http://wanskawani.blogspot.com/ | KAWANI MEDIA |
BAB
KETIGA.
GHARIZAH,
PERNIKAHAN DAN KELUARGA
3.1
Lapangan Gharizah
ALLAH menjadikan manusia supaya menjadi khalifah di
permukaan bumi dan mengatur kesejahteraan bumi itu. Tujuan ini tidak akan bisa
tercapai, melainkan apabila jenis manusia ini terus berkembang. Hidupnya
berlangsung terus di permukaan bumi ini
baik dengan
bercocok-tanam, mendirikan perusahaan, pertukangan atau membuat
bangunan-bangunan serta melaksanakan hak-hak Allah yang dibebankan kepadanya.
Dan supaya kesemuanya itu dapat tercapai juga, maka Allah melengkapi tubuh
manusia ini dengan gharizah (instink) dan rangsangan-rangsangan yang dapat
membawa manusia ini dengan seluruh daya kemampuannya
untuk kelangsungan
hidupnya secara pribadi dan kelangsungan jenis.
Di antara sekian banyak gharizah itu ialah makan,
dengan adanya makan ada kenyang, pribadi manusia itu bisa terus hidup. Dan ada
pula gharizah seksual, dimana dengan tersalurnya gharizah ini jenis manusia itu
dapat berlangsung.
Gharizah kedua ini sangat kuat sekali pada tubuh
manusia. Oleh karena itu dia selalu minta tempat penyaluran untuk memenuhi
fungsinya dan memuaskan keinginannya. Untuk itu manusia pasti berhadapan dengan
salah sate posisi sebagai berikut:
1.
Mungkin manusia akan melepaskan kendali seksualnya,
sehingga akan pergi ke mana saja dan berbuat apa saja tanpa batas perisai yang
membendungnya berupa agama, budi ataupun adat.
Situasi ini terjadi di kalangan aliran-aliran yang bebas (free thinker) yang tidak beriman kepada Allah dan nilai-nilai yang luhur. Situasi seperti ini cukup dapat menjatuhkan derajat manusia kepada derajat binatang dan menghancurkan pribadi dan rumahtangga serta masyarakat secara keseluruhan.
Situasi ini terjadi di kalangan aliran-aliran yang bebas (free thinker) yang tidak beriman kepada Allah dan nilai-nilai yang luhur. Situasi seperti ini cukup dapat menjatuhkan derajat manusia kepada derajat binatang dan menghancurkan pribadi dan rumahtangga serta masyarakat secara keseluruhan.
2.
Mungkin juga manusia akan menentang gharizah
seksualnya itu, seperti halnya yang terjadi di kalangan aliran-aliran yang
menganggap hubungan seksual itu suatu perbuatan yang kotor (cemar), melarang
perkawinan dan menganggap celaka kalau kawin, seperti aliran Mano, kependetaan
dan sebagainya.
Pendirian ini berarti suatu penguburan terhadap gharizah dan menghilangkan fungsi gharizah seksual serta meniadakan kebijaksanaan dzat yang menciptakannya serta melawan aturan hidup yang mengatur gharizah ini supaya tersalur sesuai dengan fungsinya.
Pendirian ini berarti suatu penguburan terhadap gharizah dan menghilangkan fungsi gharizah seksual serta meniadakan kebijaksanaan dzat yang menciptakannya serta melawan aturan hidup yang mengatur gharizah ini supaya tersalur sesuai dengan fungsinya.
3.
Mungkin juga manusia akan membuat pembatas yang
beroperasi ke dalam, tanpa menjatuhkan derajat manusia dan tanpa memberikan
kebebasan yang kegila-gilaan itu.
Pendirian ini berlaku di kalangan pemeluk-pemeluk
agama Samawi (agama-agama yang datangnya dari Tuhan) yaitu dengan diharamkannya
pembunuhan dan dianjurkannya kawin. Pendirian ini lebih menonjol lagi terdapat
di dalam ajaran Islam yang mengakui gharizah seksual ini. Untuk itu maka
dipermudah jalan-jalan penyalurannya; di samping Islam melarang hidup membujang
dan menjauhi perempuan. Kemudian dibuatlah aturan-aturan yang melarang
perbuatan zina dengan segala macam manifestasi dan pendahuluannya.
Pendirian inilah yang kiranya sangat adil dan
bijaksana. Sebab andaikata tidak ada anjuran untuk kawin, niscaya gharizah
seksual ini tidak akan dapat memenuhi fungsinya dalam rangka kelangsungan
manusia.
Begitu juga andaikata pembunuhan itu tidak dilarang
dan tidak diharuskannya seorang laki-laki mengadakan hubungan dengan perempuan,
niscaya rumahtangga yang dibina di bawah naungan kehalusan budi yang tumbuh
dari rasa cinta kasih (mawaddah warahmah) itu tidak akan ada. Dan jika
rumahtangga tidak ada, masyarakat pun tidak akan ada; dan niscaya masyarakat
tidak akan menemukan jalan untuk menuju kemajuan dan kesempurnaannya.
3.1.1
Jangan Dekat-dekat pada Zina
Tidak mengherankan kalau seluruh agama Samawi
mengharamkan dan memberantas perzinaan. Terakhir ialah Islam yang dengan keras
melarang perzinaan serta memberikan ultimatum yang sangat tajam. Karena
perzinaan itu dapat mengaburkan masalah keturunan, merusak keturunan,
menghancurkan rumahtangga, meretakkan perhubungan, meluasnya penyakit kelamin,
kejahatan nafsu dan merosotnya akhlak. Oleh karena itu tepatlah apa yang
dikatakan Allah:
“Jangan kamu dekat-dekat pada perzinaan, karena
sesungguhnya dia itu perbuatan yang kotor dan cara yang sangat tidak baik.”
(al-Isra': 32)
Islam, sebagaimana kita maklumi, apabila
mengharamkan sesuatu, maka ditutupnyalah jalan-jalan yang akan membawa kepada
perbuatan haram itu, serta mengharamkan cara apa saja serta seluruh pendahuluannya
yang mungkin dapat membawa kepada perbuatan haram itu.
Justru itu pula, maka apa saja yang dapat
membangkitkan seks dan membuka pintu fitnah baik oleh laki-laki atau perempuan,
serta mendorong orang untuk berbuat yang keji atau paling tidak mendekatkan
perbuatan yang keji itu, atau yang memberikan jalan-jalan untuk berbuat yang
keji, maka Islam melarangnya demi untuk menutup jalan berbuat haram dan menjaga
daripada perbuatan yang merusak.
3.1.2
Pergaulan
Bebas adalah Haram
Di antara jalan-jalan yang diharamkan Islam ialah:
Bersendirian dengan seorang perempuan lain. Yang dimaksud perempuan lain,
yaitu: bukan isteri, bukan salah satu kerabat yang haram dikawin untuk
selama-lamanya, seperti ibu, saudara, bibi dan sebagainya yang insya Allah
nanti akan kami bicarakan selanjutnya.
Ini bukan berarti menghilangkan kepercayaan kedua
belah pihak atau salah satunya, tetapi demi menjaga kedua insan tersebut dari
perasaan-perasaan yang tidak baik yang biasa bergelora dalam hati ketika
bertemunya dua jenis itu, tanpa ada orang ketiganya.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda sebagai berikut:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak
bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan.” (Riwayat Ahmad)
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu
menyendiri dengan seorang perempuan, kecuali bersama mahramnya.”
Imam Qurthubi dalam menafsirkan firman Allah yang
berkenaan dengan isteri-isteri Nabi, yaitu yang tersebut dalam surah al-Ahzab
ayat 53, yang artinya: “Apabila kamu minta sesuatu (makanan) kepada mereka
(isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. Karena yang demikian itu
lebih dapat membersihkan hati-hati kamu dan hati-hati mereka itu,” mengatakan:
maksudnya perasaan-perasaan yang timbul dari orang laki-laki terhadap orang
perempuan, dan perasaan-perasaan perempuan terhadap laki-laki. Yakni cara
seperti itu lebih ampuh untuk meniadakan perasaan-perasaan bimbang dan lebih
dapat menjauhkan dari tuduhan yang bukan-bukan dan lebih positif untuk
melindungi keluarga.
Ini berarti, bahwa manusia tidak boleh percaya pada
diri sendiri dalam hubungannya dengan masalah bersendirian dengan seorang
perempuan yang tidak halal baginya. Oleh karena itu menjauhi hal tersebut akan
lebih baik dan lebih dapat melindungi serta lebih sempurna penjagaannya.
Secara khusus, Rasulullah memperingatkan juga
seorang laki-laki yang bersendirian dengan ipar. Sebab sering terjadi, karena
dianggap sudah terbiasa dan memperingan hal tersebut di kalangan keluarga, maka
kadang-kadang membawa akibat yang tidak baik. Karena bersendirian dengan
keluarga itu bahayanya lebih hebat daripada dengan orang lain, dan fitnah pun
lebih kuat. Sebab memungkinkan dia dapat masuk tempat perempuan tersebut tanpa
ada yang menegur. Berbeda sekali dengan orang lain.
Yang sama dengan ini ialah keluarga perempuan yang
bukan mahramnya seperti kemanakannya baik dari pihak ayah atau ibu. Dia tidak
boleh berkhalwat dengan mereka ini. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai
berikut:
“Hindarilah keluar-masuk rumah seorang perempuan.
Kemudian ada seorang laki-laki dari sahabat Anshar bertanya: Ya Rasulullah!
Bagaimana pendapatmu tentang ipar? Maka jawab Nabi: Bersendirian dengan ipar
itu sama dengan menjumpai mati.” (Riwayat Bukhari)
Yang dimaksud ipar, yaitu keluarga isteri/keluarga
suami. Yakni, bahwa berkhalwat (bersendirian) dengan ipar membawa bahaya dan
kehancuran, yaitu hancurnya agama, karena terjadinya perbuatan maksiat; dan
hancurnya seorang perempuan dengan dicerai oleh suaminya apabila sampai terjadi
cemburu, serta membawa kehancuran hubungan sosial apabila salah satu
keluarganya itu ada yang berburuk sangka kepadanya.
Bahayanya ini bukan hanya sekedar kepada instink
manusia dan perasaan-perasaan yang ditimbulkan saja, tetapi akan mengancam
eksistensi rumahtangga dan kehidupan suami-isteri serta rahasia kedua belah
pihak yang dibawa-bawa oleh lidah-lidah usil atau keinginan-keinginan untuk
merusak rumahtangga orang.
Justru itu pula, Ibnul Atsir dalam menafsirkan perkataan
ipar adalah sama dengan mati itu mengatakan sebagai berikut: Perkataan tersebut
biasa dikatakan oleh orang-orang Arab seperti mengatakan singa itu sama dengan
mati, raja itu sama dengan api, yakni bertemu dengan singa dan raja sama dengan
bertemu mati dan api.
Jadi berkhalwat dengan ipar lebih hebat bahayanya
daripada berkhalwat dengan orang lain. Sebab kemungkinan dia dapat berbuat baik
yang banyak kepada si ipar tersebut dan akhirnya memberatkan kepada suami yang
di luar kemampuan suami, pergaulan yang tidak baik atau lainnya, Sebab seorang
suami tidak merasa kikuk untuk melihat dalamnya ipar dengan keluar-masuk rumah
ipar tersebut.
3.1.3
Melihat
Jenis Lain dengan Bersyahwat
Di antara sesuatu yang diharamkan Islam dalam
hubungannya dengan masalah gharizah, yaitu pandangan seorang laki-laki kepada
perempuan dan seorang,perempuan memandang laki-laki. Mata adalah kuncinya hati,
dan pandangan adalah jalan yang membawa fitnah dan sampai kepada perbuatan
zina. Seperti kata seorang syair kuna:
Semua peristiwa, asalnya karena pandangan
Kebanyakan orang masuk neraka adalah karena dosa
kecil
Permulaannya pandangan, kemudian senyum, lantas beri
salam
Kemudian berbicara, lalu berjanji; dan sesudah itu
bertemu.
Oleh karena itulah Allah menjuruskan perintahnya
kepada orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan supaya menundukkan
pandangannya, diiringi dengan perintah untuk memelihara kemaluannya. Firman
Allah:
“Katakanlah kepada orang-orang mu’min laki-laki:
hendaklah mereka itu menundukkan sebagian pandangannya dan menjaga kemaluannya;
karena yang demikian itu lebih bersih bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha
meneliti terhadap apa-apa yang kamu kerjakan. Dan katakanlah kepada orang-orang
mu’min perempuan: hendaknya mereka itu menundukkan sebagian pandangannya dan
menjaga kemaluannya, dan jangan menampak-nampakkan perhiasannya kecuali apa
yang biasa tampak daripadanya, dan hendaknya mereka itu melabuhkan tudung sampai
ke dadanya, dan jangan menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya atau
kepada ayahnya atau kepada mertuanya atau kepada anak-anak laki-lakinya atau
kepada anak-anak suaminya, atau kepada saudaranya atau anak-anak saudara
laki-lakinya (keponakan) atau anak-anak saudara perempuannya atau kepada sesama
perempuan atau kepada hamba sahayanya atau orang-orang yang mengikut (bujang)
yang tidak mempunyai keinginan, yaitu orang laki-laki atau anak yang tidak suka
memperhatikan aurat perempuan dan jangan memukul-mukulkan kakinya supaya
diketahui apa-apa yang mereka rahasiakan dari perhiasannya.” (an-Nur: 30-31)
Dalam dua ayat ini ada beberapa pengarahan. Dua
diantaranya berlaku untuk laki-laki dan perempuan, yaitu menundukkan pandangan
dan menjaga kemaluan. Sedang yang lain khusus untuk perempuan.
Dan kalau diperhatikan pula, bahwa dua ayat tersebut
memerintahkan menundukkan sebagian pandangan dengan menggunakan min tetapi
dalam hal menjaga kemaluan, Allah tidak mengatakan wa yahfadhu min furujihim
(dan menjaga sebagian kemaluan) seperti halnya dalam menundukkan pandangan yang
dikatakan di situ yaghudh-dhu min absharihim. Ini berarti kemaluan itu harus
dijaga seluruhnya tidak ada apa yang disebut toleransi sedikitpun. Berbeda
dengan masalah pandangan yang Allah masih memberi kelonggaran walaupun sedikit,
guna mengurangi kesulitan dan melindungi kemasalahatan, sebagaimana yang akan
kita ketahui nanti. Dan apa yang dimaksud menundukkan pandangan itu bukan
berarti memejamkan mata dan menundukkan kepala ke tanah. Bukan ini yang
dimaksud dan ini satu hal yang tidak mungkin. Hal ini sama dengan menundukkan
suara seperti yang disebutkan dalam al-Quran dan tundukkanlah sebagian suaramu
(Luqman 19). Di sini tidak berarti kita harus membungkam mulut sehingga tidak berbicara.
Tetapi apa yang dimaksud menundukkan pandangan,
yaitu: menjaga pandangan, tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehingga
dapat menelan perempuan-perempuan atau laki-laki yang beraksi.
Pandangan yang terpelihara, apabila memandang kepada
jenis lain tidak mengamat-amati kecantikannya dan tidak lama menoleh kepadanya
serta tidak melekatkan pandangannya kepada yang dilihatnya itu.
Oleh karena itu pesan Rasulullah kepada Sayyidina
Ali:
“Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu
mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun
yang berikutnya tidak boleh.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)
Rasulullah s.a.w. menganggap pandangan liar dan
menjurus kepada lain jenis, sebagai suatu perbuatan zina mata. Sabda beliau:
“Dua mata itu bisa berzina, dan zinanya ialah
melihat.” (Riwayat Bukhari)
Dinamakannya berzina, karena memandang itu salah
satu bentuk bersenang-senang dan memuaskan gharizah seksual dengan jalan yang
tidak dibenarkan oleh syara’. Penegasan Rasulullah ini ada persamaannya dengan
apa yang tersebut dalam Injil, dimana al-Masih pernah mengatakan sebagai
berikut: Orang-orang sebelummu berkata: “Jangan berzinal” Tetapi aku berkata:
“Barangsiapa melihat dengan dua matanya, maka ia berzina.”
Pandangan yang menggiurkan ini bukan saja
membahayakan kemurnian budi, bahkan akan merusak kestabilan berfikir dan
ketenteraman hati.
Salah seorang penyair mengatakan:
“Apabila engkau melepaskan pandanganmu untuk mencari
kepuasan hati. Pada satu saat pandangan-pandangan itu akan menyusahkanmu jua.
Engkau tidak mampu melihat semua yang kau lihat. Tetapi untuk sebagainya maka
engkau tidak bisa tahan.”
3.1.4
Haram
Melihat Aurat
Di antara yang harus ditundukkannya pandangan, ialah
kepada aurat. Karena Rasulullah s.a.w. telah melarangnya sekalipun antara
laki-laki dengan laki-laki atau antara perempuan dengan perempuan baik dengan
syahwat ataupun tidak.
Sabda Rasulullah s.a.w.:
“Seseorang laki-laki tidak boleh melihat aurat
laki-laki lain, dan begitu juga perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan
lain, dan tidak boleh seorang laki-laki bercampur dengan laki-laki lain dalam
satu pakaian, dan begitu juga perempuan dengan perempuan lain bercampur dalam
satu pakaian.”1 (Riwayat
Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)
Aurat laki-laki yang tidak boleh dilihat oleh
laki-laki lain atau aurat perempuan yang tidak boleh dilihat oleh perempuan
lain, yaitu antara pusar dan lutut, sebagaimana yang diterangkan dalam Hadis
Nabi. Tetapi sementara ulama, seperti Ibnu Hazm dan sebagian ulama Maliki
berpendapat, bahwa paha itu bukan aurat.
Sedang aurat perempuan dalam hubungannya dengan
laki-laki lain ialah seluruh badannya kecuali muka dan dua tapak tangan. Adapun
yang dalam hubungannya dengan mahramnya seperti ayah dan saudara, maka seperti
apa yang akan diterangkan dalam Hadis yang membicarakan masalah menampakkan
perhiasan.
Ada yang tidak boleh dilihat, tidak juga boleh
disentuh, baik dengan anggota-anggota badan yang lain.
Semua aurat yang haram dilihat seperti yang kami
sebutkan di atas, baik dilihat ataupun disentuh, adalah dengan syarat dalam
keadaan normal (tidak terpaksa dan tidak memerlukan). Tetapi jika dalam keadaan
terpaksa seperti untuk mengobati, maka haram tersebut bisa hilang. Tetapi
bolehnya melihat itu dengan syarat tidak akan menimbulkan fitnah dan tidak ada
syahwat. Kalau ada fitnah atau syahwat, maka kebolehan tersebut bisa hilang
juga justru untuk menutup pintu bahaya.
3.1.4.1
Batas
dibolehkannya Melihat Aurat Laki-Laki atau Perempuan
Dan keterangan yang kami sebutkan di atas, jelas
bahwa perempuan melihat laki-laki tidak pada auratnya, yaitu di bagian atas
pusar dan di bawah lutut, hukumnya mubah, selama tidak diikuti dengan syahwat
atau tidak dikawatirkan akan menimbulkan fitnah. Sebab Rasulullah sendiri
pernah memberikan izin kepada Aisyah untuk menyaksikan orang-orang Habasyi yang
sedang mengadakan permainan di masjid Madinah sampai lama sekali sehingga dia
bosan dan pergi.2
Yang seperti ini ialah seorang laki-laki melihat
perempuan tidak kepada auratnya, yaitu di bagian muka dan dua tapak tangan,
hukumnya mubah selama tidak diikuti dengan syahwat atau tidak dikawatirkan
menimbulkan fitnah.
Aisyah meriwayatkan, bahwa saudaranya yaitu Asma’
binti Abubakar pernah masuk di rumah Nabi dengan berpakaian jarang sehingga
tampak kulitnya. Kemudian beliau berpaling dan mengatakan:
“Hai Asma’! Sesungguhnya seorang perempuan apabila
sudah datang waktu haidh, tidak patut diperlihatkan tubuhnya itu, melainkan ini
dan ini — sambil ia menunjuk muka dan dua tapak tangannya.” (Riwayat Abu Daud)
Dalam hadis ini ada kelemahan, tetapi diperkuat
dengan hadis-hadis lain yang membolehkan melihat muka dan dua tapak tangan
ketika diyakinkan tidak akan membawa fitnah.
Ringkasnya, bahwa melihat biasa bukan kepada aurat
baik terhadap laki-laki atau perempuan, selama tidak berulang dan menjurus yang
pada umumnya untuk kemesraan dan tidak membawa fitnah, hukumnya tetap halal.
Salah satu kelapangan Islam, yaitu: Dia membolehkan
melihat yang sifatnya mendadak pada bagian yang seharusnya tidak boleh, seperti
tersebut dalam riwayat di bawah ini:
“Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: Saya bertanya
kepada Rasulullah s.a. w. tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi:
Palingkanlah pandanganmu itu!” (Riwayat Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tarmizi) —
yakni: Jangan kamu ulangi melihat untuk kedua kalinya.
3.1.4.2
Perhiasan
Perempuan yang Boleh Tampak dan yang Tidak Boleh
Ini ada hubungannya dengan masalah menundukkan
pandangan yang oleh dua ayat di surah an-Nur 30-31, Allah perintahkan kepada
laki-laki dan perempuan.
Adapun yang khusus buat orang perempuan dalam ayat
kedua (ayat 31) yaitu:
1. a) Firman Allah:
“Janganlah orang-orang perempuan menampakkan
perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak daripadanya.”
Yang dimaksud perhiasan perempuan, yaitu apa saja
yang dipakai berhias dan untuk mempercantik tubuh, baik berbentuk ciptaan asli
seperti wajah, rambut dan potongan tubuh, ataupun buatan seperti pakaian,
perhiasan, make-up dan sebagainya.
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada
orang-orang perempuan supaya menyembunyikan perhiasan tersebut dan melarang
untuk dinampak-nampakkan. Allah tidak memberikan pengecualian, melainkan apa
yang bisa tampak. Oleh karena itu para ulama kemudian berbeda pendapat tentang
arti apa yang biasa tampak itu dan ukurannya. Apakah artinya: apa yang tampak
karena terpaksa tanpa disengaja, misalnya terbuka karena ditiup angin; ataukah
apa yang biasa tampak dan memang dia itu asalnya tampak?
