Ummat Manusia Sampai kepada Binatang
Bagaimana
mungkin Islam membenarkan ummatnya untuk berbuat jahat dan menyakiti golongan
ghairul Islam, sedang Islam itu sendiri sudah berwasiat kepada ummatnya untuk
menaruh belas-kasih kepada setiap yang bernyawa, dan melarang berlaku kasar
terhadap binatang.
Islam
telah mendahului mengadakan gerakan kasih kepada binatang 13 abad yang lalu,
sehingga dimasukkan dalam bagian iman dan berlaku kasar kepada binatang sebagai
penyebab masuk neraka.
Rasulullah
s.a.w. pernah menceriterakan kepada para sahabatnya tentang seorang laki-laki yang
menjumpai seekor anjing melolong karena kehausan, kemudian dia melepas kasutnya
dipenuhi air untuk memberi minum anjing tersebut sehingga merasa puas. Kemudian
Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Maka
Allah berterimakasih kepada orang itu (karena pertolongannya) serta
mengampuninya. Lantas para sahabat bertanya: Apakah ada pahalanya lantaran
binatang ya Rasulullah? Jawab Nabi: Dalam tiap hati yang masih basah ada
pahalanya.” (Riwayat Bukhari)
Di
balik lukisan cemerlang yang menyebabkan diperolehnya keampunan Allah ini, maka
Rasulullah melukiskan bentuk lain pula yang menyebabkan murka dan siksaan
Allah. Maka bersabdalah Nabi:
“Seorang
perempuan akan masuk neraka sebab kucing yang ditahannya, tidak diberinya makan
dan tidak dilepaskannya untuk mencari makan dari serangga darat.” (Riwayat
Bukhari)
Begitu
kerasnya masalah kehormatan binatang, sampai-sampai pernah suatu ketika
Rasulullah s.a.w. melihat seekor keledai yang dicap (dicos dengan besi yang
membara) mukanya, kemudian Nabi memarahinya sambil ia bersabda:
“Demi
Allah saya tidak memberi tanda, kecuali pada tempat yang jauh dari mukanya.”
(Riwayat Muslim)
Dalam
hadis lain diceriterakan, bahwa suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah melewati
seekor keledai yang diberi tanda di mukanya. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Apakah
belum sampai kepadamu, bahwa saya melaknat orang yang memberi tanda (dengan
key) pada binatang di mukanya, atau memukul binatang di mukanya?!” (Riwayat Abu
Daud)
Sebelum
ini sudah pernah juga kita tuturkan, bahwa Ibnu Umar pernah menyaksikan
beberapa orang yang menjadikan ayam sebagai sasaran latihan memanah, kemudian
ia berkata:
“Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai
sasaran (memanah).” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Abdullah
bin Abbas juga berkata:
“Rasulullah
s.a.w. melaknat mengadu binatang.” (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
Sedang
yang dimaksud dengan tahrisy (mengadu), yaitu binatang-binatang itu diadu
sampai mati atau hampir mati.
Dan
Ibnu Abbas juga berkata:
“Sesungguhnya
Rasulullah s a w. melarang keras mengkebiri binatang.” (Riwayat Bazzar dengan
sanad sahih)
Begitu
juga al-Quran mengecam perbuatan jahiliah yang membelah telinga binatang.
Dinilainya perbuatan tersebut sebagai bisikan syaitan. (Lihat surah an-Nisa':
119),
Kita
sudah mengetahui dalam pembicaraan tentang masalah penyembelihan, betapa
tekanan Islam agar penyembelihan itu dilakukan dengan memberikan keringanan
pada binatang dengan cara yang semudah-mudahnya, misalnya dengan menajamkan
pisau dan dilakukan pada urat-urat nadi binatang itu. Dan dilarangnya
menyembelih binatang di hadapan binatang lainnya.
Waktu
itu dunia belum mengenal kasih-sayang kepada binatang sejauh ini. Masih di luar
khayal.
Catatan
kaki Bab Keempat
Al-A’raf: 131.
Riwayat Muslim.
Riwayat Bukhari
dan Muslim.
Riwayat Muslim.
Ibnu Taimiyah
berkata dalam “Al-Qawaidun Nuraniyah” sebagai berikut: “prinsip-prinsip Iman
Malik dalam masalah perdagangan lebih baik dari lainnya, sebab ia mengambil
dari Said bin Musaiyib, sebab ia lebih ahli dalam hal perdagangan. (hal. 118);
dan hampir sama dengan Imam Malik ialah Imam Ahmad.”