Kebanyakan ulama salaf berpendapat menurut arti
kedua, Misalnya Ibnu Abbas, ia berkata dalam menafsirkan apa yang tampak itu
ialah: celak dan cincin.
Yang berpendapat seperti ini ialah sahabat Anas.
Sedang bolehnya dilihat celak dan cincin, berarti boleh dilihatnya kedua
tempatnya, yaitu muka dan kedua tapak tangan. Demikianlah apa yang ditegaskan
oleh Said bin Jubair, ‘Atha’, Auza’i dan lain-lain.
Sedang Aisyah, Qatadah dan lain-lain menisbatkan dua
gelang termasuk perhiasan yang boleh dilihat. Dengan demikian, maka sebagian
lengan ada yang dikecualikan. Tetapi tentang batasnya dari pergelangan sampai
siku, masih diperselisihkan.
Di samping satu kelonggaran ini, ada juga yang
mempersempit, misalnya: Abdullah bin Mas’ud dan Nakha’i. Kedua beliau ini
menafsirkan perhiasan yang boleh tampak, yaitu selendang dan pakaian yang biasa
tampak, yang tidak mungkin disembunyikan.
Tetapi pendapat yang kami anggap lebih kuat (rajih),
yaitu dibatasinya pengertian apa yang tampak itu pada wajah dan dua tapak
tangan serta perhiasan yang biasa tampak dengan tidak ada maksud kesombongan
dan berlebih-lebihan, seperti celak di mata dan cincin pada tangan. Begitulah
seperti apa yang ditegaskan oleh sekelompok sahabat dan tabi’in.3
Ini tidak sama dengan make-up dan cat-cat yang biasa
dipakai oleh perempuan-perempuan zaman sekarang untuk mengecat pipi dan bibir
serta kuku. Make-up ini semua termasuk berlebih-lebihan yang sangat tidak baik,
yang tidak boleh dipakai kecuali di dalam rumah. Sebab perempuan-perempuan
sekarang memakai itu semua di luar rumah, adalah untuk menarik perhatian
laki-laki. Jadi jelas hukumnya adalah haram.
Sedang penafsiran apa yang tampak dengan pakaian dan
selendang yang biasa di luar, tidak dapat diterima. Sebab itu termasuk hal yang
lumrah (tabi’i) yang tidak bisa dibayangkan untuk dilarangnya sehingga perlu
dikecualikan. Termasuk juga terbukanya perhiasan karena angin dan sebagainya
yang boleh dianggap darurat. Sebab dalam keadaan darurat, bukan suatu yang
dibuat-buat. Jadi baik dikecualikan ataupun tidak, sama saja. Sedang yang cepat
diterima akal apa yang dimaksud istimewa (pengecualian) adalah suatu rukhsah
(keringanan) dan justru untuk mengentengkan kepada perempuan dalam menampakkan
sesuatu yang mungkin disembunyikan; dan ma’qul sekali (bisa diterima akal)
kalau dia itu adalah muka dan dua tapak tangan.
Adanya kelonggaran pada muka dan dua taak tangan,
adalah justru menutupi kedua anggota badan tersebut termasuk suatu hal yang
cukup memberatkan perempuan, lebih-lebih kalau mereka perlu bepergian atau
keluar yang sangat menghajatkan, misalnya dia orang yang tidak mampu. Dia perlu
usaha untuk mencari nafkah buat anak anaknya, atau dia harus membantu suaminya.
Mengharuskan perempuan supaya memakai cadar dan menutup kedua tangannya adalah
termasuk menyakitkan dan menyusahkan perempuan.
Imam Qurthubi berkata: “Kalau menurut ghalibnya muka
dan dua tapak tangan itu dinampakkan, baik menurut adat ataupun dalam ibadat,
seperti waktu sembahyang dan haji, maka layak kiranya kalau pengecualian itu
kembalinya kepada kedua anggota tersebut. Dalil yang kuat untuk pentafsiran ini
ialah hadis riwayat Abu Daud dari jalan Aisyah r.a., bahwa Asma’ binti Abubakar
pernah masuk ke rumah Nabi s.a.w. dengan berpakaian tipis, kemudian Nabi
memalingkan mukanya sambil ia berkata: “Hai Asma’! Sesungguhnya perempuan
apabila sudah datang waktu haidhnya (sudah baligh) tidak patut dinampakkan
badannya, kecuali ini dan ini — sambil ia menunjuk muka dan dua tapak
tangannya.”
Sedang firman Allah yang mengatakan: “Katakanlah
kepada orang-orang mu’min laki-laki supaya menundukkan pandangan” itu
memberikan suatu isyarat, bahwa muka perempuan itu tidak tertutup. Seandainya
seluruh tubuh perempuan itu tertutup termasuk mukanya, niscaya tidak ada
perintah menundukkan sebagian pandangan, sebab di situ tidak ada yang perlu
dilihat sehingga memerlukan menundukkan pandangan.
Namun, kiranya sesempurna mungkin seorang muslimah
harus bersungguh-sungguh untuk menyembunyikan perhiasannya, termasuk wajahnya
itu sendiri kalau mungkin, demi menjaga meluasnya kerusakan dan banyaknya
kefasikan di zaman kita sekarang ini. Lebih-lebih kalau perempuan tersebut
mempunyai paras yang cantik yang sangat dikawatirkan akan menimbulkan fitnah.
1.
b)
Firman Allah:
“Hendaknya mereka itu melabuhkan kudungnya sampai ke
dadanya.” (an-Nur: 31)
Pengertian khumur (kudung), yaitu semua alat yang
dapat dipakai untuk menutup kepala. Sedang apa yang disebut juyub kata jama’
(bentuk plural) dari kata jaibun, yaitu belahan dada yang terbuka, tidak
tertutup oleh pakaian/baju.
Setiap perempuan muslimah harus menutup kepalanya
dengan kudung dan menutup belahan dadanya itu dengan apapun yang memungkinkan,
termasuk juga lehernya, sehingga sedikitpun tempat-tempat yang membawa fitnah
ini tidak terbuka yang memungkinkan dilihat oleh orang-orang yang suka beraksi
dan iseng.
1. c) Firman Allah:
“Dan hendaknya mereka itu tidak menampak-nampakkan
perhiasannya terhadap suami atau ayahnya.” (an-Nur: 31)
Pengarahan ini tertuju kepada perempuan-perempuan
mu’minah, dimana mereka dilarang keras membuka atau menampakkan perhiasannya
yang seharusnya disembunyikan, misalnya: perhiasan telinga (anting-anting),
perhiasan rambut (tusuk); perhiasan leher (kalung), perhiasan dada (belahan
dadanya) dan perhiasan kaki (betis dan gelang kaki). Semuanya ini tidak boleh
dinampakkan kepada laki-laki lain. Mereka hanya boleh melihat muka dan kedua
tapak tangan yang memang ada rukhsah untuk dinampakkan.
Larangan
ini dikecualikan untuk 12 orang:
1.
Suami. Yakni si suami boleh melihat isterinya apapun
ia suka. Ini ditegaskan juga oleh hadis Nabi yang mengatakan:
“Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isterimu.”
2.
Ayah. Termasuk juga datuk, baik dari pihak ayah
ataupun ibu.
3.
Ayah mertua. Karena mereka ini sudah dianggap
sebagai ayah sendiri dalam hubungannya dengan isteri
4.
Anak-anak laki-lakinya. Termasuk juga cucu, baik
dari anak laki-laki ataupun dari anak perempuan.
5.
Anak-anaknya suami. Karena ada suatu keharusan untuk
bergaul dengan mereka itu, ditambah lagi, bahwa si isteri waktu itu sudah
menduduki sebagai ibu bagi anak-anak tersebut.4
6.
Saudara laki-laki, baik sekandung, sebapa atau
seibu.
7.
Keponakan. Karena mereka ini selamanya tidak boleh
dikawin.
8.
Sesama perempuan, baik yang ada kaitannya dengan
nasab ataupun orang lain yang seagama. Sebab perempuan kafir tidak boleh
melihat perhiasan perempuan muslimah, kecuali perhiasan yang boleh dilihat oleh
laki-laki. Demikianlah menurut pendapat yang rajih.
9.
Hamba sahaya. Sebab mereka ini oleh Islam dianggap
sebagai anggota keluarga. Tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat: Khusus
buat hamba perempuan (amah), bukan hamba laki-laki.
10.
Keponakan dari saudara perempuan. Karena mereka ini
haram dikawin untuk selamanya.
11.
Bujang/orang-orang yang ikut serumah yang tidak ada
rasa bersyahwat. Mereka ini ialah buruh atau orang-orang yang ikut perempuan
tersebut yang sudah tidak bersyahwat lagi karena masalah kondisi badan ataupun
rasio. Jadi yang terpenting di sini ialah: adanya dua sifat, yaitu mengikut dan
tidak bersyahwat.
12.
Anak-anak kecil yang tidak mungkin bersyahwat ketika
melihat aurat perempuan. Mereka ini ialah anak-anak yang masih belum merasa
bersyahwat. Kalau kita perhatikan dari kalimat ini, anak-anak yang sudah
bergelora syahwatnya, maka orang perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya
kepada mereka, sekalipun anak-anak tersebut masih belum baligh.
Dalam ayat ini tidak disebut-sebut masalah paman,
baik dari pihak ayah (‘aam) atau dari pihak ibu (khal), karena mereka ini
sekedudukan dengan ayah, seperti yang diterangkan dalam hadis Nabi:
“Pamannya seseorang adalah seperti ayahnya sendiri.”
(Riwayat Muslim)
3.1.4.3
Aurat
Perempuan
Dari uraian terdahulu, kita tahu bahwa semua bagian
tubuh yang tidak boleh dinampakkan, adalah aurat. Oleh karena itu dia harus
menutupinya dan haram dibuka.
Aurat perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki
lain atau perempuan yang tidak seagama, yaitu seluruh badannya, kecuali muka
dan dua tapak tangan. Demikian menurut pendapat yang kami anggap lebih kuat.
Karena dibolehkannya membuka kedua anggota tersebut –seperti kata ar-Razi–
adalah karena ada suatu kepentingan untuk bekerja, mengambil dan memberi. Oleh
karena itu orang perempuan diperintah untuk menutupi anggota yang tidak harus
dibuka dan diberi rukhsah untuk membuka anggota yang biasa terbuka dan
mengharuskan dibuka, justru syariat Islam adalah suatu syariat yang toleran. Ar-Razi
selanjutnya berkata:
“Oleh karena
membuka muka dan kedua tapak tangan itu hampir suatu keharusan, maka tidak
salah kalau para ulama juga bersepakat, bahwa kedua anggota tersebut bukan
aurat.”
Adapun kaki, karena terbukanya itu bukan suatu keharusan,
maka tidak salah juga kalau mereka itu berbeda pendapat (ikhtilaf), apakah dia
itu termasuk aurat atau tidak?5
Sedang aurat orang perempuan dalam hubungannya
dengan duabelas orang seperti yang disebut dalam ayat an-Nur itu, terbatas pada
perhiasan (zinah) yang tidak tersembunyi, yaitu telinga, leher, rambut, dada,
tangan dan betis. Menampakkan anggota-anggota ini kepada duabelas orang
tersebut diperkenankan oleh Islam. Selain itu misalnya punggung, kemaluan dan
paha tidak boleh diperlihatkan baik kepada perempuan atau laki-laki kecuali
terhadap suami.
Pemahaman terhadap ayat ini lebih mendekati kepada
kebenaran daripada pendapat sementara ulama yang mengatakan, bahwa aurat
perempuan dalam hubungannya dengan mahram hanyalah antara pusar dan lutut.
Begitu juga dalam hubungannya dengan sesama perempuan. Bahkan apa yang dimaksud
oleh ayat tersebut yang kiranya lebih mendekati kepada pendapat sebagian ulama,
yaitu: “Bahwa aurat perempuan terhadap mahramnya ialah anggota yang tidak
tampak ketika melayani. Sedang apa yang biasa tampak ketika bekerja di rumah,
mahram-mahram itu boleh melihatnya.”
Justru itu Allah memerintahkan kepada
perempuan-perempuan mu’minah hendaknya mereka itu memakai jilbab ketika keluar
rumah, supaya berbeda dengan perempuan-perempuan kafir dan perempuan-perempuan
lacur. Untuk itu pula Allah perintahkan kepada Nabi-Nya supaya menyampaikan
pengumuman Allah ini kepada ummatnya; yang berbunyi sebagai berikut:
“Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min semua hendaklah mereka
menghulurkan jilbab-jilbab mereka atas (muka-muka) mereka. Yang demikian itu
lebih mendekati mereka untuk dikenal supaya mereka tidak diganggu.” (al-Ahzab:
59)
Jilbab, yaitu pakaian yang lebarnya semacam baju
kurung untuk dipakai perempuan guna menutupi badannya.
Sebagian perempuan jahiliah apabila keluar rumah,
mereka menampakkan sebagian kecantikannya, misalnya dada, leher dan rambut,
sehingga mereka ini diganggu oleh laki-laki fasik dan yang suka iseng, kemudian
turunlah ayat di atas yang memerintahkan kepada orang-orang perempuan mu’minah
untuk menghulurkan jilbabnya itu sehingga sedikitpun bagian-bagian tubuhnya
yang biasa membawa fitnah itu tidak tampak. Dengan demikian secara lahiriah
mereka itu dikenal sebagai wanita yang terpelihara (afifah) yang tidak mungkin
diganggu oleh orang-orang yang suka iseng atau orang-orang munafik.
Jadi jelasnya, bahwa ayat tersebut memberikan illah
(alasan) perintahnya itu karena kawatir perempuan-perempuan muslimah itu
diganggu oleh orang-orang fasik dan menjadi perhatian orang-orang yang suka
iseng. Bukan ketakutan yang timbul dari perempuan itu sendiri atau karena tidak
percaya kepada mereka, sebagaimana anggapan sementara orang, sebab perempuan
yang suka menampakkan perhiasannya, yang berjalan dengan penuh bergaya (in
action) dan bicaranya dibuat-buat, sering membuat perhatian orang laki-laki dan
membikin sasaran orang-orang yang suka iseng.
Ini cocok dengan firman Allah yang mengatakan:
“Janganlah perempuan-perempuan itu berlaku lemah
dengan perkataannya, sebab akan menaruh harapan orang yang dalam hatinya ada
penyakit.” (al-Ahzab: 32)
Islam memperkeras persoalan menutup aurat dan
menjaga perempuan muslimah. Hanya sedikit sekali perempuan diberinya rukhsah
(keringanan), misalnya perempuan-perempuan yang sudah tua. Firman Allah:
“Dan perempuan-perempuan yang sudah putus haidhnya
dan tidak ada harapan untuk kawin lagi, maka tidak berdosa baginya untuk
melepas pakaiannya, asalkan tidak menampak-nampakkan perhiasannya. Tetapi kalau
mereka menjaga diri akan lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar dan
Maha Mengetahui.” (an-Nur: 60)
Yang dimaksud al-qawa’id (perempuan-perempuan yang
duduk), yaitu perempuan-perempuan yang sudah tidak haidh dan tidak beranak lagi
karena sudah tua. Justru itu mereka sudah tidak ada keinginan untuk kawin dan
sudah tidak suka kepada laki-laki, begitu juga laki-laki itu sendiri sudah
tidak suka kepada mereka.
Untuk mereka ini, Allah memberikan kelonggaran dan
tidak menganggap suatu perbuatan dosa, jika mereka itu menanggalkan sebagian
pakaian luar yang biasa tampak, seperti baju kurung, kebaya, kudung dan
sebagainya.
Al-Quran memberikan batas rukhsah ini dengan kata:
tidak menampak-nampakkan perhiasannya, yakni tidak bermaksud menanggalkan
pakaiannya itu untuk menunjuk-nunjukkan. Akan tetapi kelonggaran ini diberikan
jika memang mereka itu memerlukan.
Berdasar rukhsah ini, maka kiranya yang lebih afdhal
dan lebih baik hendaknya mereka tetap menjaga diri dengan selalu mengenakan
pakaian-pakaian tersebut, untuk mencari kesempurnaan dan supaya terhindar dari
segala syubhat. Karena itu Allah mengatakan dan kalau mereka itu menjaga diri
adalah lebih baik bagi mereka.
3.1.5
Perempuan
Masuk Pemandian
Demi perhatian Islam terhadap masalah pemeliharaan
aurat, maka Rasulullah s.a.w. melarang perempuan-perempuan masuk pemandian umum
dan telanjang di hadapan perempuan-perempuan lain yang memungkinkan sifat-sifat
badannya itu akan menjadi pembicaraan dalam majlis-majlis dan oleh mulut-mulut
yang usil.
Begitu juga Rasulullah s.a.w. melarang laki-laki
masuk pemandian kecuali dengan memakai kain yang dapat menutupi badannya dari
pandangan mata orang lain. Sebagaimana tersebut dalam riwayat di bawah ini:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka jangan masuk pemandian kecuali dengan memakai kain. Dan barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan memasukkan (membiarkan masuk)
isterinya ke pemandian.” (Riwayat Nasa’i Tarmizi ia hasankan; dan Hakim ia
berkata: hadis ini diriwayatkan dengan rawi-rawi Muslim) – lihat Targhib.
“Dari Aisyah r.a., ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. melarang
perempuan-perempuan masuk pemandian, kemudian ia membolehkan laki-laki masuk
pemandian dengan memakai kain.” (Riwayat Abu Daud — dan ia tidak melemahkan dan
lafaz ini terdapat dalam sunannya — juga diriwayatkan oleh Tarmizi dan Ibnu
Majah, dan dalam sanadnya ada seorang yang tidak terkenal) – lihat Targhib.
Dikecualikan perempuan yang masuk pemandian guna
berobat karena sakit yang dideritanya atau karena nifas dan sebagainya. Karena
ada suatu riwayat dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah
mengatakan perihal pemandian sebagai berikut:
“Janganlah seorang laki-laki masuk pemandian kecuali
dengan memakai kain, dan hendaklah mereka itu melarang perempuan-perempuan
masuk pemandian kecuali karena sakit atau nifas.” (Riwayat Ibnu Majah, Abu Daud
– tetapi dalam sanadnya ada seorang yang bernama Abdurrahman bin Ziadah bin
An’am al-Afriqi)
Dalam hadis ini ada sedikit kelemahan, tetapi
berdasar kaidah-kaidah syara’ sehubungan dengan masalah rukhshah untuk orang
yang sakit dan demi memudahkan mereka untuk beribadah dan menunaikan
kewajiban-kewajiban, maka semua itu dapat memperkuat dan menunjang hadis
tersebut. Diperkuat juga dengan kaidah yang sudah masyhur, bahwa sesuatu yang
diharamkan karena membendung bahaya, bisa menjadi mubah justru ada kepentingan
yang sangat dan demi kemaslahatan.
Dan dikuatkan juga oleh hadis riwayat Ibnu Abbas
yang menerangkan, bahwa Rasuluilah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
“Berhati-hatilah kamu terhadap rumah yang disebut
pemandian. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah! Sesungguhnya dia itu dapat
menghilangkan kotoran dan berguna bagi orang yang sakit. Maka jawab Nabi:
(Bolehlah kamu masuk) tetapi barangsiapa yang masuk hendaknya memakai tutup.”
(Riwayat Hakim dan ia berkata: Sahih dengan sanad Muslim)
Oleh karena itu kalau seorang perempuan masuk
pemandian tanpa ada uzur yang mengharuskan, maka berarti dia telah berbuat yang
haram dan akan mendapat ancaman Rasulullah s.a.w. Dalam Hadisnya yang
diriwayatkan dari jalan Abu Malik al-Hudzali, bahwa beberapa orang perempuan
dari Himasha atau dari Syam masuk ke rumah Aisyah kemudian ia berkata: Apakah
kamu ini perempuan-perempuan yang memasukkan anak-anak perempuanmu ke
pemandian? Sungguh aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tidak seorang pun perempuan yang melepas pakaiannya
bukan di rumah suaminya, melainkan dia merobek tabir antara dia dengan
Tuhannya.” (Riwayat Tarmizi – dan lafaz ini baginya, dan ia berkata: hadis ini
hasan. Juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan Hakim; dan ia berkata: rawi-rawinya
adalah rawi-rawi Bukhari dan Muslim) – lihat Targhib.
“Dari Ummu Salamah, sesungguhnya Rasulullah s.a.w.
bersabda: Siapapun perempuan yang melepas pakaiannya bukan di rumahnya sendiri,
maka Allah akan merobek daripadanya tabirnya.” (Riwayat Ahmad, Abu Ya’Ia,
Thabarani dan Hakim) – lihat Targhib.
Kalau demikian kerasnya Islam dalam persoalan
perempuan yang masuk pemandian, yaitu sebuah bangunan yang berdinding empat
yang hanya dimasuki orang-orang perempuan, maka bagaimana lagi hukumnya
orang-orang perempuan cabul yang mau menampakkan auratnya di hadapan laki-laki
yang suka iseng dan ditampakkan tubuhnya itu di pinggir laut yang menjadi
sasaran semua mata yang sedang lapar dan membangkitkan gharizah yang
menggelora?
Dan kalau perempuan-perempuan tersebut telah
merobek-robek dinding antara dia dan Tuhannya, maka suami-suaminya yang
membiarkan mereka ini bersekutu dalam dosa, karena mereka adalah yang
tertanggungjawab kalau benar-benar mereka mengetahuinya.
3.1.6
Menampak-nampakkan
Perhiasan adalah Haram
Seorang muslimah mempunyai budi yang dapat
membedakan dari perempuan kafir atau perempuan jahiliah. Budi perempuan
muslimah ialah pandai menjaga diri, tunduk, terhormat dan pemalu.
Berbeda dengan perempuan jahiliah, moralnya senang
menunjuk-nunjukkan perhiasannya (tabarruj) dan suka menarik laki-laki.
Arti tabarruj yang sebenarnya ialah: membuka dan
menampakkan sesuatu untuk dilihat mata. Mahligai disebut buruj seperti ayat
yang mengatakan burujim musyyadah, tempat perjalanan bintang juga disebut
buruj, karena tingginya dan tampak jelas oleh orang-orang yang melihatnya.
Zamakhsyari berkata: “Bahwa tabarruj itu ialah
memaksa diri untuk membuka sesuatu yang seharusnya disembunyikan.” Seperti kata
orang Arab: safinatun barij (perahu yang tidak pakai atap).
Namun tabarruj dalam ayat di atas adalah khusus
untuk perempuan terhadap laki-laki lain, yaitu mereka nampakkan perhiasannya
dan kecantikannya.
Dalam mengertikan tabarruj ini, Zamakhsyari
menggunakan unsur baru, yaitu: takalluf (memaksa) dan qashad (sengaja) untuk
menampakkan sesuatu perhiasan yang seharusnya disembunyikan. Sesuatu yang harus
disembunyikan itu ada kalanya suatu tempat di badan, atau gerakan anggota, atau
cara berkata dan berjalan, atau perhiasan yang biasa dipakai berhias oleh
orang-orang perempuan dan lainlain.
Tabarruj ini mempunyai bentuk dan corak yang
bermacam-macam yang sudah dikenal oleh orang-orang banyak sejak zaman dahulu
sampai sekarang.
Ahli-ahli tafsir dalam menafsirkan ayat yang
mengatakan:
“Dan tinggallah kamu (hai isteri-isteri Nabi) di
rumah-rumah kamu dan jangan kamu menampak-nampakkan perhiasanmu seperti orang
jahiliah dahulu.” (Ahzab: 33)
sebagai berikut:
· Yujahid
berkata: Perempuan ke luar dan berjalan di hadapan laki-laki.
· Qatadah
berkata: Perempuan yang cara berjalannya dibikin-bikin dan menunjuk-nunjukkan.
· Muqatil
berkata: Yang dimaksud tabarruj, yaitu melepas kudung dari kepala dan tidak
diikatnya, sehingga kalung, kriul dan lehernya tampak semua.
Cara-cara di atas adalah macam-macam daripada
tabarruj di zaman jahiliah dahulu, yaitu: bercampur bebas dengan laki-laki,
berjalan dengan melenggang, kudung dan sebagainya tetapi dengan suatu mode yang
dapat tampak keelokan tubuh dan perhiasannya.
Jahiliah pada zaman kita sekarang ini ada beberapa
bentuk dan macam tabarruj yang kalau diukur dengan tabarruj jahiliah, maka
tabarruj jahiliah itu masih dianggap sebagai suatu macam pemeliharaan
3.1.7
Beberapa
Hal yang Dapat Mengeluarkan Perempuan dari Batas Tabarruj
Yang mengeluarkan seorang perempuan muslimah dari
batas tabarruj yang selanjutnya disebut kesopanan Islam, yaitu hendaknya dia
dapat menepati hal-hal sebagai berikut:
1.
a) Ghadh-dhul Bashar (menundukkan pandangan), sebab
perhiasan perempuan yang termahal ialah malu, sedang bentuk malu yang lebih
tegas ialah: menundukkan pandangan, seperti yang difirmankan Allah: “Katakanlah
kepada orang-orang mu’min perempuan hendaklah mereka itu menundukkan sebagian
pandangannya.”
2.
b) Tidak bergaul bebas sehingga terjadi persentuhan
antara laki-laki dengan perempuan, seperti yang biasa terjadi di gedung-gedung
bioskop, ruangan-ruangan kuliah, perguruan-perguruan tinggi,
kendaraan-kendaraan umum dan sebagainya di zaman kita sekarang ini. Sebab
Ma’qil bin Yasar meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai
berikut:
“Sungguh kepala salah seorang di antara kamu ditusuk
dengan jarum dari besi, lebih baik daripada dia menyentuh seorang perempuan
yang tidak halal baginya.” (Riwayat Thabarani, Baihaqi, dan rawi-rawinya
Thabarani adalah kepercayaan)
1.
Pakaiannya harus selaras dengan tata kesopanan
Islam. Sedang pakaian menurut tata kesopanan Islam, yaitu terdapatnya
sifat-sifat sebagai berikut:
2.
Harus menutup semua badan, selain yang memang telah
dikecualikan oleh al-Quran dalam firmannya:
“Apa-apa yang biasa tampak” yang menurut pendapat
yang lebih kuat, yaitu muka dan dua tapak tangan.
Tidak tipis dan tidak membentuk badan sehingga
tampak kulit. Sebab sesuai apa yang dikatakan Nabi:
“Sesungguhnya termasuk ahli neraka, yaitu
perempuan-perempuan berpakaian tetapi telanjang, yang condong kepada maksiat
dan menarik orang lain untuk berbuat maksiat. Mereka ini tidak akan masuk sorga
dan tidak akan mencium baunya.” (Riwayat Muslim)
Maksud berpakaian tetapi telanjang, yaitu: pakaian
mereka itu tidak berfungsi menutup aurat, sehingga dapat mensifati kulit yang
di bawahnya justru karena tipis dan sempitnya pakaian itu. Beberapa orang
perempuan dari Bani Tamim masuk rumah Aisyah, dengan berpakaian yang sangat
tipis, kemudian Aisyah berkata: “Kalau kamu sebagai orang mu’min, maka bukan
ini macamnya pakaian orang-orang perempuan mu’min itu.” (Riwayat Thabarani dan
lain-lain). Ada pula seorang perempuan yang baru saja menjadi pengantin, dia
memakai kudung yang sangat tipis sekali, maka kata Aisyah kepadanya: “Perempuan
yang memakai kudung seperti ini berarti tidak beriman dengan surah an-Nur.”
3.
Tidak memperhatikan batas-batas anggota tubuh dan
menampakkan bagian-bagian yang cukup menimbulkan fitnah, sekalipun tipis,
seperti pakaian yang dianggap mode kebudayaan tubuh dan syahwat (atau dengan
kata lain pakaian kebudayaan barat) yang oleh ahli mode dijadikan perlombaan
dalam memotong pakaian yang membentuk tetek yang bulat, pinggang, punggung dan
sebagainya. Suatu mode yang cukup dapat membangkitkan syahwat. Sedang yang
memakainya itu sendiri seperti berpakaian tetapi telanjang. Ini cukup lebih
menarik dan menimbulkan fitnah, daripada pakaian yang sekedar tipis.
4.
Bukan pakaian spesialis yang dipakai oleh orang
laki-laki seperti celana di zaman kita sekarang ini. Sebab Rasulullah s.a.w.
pernah melaknat perempuan-perempuan yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki
yang menyerupai perempuan. Begitu juga Rasulullah s.a.w. pernah melarang
perempuan memakai pakaian laki-laki dan laki-laki memakai pakaian perempuan.
5.
Bukan pakaian spesialis yang dipakai oleh
orang-orang kafir seperti Yahudi, Kristen dan penyembah-penyembah berhala.
Sebab menyamai mereka itu dilarang dalam Islam, supaya ummatnya ini baik yang
laki-laki ataupun perempuan mempunyai ciri-ciri tersendiri baik dalam hal-hal
yang tampak maupun yang tersembunyi. Justru itu Rasulullah s.a.w. memerintahkan
supaya ummat Islam berbeda dengan orang kafir dalam beberapa hal. Sabda beliau:
“Barangsiapa menyerupai sesuatu kaum, maka dia itu
dari golongan mereka.” (Riwayat Thabarani)
Khusyu’ dan bersahaja, baik dalam cara berjalannya
maupun berbicaranya; dan supaya menjauhkan gerak-gerak yang tidak baik pada
tubuh maupun wajahnya. Sebab gerakan-gerakan yang dibuat-buat adalah termasuk
perbuatan perempuan-perempuan lacur, bukan budi perempuan muslimah. Oleh karena
itu Allah berfirman:
“Janganlah perempuan-perempuan melembikkan
perkataannya, sebab orang-orang yang hatinya ada penyakit akan menaruh
perhatian.” (al-Ahzab: 32)
6.
Tidak bermaksud untuk menarik perhatian orang
laki-laki supaya mereka mengetahui apa yang disembunyikan baik dengan bau-bauan
ataupun dengan bunyi-bunyian. Untuk itu Allah berfirman:
“Janganlah perempuan-perempuan itu memukul-mukulkan
kakinya di tanah supaya diketahui apa yang mereka sembunyikan dari perhiasan
mereka.” (an-Nur: 31)
Perempuan-perempuan jahiliah dahulu kalau berjalan
di hadapan laki-laki, mereka pukul-pukulkan kakinya supaya terdengar suara
gelang kakinya. Untuk itu maka al-Quran melarangnya, karena hal tersebut dapat
membangkitkan khayal laki-laki yang bergelora syahwatnya, dan cukup menunjukkan
niat jahatnya perempuan-perempuan supaya diperhatikan oleh laki-laki. Yang sama
dalam hal ini ialah perempuan yang suka memakai aneka macam wangi-wangian yang
cukup dapat membangkitkan syahwat dan menarik perhatian laki-laki. Maka
bersabdalah Nabi:
“Perempuan apabila memakai wangi-wangian, kemudian
berjalan melalui suatu majlis (laki-laki), maka berarti dia itu begini -yakni:
perempuan lacur.” (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan ia berkata: hasan sahih. Yang
semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban
dan al-Hakim)
Dari keterangan-keterangan di atas dapat kita
ketahui, bahwa Islam tidak mengharuskan seorang perempuan muslimah –seperti
yang biasa dituduhkan— selamanya dipenjara dalam rumah, tidak boleh keluar
kecuali ke kubur (sampai mati). Tetapi Islam membolehkan seorang perempuan
muslimah keluar rumah untuk pergi bersembahyang, mencari ilmu, melaksanakan
keperluannya dan setiap tujuan agama atau duniawi yang dibenarkan, seperti yang
biasa dilakukan oleh isteri-isteri sahabat dan berikutnya, padahal mereka itu sebaik-baik
kurun (abad).
Di antara mereka ada yang keluar ikut dalam
peperangan bersama Rasulullah, dengan para khulafa’ dan panglima-panglima
perang lainnya. Bahkan Rasulullah s.a.w. sendiri pernah berkata kepada salah
seorang isterinya, yaitu Saudah sebagai berikut:
“Sungguh Allah telah mengizinkan kamu keluar rumah
untuk urusan-urusanmu.” (Riwayat Bukhari)
Dan sabdanya pula:
“Apabila salah seorang isterimu minta izin untuk
pergi ke masjid, maka jangan halang-halangi dia.” (Riwayat Bukhari)
Dan dalam hadisnya yang lain pula, ia bersabda:
“Jangan kamu halang-halangi hamba Allah yang
perempuan itu untuk pergi ke masjid-masjid Allah.” (Riwayat Muslim)
Sebagian ulama yang ekstrimis menganggap, bahwa
perempuan samasekali tidak boleh melihat anggota laki-laki yang manapun. Mereka
membawakan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah,
bahwa Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah yang
waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya. Nabi bersabda: “pakailah tabir”. Kemudian
kedua isteri Nabi itu berkata: “Dia (Ibnu Ummi Maktum) itu buta!” Maka jawab
Nabi: “Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua melihatnya?”
Tetapi dari kalangan ahli tahqiq (orang-orang yang
ahli dalam penyelidikannya terhadap suatu hadis/pendapat) mengatakan: hadis ini
tidak sah menurut ahli-ahli hadis, karena Nabhan yang meriwayatkan Hadis ini
salah seorang yang omongannya tidak dapat diterima.
Kalau ditakdirkan hadis ini sahih, adalah suatu
sikap kerasnya Nabi kepada isteri-isterinya karena kemuliaan mereka,
sebagaimana beliau bersikap keras dalam persoalan hijab. Seperti apa yang
diisyaratkan oleh Abu Daud dan lain-lain:
Dengan demikian tinggal satu hadis sahih yang
berbunyi sebagai berikut:
“Rasulullah s.a.w. pernah menyuruh Fatimah binti
Qais supaya menghabiskan iddahnya di rumah Ummu Syarik. Tetapi kemudian
menyusuli perkataan: Dia (Ummu Syarik) adalah seorang perempuan yang disibukkan
oleh urusan sahabat-sahabatku, justru itu beriddah sajalah kamu di rumah Ibnu
Ummi Maktum karena dia itu seorang laki-laki buta, kamu lepas pakaianmu tetapi
dia tidak melihatmu.” (Tafsir Qurthubi, juz 1-2:228)
3.1.8
Isteri
yang Melayani Tamu-Tamu Suaminya
Dan lebih tegas lagi, bahwa seorang isteri boleh
melayani tamu-tamu suaminya di hadapan suami, asal dia melakukan tata kesopanan
Islam, baik dalam segi berpakaiannya, berhiasnya, berbicaranya dan berjalannya.
Sebab secara wajar mereka ingin melihat dia dan dia pun ingin melihat mereka.
Oleh karena itu tidak berdosa untuk berbuat seperti itu apabila diyakinkan
tidak terjadi fitnah suatu apapun baik dari pihak isteri maupun dari pihak
tamu.
Sahal bin Saad al-Anshari berkata sebagai berikut:
“Ketika Abu Asid as-Saidi menjadi pengantin, dia
mengundang Nabi dan sahabat-sahabatnya, sedang tidak ada yang membuat makanan
dan yang menghidangkannya kepada mereka itu kecuali isterinya sendiri, dia
menghancurkan (menumbuk) korma dalam suatu tempat yang dibuat dari batu sejak
malam hari. Maka setelah Rasulullah s.a. w. selesai makan, dia sendiri yang
berkemas dan memberinya minum dan menyerahkan minuman itu kepada Nabi.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini, Syaikhul Islam Ibnu Hajar
berpendapat: “Seorang perempuan boleh melayani suaminya sendiri bersama orang
laki-laki yang diundangnya …” Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa hal ini
apabila aman dari segala fitnah serta dijaganya hal-hal yang wajib, seperti
hijab. Begitu juga sebaliknya, seorang suami boleh melayani isterinya dan
perempuan-perempuan yang diundang oleh isterinya itu.
Dan apabila seorang perempuan itu tidak menjaga
kewajiban-kewajibannya, misalnya soal hijab, seperti kebanyakan perempuan
dewasa ini, maka tampaknya seorang perempuan kepada laki-laki lain menjadi
haram.
3.1.9
Hubungan
Kelamin yang Tidak Normal adalah Berdosa Besar
Tinggal satu yang perlu kita ketahui, khususnya
tentang masalah penyaluran gharizah (seksual) dalam hukum Islam.
Sebagaimana Islam mengharamkan perbuatan zina dan
seluruh jalan yang membawa kepada perbuatan tersebut, maka begitu juga Islam
mengharamkan hubungan seks yang tidak normal yang sekarang ini dikenal dengan
liwath (homoseks).
Perbuatan ini bertentangan dengan fitrah manusia,
melemparkan kotoran ke dalam jiwa, merusak sifat kelaki-lakian dan merampas
hak-hak perempuan.
Tersebarnya kotoran ini dalam suatu masyarakat, berarti
akan hancurlah eksistensi masyarakat itu dan akan menjadikan masyarakat
tersebut diperhamba oleh kotoran serta lupa terhadap etika, setiap bentuk
kebaikan dan perasaan.
Kiranya cukup bagi kita apa yang dikatakan al-Quran
tentang kisahnya kaum Nabi Luth yang bergelimang dalam kemungkaran ini. Mereka
tinggalkan isteri-isterinya yang baik dan halal itu, justru untuk menuruti
syahwat yang haram ini. Untuk itulah maka Nabi Luth mengatakan kepada mereka:
“Apakah patut kamu datangi orang-orang laki-laki dan
kamu tinggalkan isteri-isteri kamu yang justru dijadikan oleh Tuhanmu untuk
kamu? Bahkan kamu adalah kaum melewati batas.” (as-Syu’ara': 165-166)
Al-Quran menentang mereka ini melalui lidah Luth,
dengan menganggapnya sebagai perbuatan yang memusuhi, kebodohan,
berlebih-lebihan, merusak dan dosa.
Salah satu daripada keganjilan yang menunjukkan
rusaknya fitrah mereka, hilangnya kesadaran mereka, jatuhnya martabat mereka
dan rusaknya perasaan mereka; yaitu sikapnya kepada para tamu Nabi Luth yang
pada hakikatnya mereka itu adalah malaikat yang membawa siksa yang diutus Allah
dalam bentuk manusia untuk menguji dan mencatat sikap mereka itu. Al-Quran
mengisahkan peristiwa itu sebagai berikut:
“Dan tatkala utusan-utusan kami datang kepada Nabi
Luth, mereka merasa tidak senang dan sempit dada terhadap mereka itu, dan ia
berkata: Ini satu hari yang payah. Dan datanglah kaumnya kepadanya dengan
cepat-cepat, sedang mereka sudah biasa mengerjakan kejahatan, maka ia (Luth)
berkata: Hai kaumku! Anak-anak perempuanku ini lebih bersih buat kamu, oleh
karena itu takutlah kepada Allah dan jangan kamu menyusahkan aku terhadap
tamuku ini; tidakkah ada di antara kamu ini orang yang sangat cerdik?” (Hud:
77-78)
“Mereka kemudian menjawab: Sungguh engkau sudah
tahu, bahwa kami samasekali tidak ada keinginan terhadap anak-anak perempuanmu;
dan kamu tahu apa yang kami maksud”. Luth kemudian menjawab: “Alangkah baiknya
kalau saya mempunyai kekuatan atau saya bisa berlindung kepada satu tiang yang
kuat!” Para utusan itu kemudian berkata: “Hai Luth! Sesungguhnya kami ini
adalah utusan Tuhanmu, mereka tidak akan bisa sampai kepadamu.” (Hud: 79-81)
Ahli-ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukuman
orang yang berbuat kemungkaran ini: Apakah harus dihukum seperti hukuman
berzina? Ataukah kedua belah pihak harus dibunuh? Dan kalau dibunuh dengan apa
mereka itu dibunuh? Apakah dengan pedang, ataukah dibakar? Ataukah dijatuhkan
dari atas dinding yang tinggi?
Ketegasan yang kadang-kadang nampaknya seperti keras
ini, hanya dimaksudkan demi membersihkan masyarakat Islam dari dosa yang
berbahaya dan merusak yang hanya akan melahirkan kerusakan dan keonaran belaka.
3.2.10.2
Hikmah Dibolehkannya Poligami
Islam adalah hukum Allah yang terakhir yang dibawa
oleh Nabi yang terakhir pula. Oleh karena itu layak kalau ia datang dengan
membawa undang-undang yang komplit, abadi dan universal. Berlaku untuk semua
daerah, semua masa dan semua manusia.
Islam tidak membuat hukum yang hanya berlaku untuk
orang kota dan melupakan orang desa, untuk daerah dingin dan melupakan daerah
panas, untuk satu masa tertentu dan melupakan masa-masa lainnya serta generasi
mendatang.
Islam telah menentukan keperluan perorangan dan
masyarakat, dan menentukan ukuran kepentingan dan kemaslahatan manusia
seluruhnya. Di antara manusia ada yang ingin mendapat keturunan tetapi sayang
isterinya mandul atau sakit sehingga tidak mempunyai anak. Bukankah suatu
kehormatan bagi si isteri dan keutamaan bagi si suami kalau dia kawin lagi
dengan seorang wanita tanpa mencerai isteri pertama dengan memenuhi hak-haknya?
Sementara ada juga laki-laki yang mempunyai nafsu
seks yang luarbiasa, tetapi isterinya hanya dingin saja atau sakit, atau masa
haidhnya itu terlalu panjang dan sebagainya, sedang si laki-laki tidak dapat
menahan nafsunya lebih banyak seperti orang perempuan. Apakah dalam situasi
seperti itu si laki-laki tersebut tidak boleh kawin dengan perempuan lain yang
halal sebagai tempat mencari kawan tidur?
Dan ada kalanya jumlah wanita lebih banyak daripada
jumlah laki-laki, lebih-lebih karena akibat dari peperangan yang hanya diikuti
oleh laki-laki dan pemuda-pemuda. Maka di sini poligami merupakan suatu
kemaslahatan buat masyarakat dan perempuan itu sendiri, sehingga dengan
demikian mereka akan merupakan manusia yang bergharizah yang tidak hidup
sepanjang umur berdiam di rumah, tidak kawin dan tidak dapat melaksanakan hidup
berumahtangga yang di dalamnya terdapat suatu ketenteraman, kecintaan,
perlindungan, nikmatnya sebagai ibu dan keibuan sesuai pula dengan panggilan
fitrah.
Ada tiga kemungkinan yang bakal terjadi sebagai
akibat banyaknya laki-laki yang mampu kawin, yaitu:
1. Mungkin
orang-orang perempuan itu akan hidup sepanjang umur dalam kepahitan hidup.
2. Mungkin
mereka akan melepaskan kendalinya dengan menggunakan obat-obat dan alat-alat
kontrasepsi untuk dapat bermain-main dengan laki-laki yang haram.
3. Atau
mungkin mereka mau dikawini oleh laki-laki yang sudah beristeri yang kiranya
mampu memberi nafkah dan dapat bergaul dengan baik.
Tidak diragukan lagi, bahwa kemungkinan ketiga
adalah satu-satunya jalan yang paling bijaksana dan obat mujarrab. Dan inilah
hukum yang dipakai oleh Islam, sedang “Siapakah hukumnya yang lebih baik selain
hukum Allah untuk orang-orang yang mau beriman?” (al-Maidah: 50)
Inilah sistem poligami yang banyak ditentang oleh
orang-orang Kristen Barat yang dijadikan alat untuk menyerang kaum Muslimin, di
mana mereka sendiri membenarkan laki-lakinya untuk bermain dengan
perempuan-perempuan cabul, tanpa suatu ikatan dan perhitungan, betapapun tidak
dibenarkan oleh undang-undang dan moral. Poligami liar dan tidak bermoral ini
akan menimbulkan perempuan dan keluarga yang liar dan tidak bermoral juga.
Kalau begitu manakah dua golongan tersebut yang lebih kukuh dan lebih baik?
3.2.11
Hubungan Suami-Isteri
Al-QURAN menganggap penting untuk menampilkan
masalah tujuan kejiwaan dari perkawinan, dan tujuan itu justru dijadikan
standar membina kehidupan berumahtangga. Tujuan ini untuk melukiskan
ketenteraman nafsu seksual dengan memperoleh keragaman cinta antara
suami-isteri, memperluas dunia kasih-sayang antara dua keluarga, lebih
meratanya perasaan cinta kasih yang meliputi kedua orang tua sarnpai kepada
anak-anak.