Harga yang
normal berlaku pada waktu itu (pent.).
Bacalah “Risalah
Hisbah” oleh Ibnu Taimiyah dan “ath-Thuruqui Hakimah” oleh Ibnul Qayim.
Bukhari menyebutkan
hadis tersebut dalam ta’liqnya.
Riwayat Muslim,
Ahmad.
Riwayat Muslim.
Riwayat Abu
Nua’irn dalam Hilyah.
N. Authar 5:
153.
Riwayat Muslim.
Dr. Muhammad Yusuf
Musa dalam risalahnya yang berjudul “Islam wa-musyki lafunal hadhirah” (Islam
dan Masalah kita dewasa ini), menukil pendapat Muhammad Abduh dan Syekh Abdul
Wahab Khallat sebagai mengatakan, bahwa syarat yang diberikan oleh ahli-ahli
fiqih tentang mudharabah ini tidak berlandaskan dalil dari al-Quran maupun
hadis. Dan Dr. M. Yusuf pun condong kepada pendapat dua Syekh tersebut. Tetapi
saya (Al-Qardhawie) berpendapat bahwa hadis yang melarang tentang “muzara’ah”
itu sudah cukup merupakan pokok untuk dijadikan sebagai landasan mengkiaskan
soal mudharabah di sini. Wallahu a’lam.
Lihat al-Mughni,
juz 5 hal:34.
Dan kitab
“Al-Islam wal manahijul Islamiyah” (Islam dan sistem sosialisme) oleh Mohammad
al-Ghazali, hal: 131 cetakan kedua.
Lihat bab
ta’min (asuransi) dalam buku “Al-Islam wamusykilatunal hadhirah” hal. 64 oleh
Dr. Yusuf Musa. Dan “Al-Islam wal manahijul isytirakiyah” (Islam dan
pokok-pokok ajaran sosialisme) oleh Muhammad al-Ghazali, hal. 129 dan dua
artikel dalam Majalah “Nurul Islam” (Cahaya Islam) oleh Syekh Ibrahim al-Jabali
no. 6 dan 7 tahun 1/1349 H. dan Fatwa Syekh Ahmad Ibrahim yang disiarkan oleh
Majalah Mimbar Islam.
Suatu hukum
yang dihapus dan diganti hukum baru. (Pent)
Muhalla 8:
212.
Muhalla 8:
224.
Baca Muhalla
8; al-Qawaidun Nuraniyah oleh Ibnu Taimiyah; Mulkiyatul Ardhi fil Islam, oleh
Al-Maududi; Al-Muslimun (Mesir) th. I oleh Mahmud Abu Su’ud dalam judul
“Istighialul Ardhi fil Islam”.
Risalah “Al-Hisbah
fil Islam” oleh Ibnu Taimiyah, hal 21.
Ath-Thuruqul
Hakimah 248-250.
Riwayat Abdu
bin Humaid dan Tarmizi.
Riwayat Abu
Daud dan Tarmizi.
Lihat di
bab “Assama’ min rubu’il adat.”
Riwayat Bukhari
dan Muslim.
Riwayat Ahmad.
Riwayat Thabarani.
Al-Hujurat: 10
Lihat Ihya’
bab “Afatul lisan” syarah Nawawi dan “Ra’furraibah” oleh Syaukani.
Riwayat Ibnu
Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan al-Baihaqi.
Ihya‘ bab
“Halal wal Haram min rubuil ‘adat”.
Tafsir ar-Razi
6: 51.
Dari Kitabul
Furuq lil Qarafi.
Dari Kitab
Maratibil ijma’ libni Hazm.
Imam Suyuthi
memberikan tanda hadis ini dengan derajat hasan dengan suatu tambahan pada
awalnya yang berbunyi: “Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, agar kebenciannya
kepadamu itu hanya sesaat raja.” Lihat juga Bukhari Adabul Mufrad, Mauquf.
Riwayat Ahmad
dan Tarmizi.
Riwayat Bukhari.
Riwayat Bukhari.
Diposting Oleh : Unknown
Anda sedang membaca artikel tentang Halal dan Haram dalam Islam Bab Keempat. Anda diperbolehkan mengcopy paste isi blog ini, namun jangan lupa untuk mencantumkan link ini sebagai sumbernya. Beritahukan kepada saya jika ada Link yang rusak atau tidak berfungsi. Apabila suka dengan postingan ini silahkan di Like dan Share dengan tidak lupa Komentar dan Masukannya.
0 komentar:
Post a Comment