Inilah arti yang terkandung dalam firman Allah yang
mengatakan:
“Di antara tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran
Allah, yaitu Ia menjadikan untuk kamu jodoh-jodoh dari diri-diri kamu sendiri
supaya kamu menjadi tenteram dengan jodoh itu, dan Ia menjadikan antara kamu
cinta dan kasih-sayang, sesungguhnya yang demikian itu sungguh sebagai bukti-bukti
bagi orang yang mau berfikir.” (ar-Rum: 21)
3.2.12
Jalinan Perasaan Antara Suami-Isteri
Tetapi al-Ouran juga tidak melupakan segi perasaan
dan hubungan badaniah antara suami-isteri. Untuk itu maka al-Quran memberikan
bimbingan ke arah yang lebih lurus yang dapat menyalurkan kepentingan naluri
dan menghindari yang tidak diinginkan.
Dalam riwayat diceriterakan, bahwa orang-orang
Yahudi dan Majusi terlalu berlebih-lebihan dalam menjauhi isterinya ketika
datang bulan; kebalikan dari orang-orang Nasrani, yang menyetubuhi isterinya
ketika datang bulan. Mereka samasekali tidak menghiraukan masalah datang bulan
itu. Dan orang-orang jahiliah samasekali tidak mau makan, minum, duduk-duduk
dan tinggal serumah dengan isterinya yang kebetulan datang bulan, seperti yang
dikerjakan oleh orang Yahudi dan Majusi.
Justru itu sementara orang-orang Islam bertanya
kepada Nabi, apa yang sebenarnya dihalalkan dan apa pula yang diharamkan buat
mereka, ketika isterinya itu datang bulan. Maka turunlah ayat yang berbunyi:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haidh,
maka jawablah: bahwa dia itu berbahaya. Oleh karena itu jauhilah perempuan
ketika haidh, dan jangan kamu dekati mereka sehingga mereka suci, dan apabila
sudah suci, maka bolehlah kamu hampiri mereka itu sebagaimana Allah perintahkan
kepadamu, sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang taubat dan
orang-orang yang bersih.” (al-Baqarah: 222)
Sementara orang Arab ada yang memahami arti menjauhi
perempuan ketika haidh itu berarti tidak boleh tinggal bersama mereka, justru
itu Nabi Muhammad s.a.w. kemudian menjelaskan kepada mereka maksud daripada
ayat tersebut, dengan sabdanya sebagai berikut.
“Saya hanya perintahkan kepadamu supaya kamu tidak
menyetubuhi mereka ketika mereka itu dalam keadaan haidh; dan saya tidak
menyuruh kamu untuk mengusir mereka dari rumah seperti yang dilakukan oleh
orang ajam. Ketika orang-orang Yahudi mendengar penjelasan ini, kemudian mereka
berkata: si laki-laki ini (Nabi Muhammad) bermaksud tidak akan membiarkan
sedikitpun dari urusan kita, melainkan ia selalu menyalahinya.”14
Dengan demikian tidak salah seorang muslim
bersenang-senang dengan isterinya ketika dalam keadaan haidh, asalkan menjauhi tempat
yang berbahaya itu.
Di sini Islam tetap berdiri –sebagaimana statusnya
semula– yaitu penengah antara dua golongan yang ekstrimis, di satu pihak sangat
ekstrim dalam menjauhi perempuan yang sedang datang bulan sampai harus
mengusirnya dari rumah; sedang di pihak lain memberikan kebebasan sampai kepada
menyetubuhinya pun tidak salah.
Ilmu kesehatan modern telah menyingkapkan, bahwa
darah haidh (menstrubatio) satu peristiwa pancaran zat-zat racun yang
membahayakan tubuh apabila zat itu masih melekat pada badan.
Ilmu pengetahuan itu telah menyingkap juga rahasia
dilarangnya menyetubuhi perempuan ketika haidh. Sebab kalau anggota kelamin itu
dalam keadaan tertahan sedang urat-urat dalam keadaan terganggu karena
mengalirnya kelenjar-kelenjar dalam, maka waktu persetubuhan (coitus) sangat
membahayakan kelenjar-kelenjar tersebut, bahkan kadang-kadang dapat menahan
melelehnya darah haidh. Dan ini banyak sekali membawa kegoncangan urat saraf
dan kadang-kadang bisa menjadi sebab peradangan pada alat kelamin itu.15
3.2.13
Jangan Bersetubuh di Dubur
Dalam hubungannya dengan masalah persetubuhan, Allah
s.w.t. menurunkan ayat yang berbunyi sebagai berikut:
“Isteri-isteri kamu bagaikan ladang buat kamu, oleh
karena itu datangilah ladangmu itu sesukamu, dan sediakanlah untuk diri-diri
kamu, dan takutlah kepada Allah, dan ketahuilah sesungguhnya kamu akan bertemu
Allah, dan gembirakanlah (Muhammad) orang-orang mu’min.” (al-Baqarah: 223)
Turunnya ayat ini mengandung sebab dan hikmah yang
besar sebagaimana yang disebutkan oleh seorang ulama India Waliullah
ad-Dahlawy: “Orang Yahudi mempersempit gaya persetubuhan tanpa dasar hukum
syara’, sedang orang-orang Anshar dan berikutnya mengikuti cara-cara mereka
itu. Mereka berpendapat: bahwa apabila seorang laki-laki menyetubuhi isterinya
pada farjinya dari belakang, maka anaknya akan lahir juling. Kemudian turunlah
ayat ini: maka datangilah ladangmu itu sesukamu, yakni dari jalan depan maupun
dari belakang selama diarahkan untuk satu tujuan, yaitu kemaluan atau farji.
Hal ini dipandang tidak apa-apa, karena ada hubungannya dengan masalah
kepentingan kebudayaan dan kecenderungan. Sedang setiap orang tahu kemaslahatan
pribadinya. Oleh karena cara-cara Yahudi di atas hanya sekedar bikin-bikinan
mereka, maka patutlah kalau dihapuskan.”16
Bukan menjadi tugas agama memberi batas kepada
seorang laki-laki tentang gaya dan cara bersetubuh. Agama hanya mementingkan
supaya si suami selalu takut kepada Allah, dan supaya dia tahu bahwa dia akan
bertemu Allah. Untuk itu jauhilah dubur, sebab dubur adalah tempat yang
membahayakan dan kotor. Menyetubuhi isteri pada dubur dapat dipersamakan dengan
liwath (homoseks). Justru itu sudah seharusnya agama melarangnya. Untuk itu
pula Rasulullah s.a.w, pernah bersabda:
“Jangan Kamu setubuhi isterimu di duburnya.”
(Riwayat Ahmad, Tarmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Dan tentang masalah menyetubuhi isteri di duburnya
ini, beliau mengatakan juga:
“Bahwa dia itu termasuk liwath yang kecil.” (Riwayat
Ahmad dan Nasa’i)
Ada seorang perempuan Anshar bertanya kepada Nabi
tentang menyetubuhi perempuan di farjinya tetapi lewat belakang, maka Nabi
membacakan ayat:
“Isteri-isterimu adalah ladang buat kamu, karena itu
datangilah ladangmu itu sesukamu.” (al-Baqarah: 223) — (Riwayat Ahmad)
Umar pernah juga bertanya kepada Nabi:
“Ya Rasulullah! Celaka aku. Nabi bertanya: apa yang
mencelakakan kamu? Ia menjawab: tadi malam saya memutar kakiku –satu sindiran
tentang bersetubuh dari belakang– maka Nabi tidak menjawab, hingga turun ayat
(al-Baqarah: 223) lantas beliau berkata kepada Umar: boleh kamu bersetubuh dari
depan dan boleh juga dari belakang, tetapi hindari di waktu haidh dan dubur.”
(Riwayat Ahmad dan Tarmizi)
3.2.14
Menjaga Rahasia Isteri
Al-Quran memuji perempuan-perempuan shalihah dengan
firmannya sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan yang shalihah itu ialah
perempuan-perempuan yang taat yang memelihara (perkara-perkara) yang
tersembunyi dengan cara yang dipeliharakan Allah.” (an-Nisa': 34)
Di antara sekian banyak perkara yang tersembunyi
yang harus dipelihara oleh suami-isteri ialah tentang masalah persetubuhan.
Suami-isteri dilarang menceriterakan kepada rekan-rekannya dalam
pertemuan-pertemuan.
Dalam salah satu hadisnya Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya di antara sejelek-jelek manusia dalam
pandangan Allah nanti di hari kiamat, ialah seorang laki-laki yang menyetubuhi
isterinya dan isteripun melakukan persetubuhan, kemudian dia menyiar-nyiarkan
rahasianya.” (Riwayat Muslim dan Abu Daud)
“Dari Abu Hurairah, ia berkata: Nabi s.a.w. pernah
sembahyang bersama kami, setelah salam beliau menghadapkan mukanya ke hadapan
kami, kemudian bersabda: berhati-hatilah terhadap majlis-majlis kamu! Apakah di
antara kamu ada seorang laki-laki yang menyetubuhi isterinya dengan menutup
pintu dan melabuhkan korden, kemudian dia keluar dan berceritera, bahwa aku
telah berbuat dengan isteriku begini dan begini?
Kemudian mereka pada diam semua … Lantas ia
menghadap kepada perempuan-perempuan dan menanyakan: apakah di antara kamu ada
yang bercerita begitu? Tiba-tiba ada seorang gadis memukul-mukul salah satu
tulang lututnya sampai lama sekali supaya diperhatikan oleh Nabi dan supaya
beliau mendengarkan omongannya. Si gadis itu berkata: Demi Allah kaum laki-laki
berceritera dan perempuan perempuan juga berceritera! Lantas Nabi bertanya:
tahukah kamu seperti apa yang mereka lakukan itu? Sesungguhnya orang yang
berbuat demikian tak ubahnya dengan syaitan laki-laki dan syaitan perempuan
satu sama lain saling bertemu di jalan kemudian melakukan persetubuhan, sedang
orang lain banyak yang melihatnya.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Bazzar)
Kiranya perbandingan ini cukup menjauhkan seorang
muslim dari berbuat yang sebodoh itu yang tidak bernilai. Seorang muslim
kiranya tidak suka kalau dirinya menjadi syaitan atau sama dengan syaitan.
3.2.15
Keluarga Berencana
Tidak syak lagi, bahwa tujuan pokok perkawinan ialah
demi kelangsungan jenis manusia. Sedang kelangsungan jenis manusia ini hanya
mungkin dengan berlangsungnya keturunan. Islam sendiri sangat suka terhadap
banyaknya keturunan dan memberkati setiap anak, baik laki-laki ataupun
perempuan. Namun di balik itu Islam juga memberi perkenan (rukhshah) kepada
setiap muslim untuk mengatur keturunannya itu apabila didorong oleh alasan yang
kuat.
Cara yang masyhur yang biasa dilakukan oleh orang di
zaman Nabi untuk menyetop kehamilan atau memperkecil, yaitu azl (mengeluarkan
mani di luar rahim ketika terasa akan keluar).
Para sahabat banyak yang melakukan azl ketika Nabi
masih hidup dan wahyupun masih terus turun, yaitu seperti yang tersebut dalam
riwayat di bawah ini:
“Dari Jabir r.a. ia berkata: kami biasa melakukan
azl di masa Nabi s.a. w. sedang al-Ouran masih terus turun.” (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
Di riwayat lain ia berkata:
“Kami biasa melakukan azl di zaman Nabi s.a.w. maka
setelah hal demikian itu sampai kepada Nabi, beliau tidak melarang kami.”
(Riwayat Muslim)
Diriwayatkan juga, bahwa ada seorang laki-laki
datang kepada Nabi lantas ia berkata:
“Ya Rasulullah! Sesungguhnya saya mempunyai seorang
hamba perempuan (jariyah) dan saya melakukan azl daripadanya, karena saya tidak
suka kalau dia hamil dan saya ingin seperti apa yang biasa diinginkan oleh
umumnya orang laki-laki, sedang orang-orang Yahudi berceritera: bahwa azl itu
sama dengan pembunuhan yang kecil. Maka bersabdalah Nabi s.a.w.: dusta
orang-orang Yahudi itu! Kalau Allah berkehendak untuk menjadikannya (hamil),
kamu tidak akan sanggup mengelakkannya.” (Riwayat Ashabussunan)
Yang dimaksud oleh Nabi, bahwa persetubuhan dengan
azl itu, kadang-kadang ada setetes mani masuk yang menyebabkan kehamilan sedang
dia tidak mengetahuinya.
Di zaman pemerintahan Umar, dalam satu majlis orang-orang
banyak berbincang masafah azl. Kemudian ada salah seorang laki-laki yang
berkata: bahwa orang-orang Yahudi beranggapan, azl itu berarti pembunuhan yang
kecil. Kemudian Ali r.a. ber kata: “Tidak dinamakan pembunuhan, sehingga mani
itu berjalan tujuh tahap, yaitu: mula-mula sari tanah, kemudian menjadi nuthfah
(mani), kemudian menjadi darah yang membeku, kemudian menjadi segumpal daging,
kemudian daging itu dilengkapi dengan tulang-belulang, kemudian dililiti dengan
daging dan terakhir menjadi manusia.” Lantas Umar menjawab: betul engkau, ya
Ali! Semoga Allah memanjangkan umurmu!
3.2.15.1
Alasan yang Mendorong Keluarga Berencana
Di antara sekian banyak alasan yang mendorong
dilakukannya keluarga berencana, yaitu:
Pertama: Mengkawatirkan terhadap kehidupan atau kesehatan si ibu apabila hamil
atau melahirkan anak, setelah dilakukan suatu penelitian dan cheking oleh
dokter yang dapat dipercaya. Karena firman Allah:
“Jangan kamu mencampakkan diri-diri kamu ke dalam
kebinasaan.” (al-Baqarah: 195)
Dan firman-Nya pula:
“Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena
sesungguhnya Allah maha belaskasih kepadamu.” (an-Nisa': 28)
Kedua: Kawatir akan terjadinya bahaya pada urusan dunia yang kadang-kadang
bisa mempersukar beribadah, sehingga menyebabkan orang mau menerima barang yang
haram dan mengerjakan yang terlarang, justru untuk kepentingan anak-anaknya.
Sedang Allah telah berfirman:
“Allah berkehendak untuk memberikan kemudahan
kepadamu, bukan berkehendak untuk memberi kesukaran kepadamu.” (al-Baqarah:
185)
“Allah tidak berkehendak untuk menjadikan suatu
kesukaran kepadamu.” (al-Maidah: 6)
Termasuk yang mengkawatirkan anak, ialah tentang
kesehatan dan pendidikannya.
Usamah bin Zaid meriwayatkan:
“Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi s.a.w.
kemudian ia berkata: ya Rasulullah! Sesungguhnya saya melakukan azl pada
isteriku. Kemudian Nabi bertanya: mengapa kamu berbuat begitu? Si laki-laki
tersebut menjawab: karena saya merasa kasihan terhadap anaknya, atau ia
berkata: anak-anaknya. Lantas Nabi bersabda: seandainya hal itu berbahaya,
niscaya akan membahayakan bangsa Persi dan Rum.” (Riwayat Muslim)
Seolah-olah Nabi mengetahui bahwa situasi individu,
yang dialami oleh si laki-laki tersebut, tidaklah berbahaya untuk seluruh
bangsa, dengan dasar bangsa Persi dan Rum tidak mengalami bahaya apa-apa,
padahal mereka biasa melakukan persetubuhan waktu hamil dan menyusui, sedang
waktu itu kedua bangsa ini merupakan bangsa yang terkuat di dunia.
Ketiga: Keharusan melakukan azl yang biasa terkenal dalam syara’ ialah karena
mengkawatirkan kondisi perempuan yang sedang menyusui kalau hamil dan
melahirkan anak baru.
Nabi menamakan bersetubuh sewaktu perempuan masih
menyusui, dengan ghilah atau ghail, karena penghamilan itu dapat merusak air
susu dan melemahkan anak. Dan dinamakannya ghilah atau ghail karena suatu
bentuk kriminalitas yang sangat rahasia terhadap anak yang sedang disusui. Oleh
karena itu sikap seperti ini dapat dipersamakan dengan pembunuhan misterius
(rahasia).
Nabi Muhammad s.a.w. selalu berusaha demi
kesejahteraan ummatnya. Untuk itu ia perintahkan kepada ummatnya ini supaya
berbuat apa yang kiranya membawa maslahah dan melarang yang kiranya membawa
bahaya. Di antara usahanya ialah beliau bersabda:
“Jangan kamu membunuh anak-anakmu dengan rahasia, sebab
ghail itu biasa dikerjakan orang Persi kernudian merobohkannya.” (Riwayat Abu
Daud)
Tetapi beliau sendiri tidak memperkeras larangannya
ini sampai ke tingkat haram, sebab beliau juga banyak memperhatikan keadaan
bangsa yang kuat di zamannya yang melakukan ghilah, tetapi tidak membahayakan.
Dengan demikian bahaya di sini satu hal yang tidak dapat dielakkan, sebab ada
juga seorang suami yang kawatir berbuat zina kalau larangan menyetubuhi isteri
yang sedang menyusui itu dikukuhkan. Sedang masa menyusui itu kadang-kadang
berlangsung selama dua tahun bagi orang yang hendak menyempurnakan penyusuan.
Untuk itu semua, Rasulullah s.a,w. bersabda:
“Sungguh saya bermaksud akan melarang ghilah,
kemudian saya lihat orang-orang Persi dan Rum melakukannya, tetapi ternyata
tidak membahayakan anaknya sedikitpun.” (Riwayat Muslim)
Ibnul Qayim dalam menerangkan hubungan antara hadis
ini dengan hadis sebelumnya, mengatakan sebagai berikut: “Nabi s.a.w.
memberitakan pada salah satu segi: bahwa ghail itu berarti memperlakukan anak
seperti orang-orang Persi mengadu kudanya, dan ini salah satu macam yang
menyebabkan bahaya tetapi sifatnya bukan membunuh dan merusak anak, sekalipun
kadang-kadang membawa bahaya anak kecil. Oleh karena itu Nabi s.a.w. membimbing
mereka supaya meninggalkan ghail kendati bukan melarangnya. Kemudian beliau
berazam untuk melarangnya guna membendung bahaya yang mungkin menimpa anak yang
masih menyusu. Akan tetapi menutup pintu bahaya ini tidak dapat menghindari
mafsadah yang juga mungkin terjadi sebagai akibat tertahannya jima’ selama
dalam menyusui, lebih-lebih orang-orang yang masih berusia muda dan syahwatnya
sangat keras, yang tidak dapat diatasi melainkan dengan menyetubuhi isterinya.
Itulah sebabnya beliau mengetahui, bahwa maslahah dalam masalah ini lebih kuat
daripada menolak mafsadah. Kemudian beliau melihat dua bangsa yang besar dan
kuat (Romawi dan Persi) di mana mereka itu juga mengerjakan ghilah dan justru
karena kekuatannya itu, mereka samasekali tidak ada sara kawatir apa yang
mungkin terjadi sebab ghilah. Oleh karena itulah beliau tidak jadi melarangnya.17
Di zaman kita ini sudah ada beberapa alat
kontrasepsi yang dapat dipastikan kemaslahatannya, dan justru maslahah itulah
yang dituju oleh Nabi Muhammad s.a.w., yaitu melindungi anak yang masih menyusu
dari mara-bahaya termasuk menjauhi mafsadah yang lain pula, yaitu: tidak
bersetubuh dengan isterinya selama menyusui, di mana hal itu sangat memberatkan
sekali.
Dengan dasar inilah, kita dapat mengira-ngirakan
jarak yang pantas antara dua anak, yaitu sekitar 30 atau 33 bulan, bagi mereka
yang ingin menyempurnakan susuan.
Imam Ahmad dan lain-lain mengikrarkan, bahwa hal
yang demikian itu diperkenankan apabila isteri mengizinkannya, karena dialah
yang lebih berhak terhadap anak, di samping dia pula yang berhak untuk
bersenang-senang.
Sedang Umar Ibnul-Khattab, dalam salah satu riwayat
berpendapat, bahwa azl itu dilarang, kecuali dengan seizin isteri.
Demikianlah perhatian Islam terhadap hak-hak
perempuan, di mana waktu itu dunia tidak mengenal dan tidak mengakuinya.
3.2.16
Pengguguran (Aborsi)
Apabila Islam telah membolehkan seorang muslim untuk
mencegah kehamilan karena suatu alasan yang mengharuskan, maka dibalik itu
Islam tidak membenarkan menggugurkan kandungan apabila sudah ujud.
Seluruh ulama ahli fiqih sudah sepakat (konsensus),
bahwa pengguguran kandungan sesudah janin diberi nyawa, hukumannya haram dan
suatu tindak kriminal, yang tidak halal bagi seorang muslim untuk melakukannya.
Karena perbuatan tersebut dianggap sebagai pembunuhan terhadap orang hidup yang
ujudnya telah sempurna. Para ulama itu mengatakan: Oleh karena itu, pengguguran
semacam ini dikenakan diyat18 apabila si
anak lahir dalam keadaan hidup kemudian mati. Dan dikenakan denda kurang dari
diyat, apabila si anak lahir dalam keadaan sudah mati.
Namun demikian, mereka juga berkata: apabila dengan
penyelidikan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, bahwa hidupnya anak
dalam kandungan akan membahayakan kehidupan si ibu, maka syariat Islam dengan
kaidah-kaidahnya yang umum memerintahkan untuk mengambil salah satu darurat
yang paling ringan (akhaffudh dhararain). Apabila kehidupan si anak itu
menyebabkan ajalnya si ibu, sedang satu-satunya jalan untuk menyelamatkannya
ialah pengguguran, maka waktu itu diperkenankanlah menggugurkan kandungan. Si
ibu tidak boleh dikorbankan justru untuk menyelamatkan anak, sebab ibu adalah
pokok, dan hidupnya pun sudah dapat dipastikan, dia mempunyai hak kebebasan
hidup, dia mempunyai hak dan dilindungi oleh hukum dan dia adalah tiang
rumahtangga. Justru itu tidak rasional kalau kita korbankan dia guna
menyelamatkan janin yang belum tentu hidupnya dan belum memperoleh hak dan
kewajiban.19
Imam Ghazali membedakan antara mencegah kehamilan
dan pengguguran kandungan. Ia berkata: “Mencegah kehamilan tidak sama dengan
pengguguran dan pembunuhan, sebab apa yang disebut pembunuhan atau pengguguran,
yaitu suatu tindak kriminal terhadap manusia yang sudah ujud, sedang ujudnya
anak itu sendiri bertahap. Tahap pertama yaitu bersarangnya sperma dalam rahim
dan bercampur dengan air perempuan dan dia siap menghadapi hidup. Merusak ini
berarti suatu tindak kriminal. Jika sperma (nuthfah) ini sudah menjadi darah,
maka tindakan kriminal dalam hal ini lebih kejam. Dan jika telah ditiupnya roh
dan sudah sempurna kejadiannya, maka tindak kriminal dalam soal ini lebih kejam
lagi. Dan yang paling top dalam soal kriminal ini, ialah apabila si anak
tersebut telah lahir dan dalam keadaan hidup.”20
3.2.17
Hak dan Kewajiban dalam Pergaulan Antara Suami-Isteri
Perkawinan, sebagaimana telah kami sebutkan, adalah
suatu ikatan perjanjian yang telah diikat oleh Allah antara seorang pria dengan
seorang wanita. Sesudah melakukan aqad, masing-masing disebut suami dan isteri
atau zauj dan zaujah, artinya genap. Masing-masing dalam hitungan adalah
single, tetapi dalam timbangannya adalah double, karena masing-masing
mencerminkan yang lain dan bertanggungjawab terhadap penderitaan dan
cita-citanya.
Al-Quran menggambarkan kekuatan ikatan antara
suami-isteri ini, dengan suatu lukisan sebagai berikut:
“Perempuan (ibarat) pakaian buat kamu, dan kamu
(ibarat) pakaian buat mereka.” (al-Baqarah: 187)
Redaksi ini memberikan suatu pengertian: fusi
(peleburan), pendinding, perlindungan dan perhiasan yang harus diujudkan oleh
masing-masing suami-isteri.
Oleh karena itu, masing-masing suami-isteri
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dijaga baik-baik, tidak boleh
diabaikannya. Hak dan kewajiban ini berlaku sama, kecuali yang memang secara
fitrah dispesialkan buat laki-laki, seperti yang ditegaskan oleh Allah dalam
firmanNya:
“Perempuan mempunyai hak sebanding dengan
kewajibannya dengan baik, dan laki-laki mempunyai kelebihan terhadap
perempuan.” (al-Baqarah: 228)
Kelebihan yang dimaksud dalam ayat ini, yaitu
kelebihan mengurus dan bertanggungjawab.
Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah
s.a.w.:
“Ya Rasulullah! Apakah hak seorang isteri terhadap
suami? Maka beliau menjawab: engkau beri makan dia apabila engkau makan, dan
engkau beri pakaian dia apabila engkau berpakaian, dan jangan engkau menampar
mukanya, dan jangan engkau jelek-jelekkan, dan jangan engkau berpisah dengan
dia melainkan dalam rumah.” (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Hibban)
Oleh karena itu seorang suami muslim tidak
dibenarkan mengabaikan masalah nafkah dan pakaian isteri. Sebab Nabi Muhammad
s.a.w. telah bersabda:
“Cukup berdosa seseorang yang meneledorkan orang
yang menjadi tanggungannya.” (Riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Hakim)
Dan tidak dibenarkan seorang muslim menampar muka
isterinya. Tindakan tersebut dianggap suatu penghinaan, karena muka adalah
anggota yang menjadi pusat kecantikan tubuh.
Dan apabila diperkenankan seorang muslim untuk
memberikan pendidikan isterinya yang durhaka, maka ia tidak diperkenankan
memukul yang dapat menyusahkan atau menampar muka dan tempat-tempat yang cepat
membawa ajalnya.
Di samping itu tidak pula diperkenankan seorang
muslim menjelek-jelekkan isterinya, baik dengan mengata-ngatai atau
ucapan-ucapan yang tidak layak didengar, misalnya kata-kata: qabbahakillah
(kamu orang jahat) dan sebagainya.
Sedang kewajiban isteri terhadap suaminya, yaitu
sebagaimana yang dikatakan Nabi Muhammad s.a.w.:
“Tidak halal bagi seorang isteri yang beriman kepada
Allah, memberi izin (kepada laki-laki lain) dalam rumah suami sedang suami
tidak suka; dan tidak halal dia keluar rumah sedang suami tidak suka; dan tidak
halal dia taat kepada orang lain; dan tidak halal dia meninggalkan ranjang
suami; dan tidak halal dia memukul suaminya. Kalau suami berlaku zalim, maka
datangilah sehingga menjadi senang; dan jika dia dapat menerimanya maka dia
adalah perempuan yang baik dan semoga Allah menerima uzurnya dan menampakkan
alasannya; tetapi jika suami tidak rela, maka uzurnya itu telah ia sampaikan kepada
Allah.” (Riwayat Hakim)
3.2.18
Suami-Isteri Harus Sabar
Seorang suami harus berlaku sabar terhadap isterinya
jika ada sesuatu pelayanan isteri yang kurang menyenangkan, sedang dia telah
mengetahui kelemahan isterinya sebagai seorang perempuan di mana dia sebagai
manusia biasa tidak luput dari kekurangan. Sedang di balik kesalahan dan
kekurangan itu, isteri juga mempunyai kebaikan-kebaikan dan
kelebihan-kelebihan.
Di dalam salah satu hadisnya, Rasulullah s.a.w.
bersabda:
“Seorang mu’min (suami) tidak boleh membenci seorang
mu’minah (isteri), jika dia tidak menyukai lantaran sesuatu perangainya, maka
dia akan senang pada perangainya yang lain.” (Riwayat Muslim)
“Dan pergaulilah isterimu dengan cara yang baik maka
jika kamu tidak menyukainya barangkali sesuatu yang kamu tidak sukainya itu
justru Allah akan menjadikan padanya kebaikan yang sangat banyak.” (an-Nisa':
19)
Sebagaimana suami disuruh sabar terhadap sesuatu
yang tidak disukainya dari isterinya, maka begitu juga seorang isteri
diperintah supaya memberi kesenangan kepada suaminya semampu mungkin, dan
jangan sampai seorang isteri tidur malam sedang suaminya dalam keadaan marah.
Dalam hadis Nabi dikatakan:
“Ada tiga orang yang sembahyangnya itu tidak dapat
melebihi kepalanya walaupun hanya sejengkal, yaitu: 1) Seorang laki-laki yang
menjadi imam pada suatu kaum sedang kaum itu tidak suka, 2) Seorang perempuan
yang tidur malam sedang suaminya murka kepadanya. 3) Dua saudara yang saling
bermusuhan.” (Riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
3.2.19
Ketika Nusyuz dan Bersengketa
Karena seorang laki-laki adalah kepala rumahtangga
sebagai konsekuensi yang diperolehnya karena dialah pembinanya,
mempersediakannya, meletakkan rumahtangga ini dalam kehidupan, membayar mahar
dan memberi nafkah, maka seorang isteri tidak diperkenankan menentang suami dan
lari dari kekuasaan suami. Hal mana akan merusak persekutuan dan akan
menggoncangkan bahtera rumahtangga, bahkan mungkin akan menenggelamkannya
selama rumahtangga itu tidak ada pengemudinya.
Dan kalau seorang suami menjumpai isterinya ada
tanda-tanda nusyuz (durhaka) dan menentangnya; maka dia harus berusaha
mengadakan islah dengan sekuat tenaga, diawali dengan kata-kata yang baik,
nasehat yang mengesan dan bimbingan yang bijaksana.
Kalau cara ini tidak lagi berguna, maka boleh dia
tinggalkan dalam tempat tidur sebagai suatu usaha agar instink kewanitaannya
itu dapat diajak berbicara. Kiranya dengan demikian dia akan radar dan
kejernihan akan kembali.
Kalau ini dan itu tidak lagi berguna, maka dicoba
untuk disadarkan dengan tangan, tetapi harus dijauhi pukulan yang berbahaya dan
muka. Ini suatu obat mujarrab untuk sementara perempuan dalam beberapa hal pada
saat-saat tertentu.
Maksud memukul di sini tidak berarti harus dengan
cambuk atau kayu, tetapi apa yang dimaksud memukul di sini ialah salah satu
macam dari apa yang dikatakan Nabi kepada seorang khadamnya yang tidak
menyenangkan pekerjaannya. Nabi mengatakan sebagai berikut:
“Andaikata tidak ada qishash (pembalasan) kelak di
hari kiamat, niscaya akan kusakiti kamu dengan kayu ini.” (Riwayat Ibnu Saad
dalam Thabaqat)
Tetapi Nabi sendiri tidak menyukai laki-laki yang
suka memukul isterinya. Beliau bersabda sebagai berikut:
“Mengapa salah seorang di antara kamu suka memukul
isterinya seperti memukul seorang hamba, padahal barangkali dia akan
menyetubuhinya di hari lain?!” (Riwayat Anmad, dan dalam Bukhari ada yang mirip
dengan itu)
Terhadap orang yang suka memukul isterinya ini,
Rasulullah s.a.w. mengatakan:
“Kamu tidak jumpai mereka itu sebagai orang yang
baik di antara kamu.” (Hadis ini dalam Fathul Bari dihubungkan kepada Ahmad,
Abu Daud dan Nasa’i dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ayyas
bin Abdillah bin Abi Dzubab)
Ibnu Hajar berkata: “Dalam sabda Nabi yang
mengatakan: orang-orang baik di antara kamu tidak akan memukul ini menunjukkan,
bahwa secara garis besar memukul itu dibenarkan, dengan motif demi mendidik
jika suami melihat ada sesuatu yang tidak disukai yang seharusnya isteri harus
taat. Tetapi jika dirasa cukup dengan ancaman adalah lebih baik.
Apapun yang mungkin dapat sampai kepada tujuan yang
cukup dengan angan-angan, tidak boleh beralih kepada suatu perbuatan. Sebab
terjadinya suatu tindakan, bisa menyebabkan kebencian yang justru bertentangan
dengan prinsip bergaul yang baik yang selaiu dituntut dalam kehidupan
berumahtangga. Kecuali dalam hal yang bersangkutan dengan kemaksiatan kepada
Allah.
Imam Nasa’i meriwayatkan dalam bab ini dari Aisyah
r.a’ sebagai berikut:
“Rasulullah s.aw. tidak pernah memukul isteri maupun
khadamnya samasekali; dan beliau samasekali tidak pernah memukul dengan
tangannya sendiri, melainkan dalam peperangan (sabilillah) atau karena
larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliau menghukum karena Allah.”
Kalau semua ini tidak lagi berguna dan sangat dikawatirkan
akan meluasnya persengketaan antara suami-isteri, maka waktu itu masyarakat
Islam dan para cerdik-pandai harus ikut campur untuk mengislahkan, yaitu dengan
mengutus seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga
perempuan yang baik dan mempunyai kemampuan. Diharapkan dengan niat yang baik
demi meluruskan ketidak teraturan dan memperbaiki yang rusak itu, semoga Allah
memberikan taufik kepada kedua suami-isteri.
Perihal ini semua, Allah s.w.t. telah berfirman
dalam al-Quran sebagai berikut:
“Dan perempuan-perempuan yang kamu kawatirkan
kedurhakaannya, maka nasehatlah mereka itu, dan tinggalkanlah di tempat tidur,
dan pukullah. Apabila mereka sudah taat kepadamu, maka jangan kamu cari-cari
jalan untuk menceraikan mereka, karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha
Besar. Dan jika kamu merasa kawatir akan terjadinya percekcokan antara mereka
berdua, maka utuslah hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim lagi dari
keluarga perempuan. Apabila mereka berdua menghendaki islah, maka Allah akan
memberi taufik antara keduanya; sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha
Mengetahui.” (an-Nisa': 34-35)
3.2.20
Cerai
Di sini, yakni sesudah tidak mampunyai lagi seluruh
usaha dan cara, maka di saat itu seorang suami diperkenankan memasuki jalan
terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai satu usaha memenuhi panggilan
kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema
yang tidak dapat diatasi kecuali dengan berpisah. Cara ini disebut thalaq.
Islam, sekalipun memperkenankan memasuki cara ini,
tetapi membencinya, tidak menyunnatkan dan tidak menganggap satu hal yang baik.
Bahkan Nabi sendiri mengatakan:
“Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah
talaq.” (Riwayat Abu Daud)
“Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia
sangat membencinya, melainkan talaq.” (Riwayat Abu Daud)
Perkataan halal tapi dibenci oleh Allah memberikan
suatu pengertian, bahwa talaq itu suatu rukhshah yang diadakan semata-mata
karena darurat, yaitu ketika memburuknya pergaulan dan menghajatkan perpisahan
antara suami-isteri. Tetapi dengan suatu syarat: kedua belah pihak harus
mematuhi ketentuan-ketentuan Allah dan hukum-hukum perkawinan.
Dalam satu pepatah dikatakan: “kalau tidak ada
kecocokan, ya perpisahan.” Tetapi firman Allah mengatakan:
“Dan jika (terpaksa) kedua suami-isteri itu
berpisah, maka Allah akan memberi kekayaan kepada masing-masing pihak dari
anugerah-Nya.” (an-Nisa': 130)
3.2.20.1
Talaq Sebelum Islam
Bukan Islam saja satu-satunya agama yang membenarkan
adanya talaq, bahkan sebelum Islam, talaq sudah merata di dunia, apabila kita
mau kecualikan satu ummat atau dua ummat, yaitu: apabila seorang suami sedang
marah kepada isterinya, maka isterinya itu diusir dari rumah dengan tangan
hampa, atau tidak ada kekuasaan sedikitpun. Si perempuan tidak ada wewenang
untuk membela diri, mendapat ganti atau hak-hak lain.
Dan ketika bangsa Yunani mulai bangkit dan
kebudayaan mulai menanjak, maka persoalan talaq telah merata di kalangan
masyarakat, tanpa suatu ikatan dan persyaratan.
Talaq bagi orang-orang Romawi dinilai dari
eksistensi perkawinan itu sendiri. Sehingga para hakim pun dapat membatalkan
perkawinan, walaupun kedua belah pihak telah berjanji tidak akan bercerai.
Padahal perkawinan secara keagamaan menurut generasi pertama tidak membenarkan
adanya talaq. Tetapi pada waktu itu juga seorang suami diberinya kekuasaan
penuh, tanpa batas (absolut) terhadap isterinya. Sehingga dalam beberapa hal
dia dibenarkan membunuh isterinya. Kemudian agama mereka ini mencabut hak tersebut
dan membenarkan adanya talaq yang juga dibenarkan oleh undang-undang sipil yang
berlaku.
3.2.20.2
Talaq dalam Pandangan Agama Yahudi
Agama Yahudi menganggap baik persoalan talaq dengan
menitik-beratkan peninjauannya kepada keadaan isteri. Tetapi perkenan itu
diperluas. Seorang suami oleh syara’ diharuskan mencerai isterinya kalau
ternyata si isteri berbuat fasik, sekalipun suami telah memaafkannya.
Undang-undang pun memaksa kepada suami untuk
mencerai isterinya kalau perkawinan itu berjalan 20 tahun, tetapi ternyata
tidak menghasilkan anak.21
3.2.20.3
Talaq dalam Pandangan Agama Kristen
Kristen adalah agama yang menyimpang dari
agama-agama yang kami tuturkan di atas, bahkan bertentangan dengan agama Yahudi
itu sendiri. Injil melalui lidah al-Masih mengharamkan talaq dan mengharamkan
mengawini laki-laki atau perempuan yang ditalaq.
Injil karangan Matius fasal 5 ayat 31 dan 32
mengatakan:
“Barangsiapa
mencerai bininya, hendaklah ia memberi surat talaq kepadanya. Tetapi aku ini
berkata kepadamu: barangsiapa mencerai bininya lain daripada sebab berzina,
ialah menjadi pohon yang sebab perempuan itu berzina; dan barangsiapa
berbinikan perempuan yang diceraikan demikian itu, ia pun berzina.”
Dan dalam Injil karangan Markus, fasal 10 ayat 11
dan 12 dikatakan: “Barangsiapa menceraikan bininya, lalu berbinikan orang lain,
ialah berbuat zina terhadap bininya yang dahulu itu. Dan jikalau seorang
perempuan menceraikan lakinya, lalu berlakikan orang lain, ia pun berbuat
zina.”
Injil memberikan alasan haramnya talaq yang demikian
keras itu karena: “sesuatu yang telah dijodohkan oleh Allah jangan diceraikan
oleh manusia.” (Matius 19: 6).
Alasan ini maksudnya baik. Tetapi menjadikan alasan tersebut
untuk melarang perceraian adalah suatu hal yang sangat ganjil. Sebab maksud
Allah menjodohkan antara suami-isteri itu pengertiannya, bahwa Ia memberi izin
dan mengatur jalannya perkawinan. Oleh karena itu benar kalau menisbatkan
penjodohan kepada Allah, sekalipun pada hakikatnya manusialah yang langsung
mengadakan aqad.
Jika Allah membenarkan dan mengatur perceraian
karena sebab dan alasan yang mengharuskan, maka perceraian waktu itu artinya
dari Allah juga, sekalipun pada hakikatnya manusia itu sendiri yang secara
langsung melakukan perceraian.
Dengan demikian, jelas bukan manusia itu sendiri
yang menceraikan apa yang telah dijodohkan Allah. Bahkan baik yang menjodohkan
maupun yang menceraikan adalah Allah. Bukankah Allah jua yang menceraikan antara
suami-isteri lantaran sebab berzina?! Mengapa Allah tidak boleh menceraikan
suami-isteri lantaran sebab lain yang mengharuskan cerai?!
3.2.20.4
Pertentangan Sekte Kristen dalam Persoalan Talaq
Sekalipun Injil mengecualikan larangan talaq selain
karena zina, akan tetapi pengikut sekte Katholik menafsirkan pengecualian ini
sebagai berikut: “Di sini tidak dapat diartikan, bahwa prinsip ini ada beberapa
keganjilan, atau ada sebab-sebab yang membenarkan perceraian. Dalam Kristen
sedikitpun tidak ada apa yang disebut talaq. Perkataan selain karena sebab
zina, di sini maksudnya adalah perkawinan itu sendiri yang tidak sah, sebab
diadakan dan disahkannya perkawinan itu bukan karena yang tampak saja. Jadi
zina bukan suatu pengecualian. Maka dalam situasi seperti ini seorang laki-laki
dibenarkan, bahkan diharuskan meninggalkan isterinya.”22
Pengikut sekte Protestan membolehkan perceraian
dalam beberapa hal yang antara lain: karena isteri berbuat zina, isteri
berkhianat kepada suami dan beberapa hal lagi yang kesemuanya itu
menambah-nambah nas Injil. Akan tetapi kendati mereka membolehkan talaq karena
ini dan itu, namun mereka tetap tidak membenarkan suami-isteri yang sudah
bercerai itu untuk menikmati hidup dengan bersuamikan/beristerikan orang lain.
Adapun pengikut sekte Ortodoks, perguruan-perguruan
mereka yang ekstrim di Mesir membolehkan talaq apabila seorang isteri melakukan
zina, persis seperti apa yang termaktub dalam Injil. Di samping itu mereka juga
membenarkan adanya talaq karena sebab-sebab lain, seperti: karena mandul selama
tiga tahun, karena sakit, karena pertentangan yang berkepanjangan yang tidak
dapat diharapkan kedamaiannya.
Sebab-sebab ini semua tidak terdapat dalam Injil.
Oleh karena itu pengikut-pengikut setia dari sekte ini tidak mengakui alasan
tersebut yang memberi perkenan orang belakangan mencerai isterinya karena
sebab-sebab ini. Begitu juga mereka tidak mengakui kebenaran bolehnya mengawini
laki-laki atau perempuan yang sudah bercerai dengan alasan apapun.
Dengan dasar inilah, salah satu mahkamah Kristen di
Mesir pernah menolak pengaduan seorang perempuan Kristen yang minta diceraikan
dengan suaminya berhubung suaminya tidak mampu. Dalam keputusannya itu mahkamah
berpendapat: “Sungguh sangat mengherankan sementara aktivis agama dari
kepala-kepala gereja dan anggota majlis agama tinggi telah berani mengikuti
perkembangan zaman, sehingga mereka mau memenuhi selera orang-orang yang lemah
iman dan membolehkan cerai, justru sebab yang tidak bersandar pada Injil.
Padahal syariat Kristen dengan tegas tidak membolehkan cerai, kecuali karena
sebab zina, dengan konsekwensi bahwa mengawini salah seorang yang telah
bercerai itu berkawin kotor, bahkan dia itu sendiri dihukumi berzina.”23
3.2.20.5
Effek Pengekangan Agama Kristen dalam Persoalan Talaq
Dari effek pengekangan yang sangat ganjil dari agama
Kristen dalam persoalan talaq dan bertentangan dengan naluri manusia serta
faktor vital yang mengharuskan seseorang bercerai dengan isterinya karena
beberapa hal, maka –sebagai akfibat dari itu semua– para pengikut agama ini
berani melanggar agamanya dan melepaskan diri dari tuntunan Injil, bagaikan anak
panah terlepas dari busurnya. Akhirnya mereka tidak dapat berbuat lain selain
harus memisahkan apa yang oleh Allah telah dijodohkannya itu.
Orang-orang Barat yang beragama Kristen sendiri
kemudian membuat undang-undang sipil yang membolehkan keluar dari penjara abadi
ini. Dan di balik itu tidak sedikit dari kalangan mereka, seperti bangsa
Amerika, yang berlebih-lebihan dan melepaskan kendali dalam persoalan
dibolehkannya bercerai, yang seolah-olah mereka itu satu kesatuan dengan Injil.
Oleh karena itu, mereka menjatuhkan Injil tersebut justru kurangnya pengertian;
dan para cerdik-pandainya mengadukan situasi yang krisis ini yang menimpa
ikatan perkawinan dan yang mengancam kehidupan berumahtangga serta tata-tertib
keluarga, sehingga sementara hakim urusan talaq menegaskan: bahwa kehidupan
rumahtangga (perkawinan) akan musnah di negeri mereka dan akan diganti dengan
suatu kebebasan perhubungan antara laki-laki dan perempuan pada waktu yang
tidak terlalu lama. Sekarang ini perkawinan dianggapnya sebagai barang
perdagangan yang dihancurkan sendiri oleh dua pasangan suami-isteri, karena
kelemahan sendi-sendinya yang sama sekali berbeda dengan agama-agama lain,
lebih-lebih tidak adanya keyakinan dan kecintaan yang mengikat antara dua
pasangan suami-isteri itu. Tetapi syahwat dan berganti-ganti pasangan adalah
jalan-jalan untuk memuaskan nafsu dan mencapai hidup senang
3.2.20.6
Penolakan Farid Dalam Persoalan Ini
“Kenyataan inilah yang berlaku dalam undang-undang
perkawinan sejalan dengan undang-undang sipil yang berlaku, yang samasekali
bertentangan dengan ajaran agama dan hampir tidak dijumpai selain bangsa Barat
yang beragama Kristen. Seluruh aliran dan kepercayaan, termasuk di dalamnya
kaum Brahma, Buddhis, Polytheis dan Majusi, semuanya melaksanakan undang-undang
perkawinannya menurut tuntunan agamanya masing-masing. Sekalipun kadang-kadang
kita dapati di antara mereka ada yang membuat undang-undang sipil dalam
beberapa hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Tetapi tidak kita jumpai
di kalangan mereka yang membuat undang-undang sipil dalam bidang perkawinan
yakni dalam urusan perkawinan, talaq dan sebagainya bertentangan dengan ajaran
agamanya. Sebab aliran dan kepercayaan-kepercayaan ini memungkinkan untuk
menjalankan praktek hidup dan menyalurkan naluri manusia dalam persoalan ini
(baca perkawinan). Hanya orang-orang Kristen saja yang mengingkari agamanya
dari segi praktek perkawinan pada umumnya dan dalam persoalan talaq pada
khususnya. Karena mereka sendiri sudah mengetahui, bahwa ajaran agamanya dalam
persoalan ini bertentangan dengan realita dan bersikap masa bodoh terhadap
naluri manusia dan tidak mungkin dapat diterapkan dalam kehidupan.”24
3.2.20.7
Agama Kristen Hanya Obat Sementara, Bukan Syariat yang Universal
Kalau benar apa yang terdapat dalam Injil tentang
persoalan talaq, bukan mengalami perubahan sebagaimana yang terjadi pada
abad-abad pertama, maka tidak diragukan lagi, bahwa orang yang mau berfikir
tentang Injil –sampai pun yang ada sekarang ini– akan mengetahui dengan jelas,
bahwa al-Masih tidak bermaksud menetapkan agama ini sebagai hukum yang
universal dan abadi. Tetapi dia hanya bermaksud akan melawan
kesewenang-wenangan orang Yahudi terhadap hal-hal yang oleh Allah telah
diberikan rukhshah, sebagaimana apa yang mereka perbuat dalam masalah talaq
ini.
Injil Matius fasal 19 menerangkan: “Tatkala Jesus
telah menyudahkan segala ucapan itu, berangkatlah Ia dari tanah Galilea, lalu
sampai ke tanah Judea yang di seberang sungai Jordan. Maka amatlah banyak orang
mengikuti dia, lalu disembuhkannya mereka itu di sana. Maka datanglah orang
Parisi kepadanya hendak mencobai dia, serta bertanya kepadanya: Halalkah orang
mencerai bininya karena tiap-tiap sebab? Maka jawab Jesus, katanya: Tidakkah
kamu membaca, bahwa Ia yang menjadikan manusia pada mulanya menjadikan
laki-laki dan perempuan, lalu berfirman: “Karena sebab itu orang hendaklah
meninggalkan ibu-bapanya, dan berdamping dengan bininya; lalu keduanya itu
menjadi saudara-daging?” Sehingga mereka itu bukannya lagi dua orang, melainkan
sedarah-daging adanya. Sebab itu yang telah dijodohkan oleh Allah, janganlah
diceraikan oleh manusia. Maka kata mereka itu kepadanya: Kalau begitu, apakah
sebabnya Musa menyuruh memberi surat talaq serta menceraikan dia? Maka kata
Jesus kepada mereka itu: Oleh sebab keras hatimu, Musa meluluskan kamu
menceraikan binimu; tetapi pada mulanya bukan demikian adanya. Aku berkata
kepadamu: Barangsiapa yang menceraikan bininya kecuali sebab hal zina, lalu
berbinikan orang lain, ialah berzina. Dan barangsiapa berbinikan perempuan yang
sudah diceraikan demikian, iapun berzina juga. Maka kata murid-murid itu
kepadanya: Jikalau demikian ini perihal laki-laki dengan bini, tiada berfaedah
kawin.” (Matius 19: 1 – 10)25
Dari percakapan ini jelas, bahwa Jesus (Isa) hanya
bermaksud membatasi kesewenang-wenangan orang Yahudi dalam mempergunakan izin
talaq yang telah diberikan Musa kepadanya, kemudian ia menghukumi mereka ini
dengan larangan bercerai kecuali sebab si perempuan itu berbuat zina. Dengan
demikian, apa yang diperbuatnya itu adalah obat sementara untuk waktu tertentu,
sehingga datanglah agama yang universal dan abadi; yaitu dengan diutusnya Nabi
Muhammad s.a.w.
Tidak rasional kalau al-Masih menghendaki hukumnya
ini bersifat abadi dan berlaku untuk segenap ummat manusia. Sebab
murid-muridnya sendiri telah menyatakan keberatannya terhadap hukum yang sangat
berat ini. Mereka berkata: “Jikalau demikian ini perihal laki dengan bini,
tiada berfaedah kawin.” Sebab semata-mata kawin dengan seorang perempuan,
berarti dia menjadikan perempuan itu sebagai belenggu di lehernya yang tidak
mungkin dapat dilepaskan dengan apapun, kendatipun hatinya penuh kebencian,
kesempitan dan kemurkaan; dan betapapun watak dan pembawaan kedua belah pihak
itu berbeda.
Dahulu kala seorang failasuf berkata: “Sebesar-besar bencana, adalah
beristerikan seorang perempuan yang tidak kamu setujui tetapi tidak juga kamu
cerai.”
Dan berkatalah seorang penyair Arab:
Barangsiapa menghalang-halangi kebebasan dunia,
Maka pasti dia akan menemui musuh dari kawan
seiringnya sendiri.
3.2.20.8
Islam Membatasi Persoalan Talaq
Syariat Islam telah meletakkan beberapa ikatan yang
membendung jalan yang akan membawa kepada perceraian, sehingga terbatas dalam
lingkaran yang sangat sempit.
Oleh karena itu talaq yang dijatuhkan tanpa suatu
alasan yang mengharuskan dan tanpa meninjau jalan-jalan lain seperti yang kami
sebutkan di atas, adalah talaq yang diharamkan dalam Islam. Sebab talaq seperti
itu –sebagaimana dikatakan oleh sebagian ahli fiqih– cukup membahayakan, baik
pada dirinya sendiri maupun pada isterinya. Sedang mengabaikan maslahah yang
sangat diperlukan untuk kedua belah pihak tanpa ada suatu kepentingan yang
mengharuskan, hukumnya haram, seperti merusak harta benda. Sebab Rasulullah
s.a.w. telah bersabda:
“Tidak boleh membuat bahaya dan membalas bahaya.”
(Riwayat Ibnu Majah dan Thabarani dan lain-lain)
Adapun apa yang diperbuat oleh orang-orang yang suka
berselera dan suka mencerai isteri, adalah satu hal yang samasekali tidak
dibenarkan Allah dan Rasul-Nya. Seperti sabda Rasulullah s.a.w.:
“Saya tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin
cerai dan perempuan yang suka kawin cerai.” (Riwayat Thabarani dan Daraquthni)
Dan sabdanya pula:
“Sesungguhnya Allah tidak suka kepada laki-laki yang
suka kawin cerai dan perempuan-perempuan yang suka kawin cerai.” (Riwayat
Thabarani)
Abdullah bin Abbas juga berkata: “Talaq itu hanya
dibenarkan karena suatu kepentingan.”
3.2.20.9
Mencerai Perempuan Waktu Datang Bulan
Apabila ada keperluan dan kepentingan yang
membolehkan talaq, tidak berarti seorang muslim diperkenankan untuk segera
menjatuhkan talaqnya kapan pun ia suka, tetapi harus dipilihnya waktu yang
tepat. Sedang waktu yang tepat itu –menurut yang digariskan oleh syariat– yaitu
sewaktu si perempuan dalam keadaan bersih, yakni tidak datang bulan, baru saja
melahirkan anak (nifas) dan tidak sehabis disetubuhinya khusus waktu bersih
itu, kecuali apabila si perempuan tersebut jelas dalam keadaan mengandung,
Karena dalam keadaan haidh, termasuk juga nifas,
mengharuskan seorang suami untuk menjauhi isterinya. Barangkali karena
terhalangnya atau ketegangan alat vitalnya itu yang mendorong untuk mentalaq.
Oleh karena itu si suami diperintahkan supaya menangguhkan sampai selesai
haidhnya itu kemudian bersuci, kemudian dia boleh menjatuhkan talaqnya sebelum
si isteri itu disetubuhinya.
Sebagaimana diharamkannya mencerai isteri di waktu
haidh, begitu juga diharamkan mencerai di waktu suci sesudah bersetubuh. Sebab
siapa tahu barangkali si perempuan itu memperoleh benih dari suaminya pada kali
ini, dan barangkali juga kalau si suami setelah mengetahui bahwa isterinya
hamil kemudian dia akan merubah niatnya, dan dia dapat hidup senang bersama
isteri karena ada janin yang dikandungnya.
Tetapi bila si perempuan itu dalam keadaan suci yang
tidak disetubuhi atau si perempuan itu sudah jelas hamil, maka jelas di sini
bahwa yang mendorong untuk bercerai adalah karena ada alasan yang bisa
dibenarkan. Oleh karena itu di saat yang demikian dia tidak berdosa
mencerainya.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dikisahkan, bahwa Abdullah bin Umar Ibnul-Khattab pernah mencerai isterinya
waktu haidh. Kejadian ini sewaktu Rasulullah s.a.w. masih hidup. Maka
bertanyalah Umar kepada Rasulullah s.a.w., maka jawab Nabi kepada Umar:
“Suruhlah dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali,
kemudian jika dia mau, cerailah sedang isterinya itu dalam keadaan suci sebelum
disetubuhinya. Itulah yang disebut mencerai pada iddah, sebagaimana yang
diperintahkan Allah dalam firmanNya: Hai Nabi! Apabila kamu hendak mencerai
isterimu, maka cerailah dia pada iddahnya. Yakni menghadapi iddah, yaitu di
dalam keadaan suci.”
Di satu riwayat disebutkan:
“Perintahlah dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali,
kemudian cerailah dia dalam keadaan suci atau mengandung.” (Riwayat Bukhari)
Akan tetapi apakah talaq semacam itu dipandang sah
dan harus dilaksanakan atau tidak? Pendapat yang masyhur, bahwa talaq semacam
itu tetap sah, tetapi si pelakunya berdosa. Sementara ahli fiqih berpendapat
tidak sah, sebab talaq semacam itu samasekali tidak menurut aturan syara’ dan
tidak dibenarkan. Oleh karena itu bagaimana mungkin dapat dikatakan berlaku dan
sah?
Diriwayatkan:
“Sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya: bagaimana
pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mencerai isterinya waktu haidh? Maka
ia menceriterakan kepada si penanya tentang kisahnya ketika ia mencerai
isterinya waktu haidh, dan Rasulullah s.a. w. niengembalikan isterinya itu
kepadanya sedang Rasulullah tidak menganggapnya sedikitpun.” (Riwayat Abu Daud
dengan sanad yang sahih)
3.2.20.10
Bersumpah Untuk Mencerai Hukumnya Haram
Seorang muslim tidak dibenarkan menjadikan talaq
sebagai sumpah untuk mengerjakan ini atau meninggalkan itu, atau untuk
mengancam isterinya. Misalnya ia berkata kepada isterinya: “Apabila dia berbuat
begitu, maka ia tertalaq.”
Sumpah dalam Islam mempunyai redaksi khusus, tidak
boleh lain, yaitu bersumpah dengan nama Allah: Demi Allah. Sebab Rasulullah
s.a.w. pernah bersabda:
“Barangsiapa bersumpah dengan selain asma’ Allah,
maka sungguh ia berbuat syirik.” (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Hakim)
Dan sabdanya pula:
“Barangsiapa bersumpah, maka bersumpahlah dengan
nama Allah atau diam.” (Riwayat Muslim)
3.2.20.11
Perempuan yang Dicerai Tetap Tinggal di Rumah Suami Selama dalam Iddah
Dalam syariat Islam, perempuan yang dicerai wajib
tetap tinggal di rumah suaminya selama dalam iddah. Dia diharamkan keluar
rumah, dan suami diharamkan mengeluarkan bekas isterinya itu dari rumah tanpa
suatu alasan yang dapat dibenarkan.
Hal ini disebabkan suami, selama dalam iddah, masih
diperkenankan merujuk dan mengembalikan isteri kepada perlindungan perkawinan
untuk sekali lagi –apabila talaq ini baru satu atau dua kali. Sedang tinggalnya
seorang isteri di dalam rumah suami sangat memungkinkan untuk membangkitkan
perasaan suami dan mengingat-ingat serta berfikir sebelum habis iddah itu, dan
sebelum berakhirnya bulan-bulan iddah dimana perempuan diperintahkan supaya
menunggu guna mendapatkan suatu keyakinan bersihnya rahim serta melindungi hak
suami dan kehormatan isteri. Sebab hati selalu berubah, fikiran selalu baru,
seorang yang sedang marah kadang-kadang menjadi rela, orang yang naik pitam
kadang-kadang menjadi dingin dan orang yang benci kadang-kadang menjadi cinta.
Sehubungan dengan persoalan perempuan yang dicerai
ini, Allah s.w.t. telah berfirman dalam al-Quran sebagai berikut:
“Dan takutlah kamu kepada Allah, Tuhanmu. Jangan
kamu usir mereka itu dari rumah-rumah mereka dan jangan sampai mereka itu
keluar rumah, kecuali apabila mereka berbuat kejahatan yang terang-terangan;
dan yang demikian itu adalah batas-batas ketentuan Allah, dan barangsiapa melanggar
batas-batas ketentuan Allah, maka sungguh dia telah berbuat zalim pada dirinya
sendiri; kamu tidak tahu barangkali Allah akan mengadakan hal baru sesudah
itu.”(at-Thalaq: 1)
Kalau perceraian antara suami-isteri itu satu hal
yang tidak mungkin dielakkan lagi, maka yang dituntut dari kedua belah pihak
supaya perceraiannya itu dilakukan dengan baik, tidak menyakitkan, tidak
bikin-bikin dan tidak mengabaikan hak.
Firman Allah:
“Tahanlah mereka dengan baik atau cerailah mereka
dengan baik pula.” (at-Thalaq: 2)
“Maka tahanlah dengan baik atau lepaslah dengan baik
pula.” (at-Thalaq: 299)
“Untuk perempuan-perempuan yang dicerai harus diberi
hiburan (mata’) dengan baik, sebagai kewajiban atas orang-orang yang taqwa.”
(al-Baqarah: 241)
3.2.20.12
Talaq Harus Dijatuhkan Bertahap
Islam memberikan kepada seorang muslim tiga talaq
untuk tiga kali, dengan suatu syarat tiap kali talaq dijatuhkan pada waktu
suci, dan tidak disetubuhinya. Kemudian ditinggalkannya isterinya itu sehingga
habis iddah. Kalau tampak ada keinginan merujuk sewaktu masih dalan iddah, maka
dia boleh merujuknya. Dan seandainya dia tetap tidak merujuknya sehingga habis
iddah, dia masih bisa untuk kembali kepada isterinya itu dengan aqad baru lagi.
Dan kalau dia tidak lagi berhasrat untuk kembali, maka si perempuan tersebut
diperkenankan kawin dengan orang lain.
Kalau si laki-laki tersebut kembali kepada isterinya
sesudah talaq satu, tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan
jatuhnya talaq yang kedua, sedang jalan-jalan untuk menjernihkan cuaca sudah
tidak lagi berdaya, maka dia boleh menjatuhkan talaqnya yang kedua, dengan
syarat seperti yang kami sebutkan di atas; dan dia diperkenankan merujuk tanpa
aqad baru (karena masih dalam iddah) atau dengan aqad baru (karena sesudah habis
iddah).
Dan kalau dia kembali lagi dan dicerai lagi untuk
ketiga kalinya, maka ini merupakan suatu bukti nyata, bahwa perceraian antara
keduanya itu harus dikukuhkan, sebab persesuaian antara keduanya sudah tidak
mungkin. Oleh karena itu dia tidak boleh kembali lagi, dan si perempuan pun
sudah tidak lagi halal buat si laki-laki tersebut, sampai dia kawin dengan
orang lain secara syar’i. Bukan sekedar menghalalkan si perempuan untuk
suaminya yang pertama tadi.
Dari sini kita tahu, bahwa menjatuhkan talaq tiga
dengan satu kali ucapan, berarti menentang Allah dan menyimpang dari tuntunan
Islam yang lurus.
Tepatlah apa yang diriwayatkan, bahwa suatu ketika
Rasulullah s.a.w. pernah diberitahu tentang seorang laki-laki yang mencerai
isterinya tiga talaq sekaligus. Kemudian Rasulullah berdiri dan marah, sambil
bersabda:
“Apakah dia mau mempermainkan kitabullah, sedang
saya berada di tengah-tengah kamu? Sehingga berdirilah seorang laki-laki lain,
kemudian dia berkata: Ya Rasulullah! apakah tidak saya bunuh saja orang itu!”
(Riwayat Nasa’i)
3.2.20.13
Kembali dengan Baik atau Melepas dengan Baik
Kalau seorang suami mencerai isterinya dan iddahnya
sudah hampir habis, maka suami boleh memilih satu di antara dua:
1. Mungkin
dia merujuk dengan cara yang baik; yaitu dengan maksud baik dan untuk
memperbaiki, bukan dengan maksud membuat bahaya.
2. Mungkin
dia akan melepasnya dengan cara yang baik pula; yaitu dibiarkanlah dia sampai
habis iddahnya dan sempurnalah perpisahan antara keduanya itu tanpa suatu gangguan
dan tanpa diabaikannya haknya masing-masing.
Tidak dihalalkan seorang laki-laki merujuk isterinya
sebelum habis iddah dengan maksud jahat yaitu guna memperpanjang masa iddah;
dan supaya bekas isterinya itu tidak kawin dalam waktu cukup lama. Begitulah
apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah dulu. Perbuatan jahat ini
diharamkan Allah dalam kitabNya dengan suatu uslub (gaya bahasa) yang cukup
menggetarkan dada dan mendebarkan jantung. Maka berfirmanlah Allah:
“Apabila kamu mencerai isterimu, kemudian telah
sampai pada batasnya, maka rujuklah mereka itu dengan baik atau kamu lepas
dengan baik pula; jangan kamu rujuk dia dengan maksud untuk menyusahkan
lantaran kamu akan melanggar. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia
telah berbuat zalim pada dinnya sendiri. Dan jangan kamu jadikan ayat-ayat
Allah sebagai permainan; dan ingatlah akan nikmat Allah yang diberikan kepadamu
dan apa yang Allah turunkan kepadamu daripada kitab dan kebijaksanaan yang
dengan itu Dia menasehati kamu. Takutlah kepada Allah; dan ketahuilah, bahwa
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Baqarah: 231)
Dengan memperhatikan ayat ini, maka kita dapati di
dalamnya mengandung tujuh butir yang antara lain berisikan ultimatum,
peringatan dan ancaman. Kiranya cukup merupakan peringatan bagi orang yang
berjiwa dan mau mendengarkan.
3.2.20.14
Tidak Boleh Menghalang-Halangi Perempuan yang Dicerai, Untuk Kawin dengan
Laki-Laki Lain
Kalau si perempuan yang dicerai itu sudah habis
iddahnya, maka tidak diperkenankan suaminya, walinya atau yang lain
menghalang-halangi perempuan tersebut kawin dengan laki-laki lain. Mereka tidak
boleh mengaral jalan selama pihak laki-laki (khathib) dan pihak perempuan
(makhthubah) sudah sama-sama senang menurut cara-cara yang dibenarkan syara’
maupun adat.
Apa yang dilakukan oleh sementara bekas suami untuk
berusaha berbagai kemungkinan yang sifatnya demi melikwidir bekas isterinya,
serta memberikan beberapa ultimatum, baik secara langsung ataupun via
keluarganya apabila si perempuan tersebut hendak kawin. Cara semacam itu tidak
lain adalah perbuatan orang-orang bodoh (jahiliah).
Dan yang senada dengan itu ialah tidak ada usahanya
keluarga perempuan atau walinya untuk merujukkan perempuan tersebut kepada
bekas suaminya, sedang kedua belah pihak sudah sama-sama senang dan ingin
memperbaiki keretakan antara keduanya, padahal berdamai adalah lebih baik
seperti apa yang difirmankan Allah dalam al-Quran:
“Dan apabila kamu mencerai isterimu dan mereka itu
sudah sampai pada batas iddahnya, maka janganlah kamu menghalang-halangi mereka
kawin dengan (calon) suami mereka apabila mereka sudah sama-sama senang antara
mereka dengan cara yang baik. Yang demikian itu dijadikan nasehat untuk orang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara kamu. Yang demikian itu
lebih bersih dan lebih suci bagi kamu; dan Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui. (al-Baqarah: 232)
3.2.21
Hak Isteri yang Tidak Suka
Seorang perempuan apabila tidak suka kepada suaminya
tidak sanggup bergaul bersama, maka diperkenankan menebus dirinya dan membeli
kemerdekaannya dengan mengembalikan harta yang pernah diberikan oleh suami
kepadanya berupa maskawin, atau hadiah dengan sedikit berkurang atau lebih
menurut kesepakatan bersama. Akan tetapi yang lebih baik si laki-laki tidak
mengambil lebih dari apa yang pernah diberikan.
Firman Allah:
“Jika kamu kawatir mereka berdua tidak dapat
menegakkan batas-Batas ketentuan Allah, maka tidak dosa atas keduanya tentang
sesuatu yang ia menebus dengannya.” (al-Baqarah: 229)
Isteri Tsabit bin Qais pernah datang kepada Nabi
s.a.w. mengadukan:
“Ya Rasulullah! Sesungguhnya Tsabit bin Qais tidak
saya cela budi dan agamanya, tetapi saya tidak tahan marahnya. Kemudian Nabi
bertanya tentang apa yang pernah dia ambil dari suaminya itu. Ia menjawab:
Kebun. Lantas Nabi bertanya lagi., Apakah kamu mau mengembalikan kebun itu
kepadanya? Ia menjawab: Ya. Maka bersabdalah Nabi kepada Tsabit: Terimalah
kebun itu dan cerailah dia.” (Riwayat Bukhari dan Nasa’i)
Kendati demikian, seorang isteri tidak dibenarkan
cepat-cepat minta cerai tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan tanpa suatu
pendorong yang dapat diterima yang kiranya bisa membawa kepada perceraian
antara keduanya. Sebab Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
“Siapa saja perempuan yang minta cerai kepada
suaminya tanpa suatu sebab yang dapat dibenarkan, maka dia tidak akan mencium
bau sorga.” (Riwayat Abu Daud)
3.2.22
Menyusahkan Isteri Hukumnya Haram
Seorang suami tidak boleh menyusahkan dan berbuat
yang tidak baik dalam pergaulannya dengan isteri, dengan maksud supaya
isterinya itu mau menebus dirinya; yaitu dengan mengembalikan semua atau
sebagian harta yang pernah diberikan kepadanya, selama si isteri itu tidak
berbuat jahat.
Dalam hal ini Allah telah berfirman:
“Jangan kamu berlaku kasar terhadap mereka itu
lantaran kamu hendak pergi dengan membawa sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali apabila mereka itu berbuat kejahatan yang
terang-terangan.” (an-Nisa': 19)
Kalau pihak suami yang tidak suka itu ingin supaya
bercerai karena ada hasrat dengan orang lain, maka dia dilarang mengambil
sesuatu dari isterinya. Sebagaimana firman Allah:
“Dan apabila kamu berkehendak akan mengganti isteri
di tempat seorang isteri, padahal kamu telah memberi salah seorang dari mereka
harta yang banyak, maka jangan kamu ambil sedikitpun daripadanya, apakah kamu
akan mengambilnya dengan cara yang mengagetkan dan dosa yang terang? Bagaimana
kamu akan mengambilnya padahal sebagian kamu telah bersatu dengan sebagiannya
dan mereka itu telah mengambil daripadamu perjanjian yang keras?” (an-Nisa':
20-21)
3.2.23
Bersumpah Untuk Menjauhi Isteri, Hukumnya Haram
Salah satu keistimewaan Islam dalam melindungi hak
perempuan, yaitu melarang seorang suami yang marah kepada isterinya kemudian
menjauhi tempat tidur dan tidak mau mendekatinya dalam waktu yang kiranya tidak
mungkin dapat ditahan oleh sifat kewanitaan. Apabila meninggalkan tempat tidur
ini diperkuat dengan sumpah tidak akan menyetubuhinya, maka dia diberi masa
menunggu selama empat bulan; barangkali dalamasa menunggu itu hatinya menjadi
tenang, berkobarnya kemarahan bisa dingin dan suara kalbunya itu bisa ditarik
kembali.
Kalau dia bisa kembali kepada tuntunan dan bisa
bergaul dengan isterinya sebagaimana semula, sebelum habis waktu empat bulan
atau sudah sampai empat bulan, maka Allah tetap akan memberi ampunan terhadap
keteledorannya itu dan selalu membuka pintu taubat. Tetapi dengan syarat dia
harus membayar kafarah untuk menebus sumpahnya itu.
Dan apabila waktu empat bulan itu telah dilaluinya,
sedang dia belum menarik diri dari azamnya, maka dia sudah bebas dari sumpah,
tetapi isterinya diceraikan sebagai hukuman yang sesuai, karena dia tidak
menghiraukan hak isteri.
Sementara ahli fiqih ada yang berpendapat, bahwa
dengan berlalunya waktu otomatis talaqnya jatuh, tanpa menunggu keputusan
hakim.
Dan ada pula yang mensyaratkan diajukannya persoalan
tersebut kepada hakim setelah waktu yang ditentukan itu habis, kemudian hakim
akan memberikan afternatif apakah dia harus mencabut dan isterinya rela,
ataukah dia harus mencerainya. Kemudian dia harus memilih apa yang kiranya
manis buat dirinya.
Bersumpah tidak akan mendekati isteri, di dalam syariat
Islam dikenal dengan nama ila. Yang dalam hal ini Allah telati berfirman:
“Bagi orang-orang yang bersumpah akan menjauhi
isterinya, boleh menunggu empat bulan; jika mereka telah memenuhinya maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belaskasih. Dan jika mereka
bermaksud hendak mencerai, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui.” (al-Baqarah: 226-227)
Dibatasinya masa tunggu empat bulan, karena
kesempatan empat bulan itu sudah cukup bagi seorang suami untuk menarik diri
dan kembali ke jalan yang benar. Sebab masa empat bulan itu secara kebiasaan
sudah cukup bagi seorang perempuan bersabar diri dari berkumpul dengan
suaminya.
Dalam pada itu beberapa ahli tafsir meriwayatkan
kisah Umar Ibnul-Khattab ketika mengadakan ronda malam, tiba-tiba terdengar
suara perempuan bersyair:
Sungguh malam ini sangat panjang, sekelilingnya
penuh kelam
Situasinya menjadikan aku tidak baik, karena tidak
ada kekasih yang bisa kuajak bermain. Demi Allah, andaikata tidak takut akibat
Sungguh ranjang ini akan goncang.
Umar berusaha untuk menyelidiki kisah si perempuan
tersebut. Akhirnya diketahui, bahwa suaminya telah hilang dalam daftar mujahid
pada masa yang sudah cukup lama.
Umar kemudian menanyakan kepada puterinya Hafsah
berapa lama perempuan bisa bersabar diri dari suaminya? Jawab Hafsah: empat
bulan.
Waktu itulah Umar berniat untuk menetapkan suatu
peraturan, bahwa seorang suami tidak boleh meninggalkan isterinya lebih dari
empat bulan
3.2 Hubungan Antara Orang Tua Dan
Anak
3.3.1
Islam Memelihara Nasab
Anak adalah rahasia orang tua dan pemegang
keistimewaannya. Waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang, dan
sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak sebagai pelanjut dan lambang keabadian.
Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua,
termasuk juga ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia
adalah belahan jantungnya dan potongan dari hatinya.
Justru itu Allah mengharamkan zina dan mewajibkan
kawin, demi melindungi nasab, sehingga air tidak tercampur, anak bisa dikenal
siapa ayahnya dan ayah pun dapat dikenal siapa anaknya.
Dengan perkawinan, seorang isteri menjadi hak milik
khusus suami dan dia dilarang berkhianat kepada suami, atau menyiram tanamannya
dengan air orang lain. Oleh karena itu setiap anak yang dilahirkan dari tempat
tidur suami, mutlak menjadi anak suami itu, tanpa memerlukan pengakuan atau
pengumuman dari seorang ayah; atau pengakuan dari seorang ibu, sebab setiap
anak adalah milik yang seranjang. Begitulah menurut apa yang dikatakan oleh
Rasulullah s.a.w.26
3.3.2
Ayah Tidak Boleh Mengingkari Nasab Anaknya
Dari sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak
yang dilahirkan oleh isterinya yang seranjang dengan dia dalam perkawinan yang
sah. Pengingkaran seorang suami terhadap nasab anaknya akan membawa bahaya yang
besar dan suatu aib yang sangat jelek, baik terhadap isteri maupun terhadap
anaknya itu sendiri. Justru itu seorang suami tidak boleh mengingkari anaknya
karena suatu keraguan, atau dugaan atau karena ada berita tidak baik yang
mendatang.
Adapun apabila seorang isteri mengkhianati suami
dengan beberapa bukti yang dapat dikumpulkan dan beberapa tanda (qarinah) yang
tidak dapat ditolak, maka syariat Islam tidak membiarkan seorang ayah harus
memelihara seorang anak yang menurut keyakinannya bukan anaknya sendiri; dan
memberikan waris kepada anak yang menurut keyakinannya tidak berhak
menerimanya; atau paling tidak anak yang selalu diragukan identitasnya
sepanjang hidup.
Untuk memecahkan problem ini, Islam membuat jalan ke
luar, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama li’an. Maka barangsiapa yakin
atau menuduh, bahwa isterinya telah membasahi ranjangnya dengan air orang lain
kemudian si isteri itu melahirkan seorang anak padahal tidak ada bukti yang
tegas, maka waktu itu suami boleh mengajukan ke pengadilan, kemudian pengadilan
mengadakan mula’anah (sumpah dengan melaknat) antara kedua belah pihak, yang
penjelasannya sebagaimana diterangkan dalam al-Quran:
“Para suami yang menuduh isterinya padahal mereka
tidak mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari
mereka ialah empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa ia termasuk
orang-orang yang benar. Sedang yang kelimanya ialah, bahwa laknat Allah akan
menimpa kepadanya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Dan dihilangkan
dari perempuan itu siksaan (dera) lantaran dia bersaksi empat kali kesaksian
dengan nama Allah, bahwa dia (laki-laki) termasuk orang-orang yang berdusta.
Sedang yang kelimanya: bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan)
jika dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang benar.” (an-Nur: 6-9)
Sesudah itu keduanya diceraikan untuk
selama-lamanya, dan anaknya ikut kepada ibunya.
3.3.3
Mengambil Anak Angkat Hukumnya Haram dalam Islam
Kalau seorang ayah sudah tidak dibolehkan memungkiri
nasab anak yang dilahirkan di tempat tidurnya, maka begitu juga dia tidak
dibenarkan mengambil anak yang bukan berasal dari keturunannya sendiri.
Orang-orang Arab di masa jahiliah dan begitu juga
bangsa-bangsa lainnya, banyak yang menisbatkan orang lain dengan nasabnya
dengan sesukanya, dengan jalan mengambil anak angkat.
Seorang laki-laki boleh memilih anak-anak kecil
untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka si anak tersebut menjadi
satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama senang dan
sama-sama susah dan mempunyai hak yang sama.
Mengangkat seorang anak seperti ini sedikitpun tidak
dilarang, kendati si anak yang diangkat itu jelas jelas mempunyai ayah dan nasabnya
pun sudah dikenal.
Islam datang, sedang masalah pengangkatan anak ini
tersebar luas di masyarakat Arab, sehingga Nabi Muhammad sendiri mengangkat
seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah sejak zaman jahiliah. Zaid waktu itu
seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam salah satu penyerbuan
jahiliah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan bibinya
yang bernama Khadijah, dan selanjutnya diberikan oleh Khadijah kepada Nabi
Muhammad s.a.w. sesudah beliau kawin dengan dia.
Setelah ayah dan pamannya mengetahui tempatnya,
kemudian mereka minta kepada Nabi, tetapi oleh Nabi disuruh memilih. Namun Zaid
lebih senang memilih Nabi sebagai ayah daripada ayah dan pamannya sendiri.
Lantas oleh Nabi dimerdekakan dan diangkatnya sebagai anaknya sendiri dan
disaksikan oleh orang banyak.
Sejak itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin
Muhammad, dan dia termasuk pertama kali bekas hamba yang memeluk Islam.
3.3.3.1
Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Peraturan Jahiliah Ini
Islam berpendapat secara positif, bahwa pengangkatan
anak adalah suatu pemalsuan terhadap realita, suatu pemalsuan yang menjadikan
seseorang terasing dari lingkungan keluarganya. Dia dapat bergaul bebas dengan
perempuan keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahram padahal hakikatnya
mereka itu samasekali orang asing. Isteri dari ayah yang memungut bukan ibunya
sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia
sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya itu.
Anak angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi
keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerima. Oleh karena itu tidak
sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan
dari kalangan mereka ini yang merampas hak milik mereka dan menghalang pusaka
yang telah menjadi harapannya.
Kedengkian ini banyak sekali membangkitkan hal-hal
yang tidak baik, dapat menyalakan api fitnah dan memutus famili dan
kekeluargaan.
Justru itu al-Quran menghapus aturan jahiliah ini
dan diharamkan untuk selama-lamanya serta dihapusnya seluruh
pengaruh-pengaruhnya.
Firman Allah:
“Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu
sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan
mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke
jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapa-bapa mereka,
sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa
mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu.” (al-Ahzab:
4-5)
Baiklah kita renungkan ungkapan al-Quran yang bersih
ini, yaitu kalimat: “Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai
anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan
mulut-mulutmu.”
Kalimat ini memberi pengertian, bahwa pengakuan anak
angkat itu hanya omongan kosong, di belakangnya tidak ada realita sedikitpun.
Perkataan lidah tidak dapat mengganti kenyataan dan
tidak dapat mengubah realita, tidak dapat menjadikan orang luar sebagai
kerabat, dan orang asing sebagai pokok nasab, dan tidak pula anak angkat
sebagai anak betul-betul.
Perkataan mulut tidak dapat mengalirkan darah ke
dalam urat dan tidak dapat membentuk perasaan kebapaan ke dalam hati seseorang,
dan tidak pula mengalir dalam kalbu anak angkat jiwa kehalusan sebagai anak
betul; dia tidak dapat mewarisi keistimewaan-keistimewaan khusus dari ayah
angkatnya dan ciri-ciri keluarga, baik jasmaniah, intelek maupun kejiwaannya.
Islam telah menghapuskan seluruh pengaruh yang
ditimbulkan oleh aturan ini, misalnya tentang warisan dan dilarangnya kawin
dengan bekas isteri anak angkat.
Dalam masalah warisan, karena tidak ada hubungan
darah, perkawinan dan kerabat yang sebenarnya, maka oleh al-Quran hal itu
samasekali tidak bernilai dan tidak menjadi penyebab mendapat warisan. Bahkan
al-Quran mengatakan:
“Keluarga sebagian mereka lebih berhak terhadap
sebagian, menurut kitabullah.” (al-Anfal: 75)
Dan dalam hal perkawinan, al-Quran telah
mengumandangkan, bahwa di antara perempuan-perempuan yang haram dikawin ialah
bekas isteri anak betul-betul, bukan bekas isteri anak angkat. Firman Allah:
“Dan bekas isteri-isteri anakmu yang berasal dari
tulang rusukmu sendiri.” (an-Nisa': 24)
Oleh karena itu seseorang dibenarkan kawin dengan
bekas isteri anak angkatnya, karena perempuan tersebut pada hakikatnya adalah
bekas isteri orang lain. Justru itu tidak salah kalau dia mengawininya apabila
telah dicerai oleh suaminya.
3.3.3.2
Lembaga Anak Angkat Dihapus dengan praktek, Setelah Dihapusnya dengan Perkataan
Persoalan ini tidak begitu mudah, sebab masalah anak
angkat sudah menjadi aturan masyarakat dan berakar dalam kehidupan bangsa Arab.
Oleh karena itu dalam kebijaksanaan Allah untuk menghapus dan memusnahkan
pengaruh-pengaruh perlembagaan ini tidak cukup dengan omongan saja, bahkan
dihapusnya dengan omongan dan sekaligus dengan praktek.
Hikmah kebijaksanaan Allah dalam persoalan ini telah
memilih Rasulullah s.a.w. sebagai pelakunya, untuk menghilangkan setiap
keragu-raguan dan demi menolak setiap keberatan orang mu’min tentang
dibolehkannya mengawini bekas isteri anak-anak angkatnya; dan supaya mereka
yakin, bahwa apa yang disebut halal, yaitu semua yang dihalalkan Allah; dan apa
yang disebut haram, yaitu semua yang diharamkan Allah.
Zaid bin Haritsah yang kita kenal sebagai Zaid bin
Muhammad, telah dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy sepupu Nabi sendiri.
Tetapi karena kehidupan mereka berdua selalu goncang dan Zaid sendiri sudah
banyak mengadu kepada Nabi tentang keadaan isterinya, sedang Nabi sendiri juga
mengetahui keinginan Zaid untuk mencerainya, dan dengan wahyu Allah, Zainab
akan dikawin oleh Nabi, tetapi kelemahan manusia tempoh-tempoh sangat
mempengaruhi, maka Nabi takut bertemu dengn orang banyak. Oleh karena itu dia
katakan kepada Zaid: “Tahanlah isterimu itu dan takutlah kepada Allah!”
Di sinilah ayat al-Quran kemudian turun untuk
menegur sikap Nabi. Dan seketika itu beliau menyingsingkan lengan bajunya untuk
tampil ke tengah-tengah masyarakat, guna menghapus sisa-sisa aturan kuno dan
tradisi yang sudah usang yang mengharamkan seseorang mengawini bekas isteri
anak angkatnya yang pada hakikatnya dia adalah orang asing itu. Maka
berfirmanlah Allah:
“Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang
yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan
kepadanya (Zaid bin Haritsah): ‘tahanlah untukmu isterimu dan takutlah kepada
Allah’, dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan
engkau takut manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engkau takutinya. Maka
tatkala Zaid memutuskan untuk mencerai Zainab, kami (Allah) kawinkan engkau
dengan dia, supaya tidak menjadi beban bagi orang-orang mu’min tentang bolehnya
mengawini bekas isteri anak-anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan
mencerainya, dan keputusan Allah pasti terlaksana.” (al-Ahzab: 37)
Kemudian al-Quran meneruskan untuk melindungi
pribadi Nabi Muhammad s.a.w. dalam perbuatan ini dan memperkuat perkenannya
serta menghilangkan anggapan dosa karena perbuatannya itu. Maka berkatalah
al-Quran:
“Tidak boleh ada keberatan atas diri Nabi dalam hal
yang telah diwajibkan oleh Allah kepadanya menurut sunnatullah pada orang-orang
yang telah lalu sebelumnya, sebab perintah Allah itu suatu ketentuan yang telah
ditentukan, (yaitu) orang-orang yang menyampaikan suruhan Allah dan mereka
takut kepadaNya, dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah; dan
kiranya cukuplah Allah sebagai pengira. Tidaklah Muhammad itu ayah bagi
seseorang dari laki-laki kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup bagi
sekalian Nabi, dan Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu.” (al-Ahzab: 38-40)
3.3.3.3
Mengangkat Anak dengan Arti Mendidik dan Memelihara
Begitulah pengangkatan anak yang dihapus oleh Islam;
yaitu seorang menisbatkan anak kepada dirinya padahal dia tahu, bahwa dia itu
anak orang lain. Anak tersebut dinisbatkan kepada dirinya dan keluarganya, dan
baginya berlaku seluruh hukum misalnya: bebas bergaul, menjadi mahram, haram
dikawin dan berhak mendapat waris.
Di sini ada semacam pengangkatan anak yang diakui
oleh beberapa orang, tetapi pada hakikatnya bukan pengangkatan anak yang
diharamkan oleh Islam. Yaitu seorang ayah memungut seorang anak kecil yatim
atau mendapat di jalan, kemudian dijadikan sebagai anaknya sendiri baik tentang
kasihnya, pemeliharaannya maupun pendidikannya; diasuh dia, diberinya makan,
diberinya pakaian, diajar dan diajak bergaul seperti anaknya sendiri. Tetapi
bedanya, dia tidak menasabkan pada dirinya dan tidak diperlakukan padanya
hukum-hukum anak seperti tersebut di atas.
Ini suatu cara yang terpuji dalam pandangan agama
Allah, siapa yang mengerjakannya akan beroleh pahala kelak di sorga. Seperti
yang dikatakan sendiri oleh Rasululfah s.a.w. dalam hadisnya:
“Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim,
seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia renggangkan
antara keduanya. (Riwayat Bukhari, Abu Daud dan Tarmizi)
Laqith (anak yangdipungut di jalan) sama dengan anak
yatim. Tetapi untuk anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil (anak
jalan) yang oleh Islam kita dianjurkan untuk memeliharanya.
Apabila seseorang yang memungutnya itu tidak
mempunyai keluarga, kemudian dia bermaksud akan memberikan hartanya itu kepada
anak pungutnya tersebut, maka dia dapat menyalurkan melalui cara hibah sewaktu
dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka, sebelum
meninggal dunia.
3.3.4
Pencangkokan Sperma (Bayi Tabung)
Kalau Islam telah melindungi keturunan, yaitu dengan
mengharamkan zina dan pengangkatan anak, sehingga dengan demikian situasi
keluarga selalu bersih dari anasir-anasir asing, maka untuk itu Islam juga
mengharamkan apa yang disebut pencangkoan sperma (bayi tabung), apabila
ternyata pencangkoan itu bukan sperma suami. Bahkan situasi demikian, seperti
kata Syekh Syaltut, suatu perbuatan zina dalam satu waktu, sebab intinya adalah
satu dan hasilnya satu juga, yaitu meletakkan air laki-laki lain dengan suatu kesengajaan
pada ladang yang tidak ada ikatan perkawinan secara syara’ yang dilindungi
hukum naluri dan syariat agama. Andaikata tidak ada pembatasan-pembatasan dalam
masalah bentuk pelanggaran hukum, niscaya pencangkoan ini dapat dihukumi
berzina yang oleh syariat Allah telah diberinya pembatasan; dan kitab-kitab
agama akan menurunkan ayat tentang itu.
Apabila pencangkoan yang dilakukan itu bukan air
suami, maka tidak diragukan lagi adalah suatu kejahatan yang sangat buruk
sekali, dan suatu perbuatan mungkar yang lebih hebat daripada pengangkatan
anak. Sebab anak cangkokan dapat menghimpun antara pengangkatan anak, yaitu
memasukkan unsur asing ke dalam nasab, dan antara perbuatan jahat yang lain
berupa perbuatan zina dalam satu waktu yang justru ditentang oleh syara’ dan
undang-undang, dan ditentang pula oleh kemanusiaan yang tinggi, dan akan
meluncur ke derajat binatang yang tidak berperikemanusiaan dengan adanya ikatan
kemasyarakatan yang mulia.27
3.3.5
Menisbatkan Anak Kepada Selain Ayahnya Sendiri Menyebabkan Laknat
Sebagaimana Islam telah mengharamkan seseorang ayah
mengingkari anaknya tanpa suatu alasan yang dapat dibenarkan, maka begitu juga
Islam tidak membenarkan seorang anak menyandarkan nasabnya kepada orang lain;
dan dipanggil bukan dengan panggilan ayahnya sendiri. Nabi menilai perbuatan
tersebut sebagai kemungkaran yang menyebabkan laknat dari Allah dan manusia.
Hal ini telah diriwayatkan dari atas mimbar oleh Ali
r.a. dari suatu lembaran yang ada padanya, dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:
“Barangsiapa mengaku ayah bukan ayahnya sendiri atau
membangsakan dirinya kepada keluarga lain, maka dia akan mendapat laknat Allah,
Malaikat dan manusia semuanya, Allah tidak akan menerima daripadanya nanti di
hari kiamat, taubat maupun tebusan.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan dari Saad bin Abu Waqqash dari Rasulullah
s.a.w., ia bersabda:
“Barangsiapa mengaku ayah bukan ayahnya sendiri,
sedang dia tahu bahwa dia itu bukan ayahnya, maka sorga tidak mau menerima
dia.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3.3.6
Jangan Membunuh Anak
Sesudah Islam melindungi masalah nasab dengan cara
demikian, kemudian Islam juga menetapkan untuk anak dan orang tua,
masing-masing mempunyai hak, sesuai dengan kedudukannya sebagai orang tua dan
anak. Di samping itu Islam juga mengharamkan beberapa hal kepada mereka
masing-masing, demi melindungi dan menjaga hak-hak tersebut.
Anak mempunyai hak hidup. Ayah dan ibu tidak boleh
merenggut hidupnya si anak, baik dengan membunuh ataupun dengan menanam
hidup-hidup, sebagaimana yang biasa dilakukan orang-orang Arab di zaman
jahiliah. Ketentuan ini berlaku untuk anak laki-laki maupun wanita. Firman
Allah:
“Jangan kamu membunuh anak-anakmu lantaran takut
kelaparan, Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka maupun kepadamu;
sesungguhnya membunuh mereka suatu dosa besar.” (al-Isra': 31)
“Dan apabila diperiksa anak perempuan yang ditanam
hidup-hidup. Sebab dosa apakah dia dibunuh?” (at-Takwir: 8-9)
Karena dorongan untuk berbuat yang mungkar ini ada
kalanya soal ekonomi, misainya karena takut kelaparan dan kemiskinan, atau
alasan non-ekonomis, misalnya kaiena takut tercela kalau si anak itu kebetulan
perempuan, maka Islam mengharamkan perbuatan biadab ini dengan sangat keras
sekali. Sebab perbuatan seperti itu dapat memutuskan kekeluargaan dan
menyebabkan permusuhan.
Untuk masalah ini Rasulullah s.a.w. pernah ditanya:
dosa apakah yang teramat besar? Jawab Nabi: yaitu engkau menyekutukan Allah
padahal Dialah yang menjadikan kamu. Kemudian apa lagi? Maka jawabnya: yaitu
engkau bunuh anakmu lantaran kamu takut dia makan bersamamu. (Riwayat Bukhari
dan Muslim).
Rasulullah s.a.w. pernah juga membai’at orang-orang
perempuan sebagaimana halnya ia membai’at orang laki-laki; yaitu dengan
melarangnya perbuatan jahat tersebut dan supaya dihentikan.
Bai’at tersebut berbunyi demikian:
“Hendaknya mereka (perempuan) tidak menyekutukan
Allah sedikitpun dan tidak mencuri dan tidak berzina dan tidak membunuh
anak-anak mereka.” (al-Mumtahinah: 12)
Dan di antara hak anak yang harus ditunaikan oleh
ayahnya, ialah memberikan nama yang baik. Seorang ayah tidak boleh memberi nama
anaknya dengan nama yang dapat mengganggu perasaan anak apabila dia sudah cukup
dewasa. Dan diharamkan memberi nama anaknya dengan Hamba Lain Allah misalnya:
Abdun Nabi, (hamba Nabi), Abdul Masih (hamba Isa al-Masih) dan sebagainya.
Di samping itu anak juga mempunyai hak perlindungan,
pendidikan dan nafkah yang samasekali tidak boleh diabaikan. Sabda Nabi:
“Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan tiap kamu akan
dimintai pertanggungjawaban tentang yang dipimpinnya itu.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
“Cukup berdosa seseorang yang mengabaikan orang yang
menjadi tanggungannya.” (Riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Hakim)
“Sesungguhnya Allah akan minta pertanggungjawaban
kepada setiap pemimpin terhadap yang dipimpinnya, apakah dia itu memperhatikan,
ataukah mengabaikan, sampai pun Ia akan minta pertanggungjawaban kepada seorang
laki-laki tentang keluarga rumahnya.” (Riwayat Ibnu Hibban)
3.3.7
Persamaan dalam Pemberian Kepada Anak-anak
Seorang ayah harus menyamakan antara anak-anaknya
dalam pemberian, sehingga dengan demikian mereka akan berbuat baik kepada ayah
dengan lama.
Di samping itu seorang ayah dilarang mengistimewakan
pemberiannya kepada salah seorang di antara mereka tanpa ada suatu kepentingan
yang sangat, sebab yang demikian itu akan menjengkelkan hati yang lain dan akan
mengobarkan api permusuhan dan kebencian sesama mereka. Ibu dalam hal ini sama
dengan ayah.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
“Berlaku adillah kamu terhadap anak-anakmu.” 3 kali.
(Riwayat Ahmad, Nasa’i dan Abu Daud)
Kisah timbulnya hadis ini adalah sebagai berikut:
Isteri Basyir bin Saad al-Ansari meminta kepada suaminya supaya memberikan
harta dengan istimewa kepada anaknya yang bernama Nu’man –berupa kebun dan
hamba– dan ia bermaksud akan mengkukuhkan hibah ini dan ia minta kepada Basyir
supaya disaksikan oleh Nabi s.a.w. Kemudian pergilah Basyir kepada Nabi dan
berkata:
“Ya Rasulullah! Anak perempuan si fulan (isteriku)
minta kepadaku supaya aku memberikan hambaku kepada anaknya. Kemudian Nabi
bertanya: Apakah dia mempunyai saudara? Ia menjawab: Ya. Nabi bertanya lagi:
Apakah semuanya kamu beri seperti apa yang kamu berikan kepadanya? Ia menjawab:
Tidak! Kemudian Nabi bersabda: Yang demikian ini tidak baik, dan saya sendiri
tidak akan mau menjadi saksi kecuali pada hal yang baik.” (Riwayat Muslim,
Ahmad dan Abu Daud)
Dalam satu riwayat dikatakan oleh Nabi:
“Jangan kamu jadikan aku untuk menyaksikan sesuatu
dosa. Sesungguhnya anakmu mempunyai hak yang harus kamu tunaikan, yaitu
hendaknya kamu berlaku adil di antara mereka; sebagaimana kamu mempunyai hak
yang harus ditunaikan oleh anak-anakmu, yaitu hendaknya mereka itu berbuat baik
kepadamu.” (Riwayat Abu Daud)
Dan dikatakan pula oleh Nabi:
“Takutlah kepada Allah dan berlaku adillah terhadap
anak-anakmu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa melebihkan
itu diperbolehkan jika ada sebab, misalnya si anak sangat membutuhkan karena
suatu kesengsaraan dan sebagainya yang tidak diderita oleh saudara-saudaranya
yang lain.28
3.3.8
Menegakkan Hukum Waris dalam Batas Ketentuan Allah
Termasuk ketentuan seperti tersebut di atas, ialah
dalam hal warisan. Seorang ayah tidak dibenarkan menghalangi warisan untuk
sebagian anaknya. Dia tidak dibenarkan menghalangi waris untuk anak-anaknya
yang perempuan atau menghalang waris untuk anak-isterinya yang tidak berada di
sampingnya.
Begitu juga seorang kerabat tidak boleh menghalangi
kerabatnya yang berhak mendapat waris, dengan suatu policy (siasat) yang
dibuat-buat. Sebab masalah warisan adalah suatu undang-undang yang telah
ditetapkan Allah dengan segala pengetahuannya, keadilannya dan
kebijaksanaannya. Ia akan memberikan haknya masing-masing dan Ia perintahkan
kepada segenap manusia untuk melaksanakannya menurut garis-garis yang telah
ditentukan. Oleh karena itu barangsiapa menyalahi aturan ini, baik dalam
pembagiannya maupun batas-Batas ketentuannya, sama dengan menuduh jahat kepada
Allah.
Persoalan waris ini telah disebutkan Allah dalam
tiga ayat; yang pada penutup ayat pertama Allah berfirman sebagai berikut:
“Ayah-ayah kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka itu yang lebih dekat manfaatnya buat kamu.
(Yang demikian itu) adalah satu ketentuan dari Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (an-Nisa': 11)
Dan pada akhir ayat kedua Ia berfirman:
“(Yang demikian itu) tidak akan menyusahkan (ahli
waris). Sebab sudah menjadi satu ketentuan dari Allah, sedang Allah Maha
Mengetahui dan Maha Sabar. Demikian itu adalah ketentuan-ketentuan Allah. Oleh
karena itu barangsiapa taat kepada Allah dan rasulNya, maka Ia akan
memasukkannya ke dalam sorga-sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka akan kekal abadi di dalamnya; dan yang demikian itu adalah kebagiaan
yang sangat besar. Dan barangsiapa durhaka kepada Allah dan RasulNya serta melanggar
ketentuan-ketentuan Allah, maka Ia akan memasukkannya ke dalam neraka yang
kekal abadi di dalamnya, dan dia akan mendapat siksaan yang sangat hina, ”
(an-Nisa': 12-14)
Dan di akhir ayat ketiga Ia berfirman:
“Allah menjelaskan kepadamu supaya kamu tidak sesat;
dan Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu.” (an-Nisa': 176)
Justru itu, barangsiapa yang menyalahi hukum Allah
dalam masalah warisan ini, berarti dia telah sesat dari jalan yang benar yang
telah dijelaskan oleh Allah sendiri, dan berarti pula dia melanggar
ketentuan-ketentuan Allah, Oleh karenanya tunggulah hukuman Allah, yaitu:
Neraka yang dia akan kekal di dalamnya, dan dia akan beroleh siksaan yang
sangat hina
3.3.9
Durhaka Kepada Dua Orang Tua, Dosa Besar
Kewajiban anak terhadap orang -tua, yaitu berbuat
baik, taat dan menghormat. Ini sesuai dengan panggilan fitrah yang harus
dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
Dan yang lebih hebat lagi ialah hak ibu, sebab
dialah yang paling berat menanggung penderitaan waktu mengandung, melahirkan, menyusui,
dan mengasuh.
Firman Allah Ta’ala:
“Dan kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat
baik kepada ibu-bapanya, ibunya telah mengandung dia dengan susah-payah dan
melahirkannya dengan susah-payah pula; mengandung dan menyusuinya selama 30
bulan.” (al-Ahqaf: 16)
Diriwayatkan:
“Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi dan
bertanya: Siapakah manusia yang lebih berhak saya kawani dengan baik? Ia
menjawab: Ibumu! Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Ia menjawab: Ibumu! Dia
bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Ia menjawab: Ibumu! Dia bertanya lagi:
Kemudian siapa lagi? Ia menjawab: Ayahmu!” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Nabi anggap durhaka kepada dua orang tua itu sebagai
dosa besar, sesudah syirik. Begitulah sebagaimana ungkapan al-Quran.
Oleh karena itu dalam hadisnya, Nabi Muhammad s.a.w.
bersabda:
“Maukah kamu saya terangkan sebesar-besar dosa besar
–tiga kali. Mereka menjawab: Mau, ya Rasulullah!
Maka bersabdalah Nabi, yaitu: menyekutukan Allah,
durhaka kepada dua orang tua –waktu itu dia berdiri sambil bersandar, kemudian
duduk, dan berkata: Ingatlah! Omongan dusta dan saksi dusta.” (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
“Ada tiga orang yang tidak akan masuk sorga: 1)
orang yang durhaka kepada dua orang tua; 2) laki-laki yang tidak ada perasaan
cemburu terhadap keluarganya; 3) perempuan yang menyerupai laki-laki.” (Riwayat
Nasa’i, Bazzar dan Hakim)
“Semua dosa akan ditangguhkan Allah sampai nanti
hari kiamat apa saja yang Dia kehendaki, kecuali durhaka kepada dua orang tua,
maka sesungguhnya Allah akan menyegerakan kepada pelakunya dalam hidupnya (di
dunia) sebelum meninggal.” (Riwayat Hakim dan ia sahkan sanadnya)
Allah memperkuat pesannya untuk berbuat baik kepada
dua orang tua ini, ketika kedua orang tua tersebut telah mencapai umur lanjut,
kekuatannya sudah mulai menurun, mereka sudah mulai sangat membutuhkan
pertolongan dan dijaganya perasaannya yang mudah tersinggung itu. Dalam hal ini
Allah berfirman sebagai berikut:
“Tuhanmu telah memerintahkan hendaklah kamu tidak
berbakti kecuali kepadaNya dan berbuat baik kepada dua orang tua, jika salah
satu di antara mereka atau keduanya sudah sampai umur tua dan berada dalam
pemeliharaanmu, maka janganlah kamu katakan kepada mereka itu kata-kata ‘uff’
(kalimat yang tidak menyenangkan hati), dan jangan kamu bentak mereka, tetapi
katakanlah kepada mereka berdua kata-kata yang mulia. Dan rendahkanlah terhadap
mereka berdua sayap kerendahan karena kasih, dan doakanlah kepada Tuhanmu: Ya
Tuhanku! Berilah rahmat mereka itu, sebagaimana mereka telah memeliharaku di waktu
aku masih kecil.” (al-Isra': 23-24)
Beberapa atsar (omongan para sahabat) menyebutkan
dalam mengiringi ayat-ayat ini dengan mengatakan: andaikata ada kalimat yang
oleh Allah dipandang lebih rendah daripada uff, niscaya Ia haramkan juga.
3.3.9.1
Membuat Gara-Gara yang Menyebabkan Dicacinya Dua Orang Tua, Termasuk Dosa Besar
Lebih dari itu, bahwa Rasululiah s.a.w. tidak
menjadikan gara-gara dicacinya dua orang tua hanya sekedar haram, tetapi
termasuk dosa besar. Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya di antara sebesar-besar dosa besar,
ialah seseorang melaknat orang tuanya sendiri –kemudian para sahabat merasa
heran, bagaimana mungkin seorang yang berakal dan beriman akan melaknat orang
tuanya, padahal mereka adalah penyebab hidupnya. Kemudian mereka itu bertanya:
bagaimana bisa jadi seseorang akan melaknat dua orang tuanya? Maka jawab Nabi:
yaitu dia mencaci ayah orang lain kemudian orang tersebut mencaci ayahnya, dan
ia mencaci ibu orang lain, kemudian orang tersebut mencaci ibunya.” (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
Kalau ini tidak boleh, apalagi mencaci kedua orang
tua di hadapannya sendiri.
3.3.9.2
Pergi ke Medan Jihad Tanpa Izin Orang Tua, Tidak Boleh
Demi perhatian Islam terhadap kerelaan dua orang
tua, maka Islam tidak membenarkan seorang anak pergi ke medan jihad tanpa
mendapat izin dua orang tua, padahal fisabilillah mempunyai kedudukan yang
sangat tinggi dalam Islam yang tidak dapat dibandingkan dengan sekedar
sembahyang malam dan puasa di siang hari.
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash meriwayatkan:
“Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi minta izin
pergi berperang, kemudian Nabi bertanya: Apakah kedua orang tuamu masih hidup?
Ia menjawab: Masih. Maka sabda Nabi: Berjuanglah untuk kedua orang tuamu itu.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim) – Yakni jadikanlah medan jihadmu itu dengan jalan
berbuat baik dan melindungi kedua orang tuamu.
Dalam satu riwayat dikatakan:
“Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi s.a.w.,
kemudian berkata: aku telah berbai’at kepadamu untuk pergi hijrah dan berperang
demi mencari pahala dari Allah. Lantas Nabi bertanya: Apakah salah satu dari
kedua orang tuamu itu masih hidup? Ia menjawab: Betul, bahkan kedua-duanya
masih hidup. Kemudian Nabi bertanya lagi: Apa betul kamu mencari pahala Allah?
Ia menjawab: Betul! Maka jawab Nabi: Pulanglah, temui kedua orang tuamu itu,
kemudian berbuat baiklah dalam bergaul dengan keduanya.” (Riwayat Muslim)
Dan diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash
juga, ia berkata:
“Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, kemudian
berkata: saya datang berbai’at kepadamu untuk berhijrah, tetapi saya tinggalkan
kedua orang tuaku dengan menangis Maka jawab Nabi: Pulanglah dan perbuatlah
kedua orang tuamu itu ketawa, sebagaimana kamu perbuat mereka menangis.”
(Riwayat Bukhari dan lain-lain)
Abu Said meriwayatkan:
“Ada seorang laki-laki dari Yaman pergi ke tempat
Nabi s.a.w. Lantas Nabi bertanya: Apakah kamu masih mempunyai salah seorang
keluarga di Yaman? Ia menjawab: Ya, dua orang tua saya. Nabi bertanya lagi:
Apakah keduanya itu telah memberi izin kepadamu? Ia menjawab: Tidak! Kemudian
Nabi bersabda: Pulanglah, dan minta izinlah kepada keduanya, kalau mereka itu
memberi izin maka pergilah berperang, dan jika tidak, maka berbuat baiklah
kepada keduanya.” (Riwayat Abu Daud)
3.3.9.3
Dua Orang Tua yang Musyrik
Seindah-indah ajaran yang dibawa oleh Islam dalam
hal bergaul dengan dua orang tua, di antaranya ialah Islam melarang berdurhaka
kepada dua orang tua, sekalipun mereka itu musyrik, bahkan kendati mereka itu
sungguh-sungguh dalam kemusyrikannya. Mereka mengajak kepada anaknya untuk
berbuat syirik dengan seluruh usaha dan perjuangan supaya anaknya pindah agama.
Dalam hal ini Allah telah berfirman sebagai berikut:
“Hendaklah kamu bersyukur kepadaku dan kepada dua
orang tuamu; kepadakulah tempat kembali. Dan jika mereka itu bersungguh-sungguh
mempengaruhimu supaya kamu menyekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu turut mereka itu, tetapi
berkawanlah dengan mereka di dunia ini dengan cara yang baik; dan ikutilah
jalan orang yang taubat kepadaku; kemudian kepadakulah tempat kembalimu, maka
akan kujelaskan kepadamu apa-apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 14-15)
Setiap muslim diperintah dalam kedua ayat ini agar
tidak mau menuruti kedua orang tua terhadap apa yang mereka usahakan dan mereka
perintahkannya –dalam hal kedurhakaan– sebab sedikitpun kita tidak boleh
menurut manusia dalam hal durhaka kepada Allah (laa tha’ata limakhluqin
fima’shiyatil khaliq). Adakah maksiat yang lebih besar selain syirik? Namun si
anak tetap diperintah supaya bergaul dengan orang tuanya itu dengan
sebaik-baiknya, dengan syarat tidak akan mempengaruhi kejernihan imannya.
Bahkan si anak dianjurkan supaya mengikuti orang-orang mu’min yang baik-baik
yang mau taubat kepada Allah.
Si anak harus menyerahkan keputusannya itu kepada
Allah yang maha teguh hukumnya kelak di hari di mana seorang ayah tidak akan
dihukum lantaran perbuatan anaknya, begitu juga si anak tidak akan dihukum
lantaran perbuatan ayahnya.
Inilah puncak toleransi yang tidak dapat dicapai
oleh agama apapun, selain Islam.
Catatan
kaki Bab Ketiga
1. Dengan
dasar hadis tersebut ulama-ulama berpendapat
laki-laki atau perempuan tidak boleh berbaring bersama yang kiranya ada
sentuhan badan.
2. Riwayat
Bukhari dan Muslim.
3. Lihat Tafsir Thabari, Qurthubi, Zamakhsyari dan ar-Razi.
4. Qurthubi berkata: Kecuali bagian-bagian yang tidak boleh dinampakkan. Tetapi para
ulama juga masih berbeda pendapat tentang tingkatan keluarga itu dan tingkatan
bagian yang boleh dan yang tidak boleh. Misalnya: ada yang boleh dinampakkan,
tetapi oleh anaknya suami tidak boleh.
5. Lihat Tafsir Razi 23: 205-206.
6. Tafsir Ibnu Jarir.
7. Seorang hamba yang berjanji akan menebus dirinya supaya menjadi merdeka.
8. Lihat al-Mar’ah bainal baiti wal mujtama” oleh Ustaz al-Bahi al-Huli halaman
24 cetakan ke II.
9. Ighatsatul Lahafan 1:66-67.
10. Lihat Zadul Ma’ad 4: 7 (Riwayat Baihaqi).
11. Riwayat Abu Daud.
12. Riwayat Ahmad dan lain-lain.
13. Bukhari dan Muslim.
14. Tafsir ar-Razi 6: 66.
15. Islam dan Kesehatan Modern oleh Dr. A, Aziz Ismail.
16. Hujjatullah al-Balighah 3: 134.
17. Miftahud Daris Saadah, hal. 620 Zadal Ma’ad 4: 16 dan seterusnya.
18. denda pembunuh.
19. Fatawa Syaltut hal. 464.
20. Thaya’ kitabun nikah hal. 47.
21. Islam dimun ‘ammun khalidin oleh Farid Wajdi, hal. 172.
22. Penjelasan dari ahli agama di sekolah Katholik di Mesir.
23. Harian al-Ahram’ tgl. 1-3-1956.
24. Hufuqul Insan fil Islam, oleh Dr. Ali A. Wahid, hal. 88.
25. Huququl Islam.
26. Riwayat Bukhari dan Muslim.
27. Fatawa Shaitul, hal: 200.
28. Al-Mughini 5:605
Diposting Oleh : Unknown
Anda sedang membaca artikel tentang Halal dan Haram dalam Islam Bab Ketga. Anda diperbolehkan mengcopy paste isi blog ini, namun jangan lupa untuk mencantumkan link ini sebagai sumbernya. Beritahukan kepada saya jika ada Link yang rusak atau tidak berfungsi. Apabila suka dengan postingan ini silahkan di Like dan Share dengan tidak lupa Komentar dan Masukannya.
0 komentar:
Post a Comment